Bagai Pesakitan Menghitung Hari

SAYA merasa plong. Kemarin, semua berkas tesis sudah saya serahkan ke pengelola program untuk persiapan ujian. Saya tinggal menghitung hari kapan bisa memasuki ruang sidang. Saya seperti seorang pesakitan yang tiap hari memandang kalender karena tak sabar melangkahkan kaki sebagai manusia bebas. Saya sama girangnya dengan pesakitan tersebut. Rasa lelah karena menyiapkan tesis langsung berganti dengan rasa girang karena membayangkan akan segera hengkang dari kampus UI.

Barangkali rasa girang ini tidak bertahan lama karena selanjutnya saya akan gamang hendak memikirkan ke mana. Saya belum juga menentukan hendak berumah di mana kelak, apakah masih bertahan di rimba raya Jakarta, ataukah memilih berumah di kota lain. Terus terang, saya jenuh dan bosan di Jakarta, namun saya juga tidak memungkiri jika ada begitu banyak peluang dan tantangan yang berpusar-pusar bagai angin puting beliung di kota yang sangat banyak penduduknya ini. Jakarta ibarat gadis cantik yang tersenyum menggoda kita hingga melunturkan iman. Tiba-tiba saja kita siap berkelahi dengan siapapun untuk mendapatkan seulas senyum gadis cantik itu. Kita bersaing, saling cekik, saling piting demi mendapatkan hati gadis manis yang tersenyum manis itu. Gadis itulah Kota Jakarta.

Saya juga terbius hasrat untuk menggandeng Jakarta. Saya tak tahu, jangan-jangan hasrat itu tidak diikuti dengan strategi dan perencanaan yang matang. Jangan-jangan, saya tidak memahami peta untuk mengenali semua lekuk-lekuk di tubuh Kota Jakarta. Bisa-bisa saya justru tersesat dan terkapar sebelum keinginan tercapai untuk memeluk dan menikmati hangatnya getar dan debur di jantung kota ini.

Namun, setidaknya saya sudah menjejakkan satu langkah kaki ke depan. Sun Tzu bilang, tembok Cina tidak dibangun dalam satu hari. Tembok Cina berawal dari satu batuan, yang kemudian dissusun dengan penuh ketekunan hingga akhirnya membukit. Sama juga analoginya dengan menaiki tangga. Setiap ayunan langkah kaki kita, selalu ada risiko kalau-kalau kita jatuh. Namun kalau kita terus memikirkan risiko, maka kita tak akan pernah bisa sampai ke atas. Barangkali kita harus tutup mata dan menerobos semua risiko. Sebab tak ada sesuatu yang jatuh secara gratis dari langit kecuali hujan yang semua materialnya justru berasal dari bumi sendiri.(*)

Depok, 4 Desember 2008


1 komentar:

etikush mengatakan...

Hmmm... sejujurnya saya pernah dapet sesuatu yang gratis dari langit, selain air hujan....
Waktu itu lagi dalam perjalanan pulang dari sekolah (SMA)...
Trus... di pundak kayak ada yang jatuh...
Oh... shit...
it was bird's shit...

Posting Komentar