KEMARIN, seorang kawan menelepon saya dari Kendari. Ternyata, buku yang kueditori berjudul “Menyibak Kabut di Keraton Buton“ menjadi buku yang terlaris di Toko Buku Gramedia di Kendari. Kemarin juga diadakan talkshow di Gramedia Kendari untuk membahas bagaimana proes produksi, proses kreatif, serta gagasan-gagasan yang hendak disampaikan dalam buku itu. Pembahasnya adalah dua dosen yang menyumbangkan tulisan, serta teman yang mewakili lembagaku.
Saya tak bisa hadir di acara itu karena tengah deg-degan menunggu kapan waktunya ujian. Saya masih mempersiapkan diri agar bisa segera ujian dan kemudian hengkang meninggalkan kampus UI. Saya dalam kondisi seperti kepompong yang mau pecah, seperti ulat yang tak sabar untuk menjadi kupu-kupu dan mengepakkan sayap ke dunia luar. Makanya, temanku La Mukmin yang menghadiri acara tersebut. Malamnya, ia meneleponku dan bercerita bahwa acara itu sangat heboh dan ramai. Banyak pengunjung yang hadir dan mengemukakan antusiasmenya terhadap karya itu. Mereka tidak ingin kami padam di tengah jalan. Mereka meniupkan harapan agar kami terus berkarya dan tidak berhenti pada satu pencapaian.
Mendengar berita itu, saya hanya bisa bersyukur. Sebuah buku yang dibuat dengan “berdarah-darah“ dalam kepungan ketidakpercayaan banyak orang, tiba-tiba menjadi satu buku terlaris. Sebuah buku yang awalnya dianggap sebelah mata, tiba-tiba bisa membongkar asumsi banyak orang tentang kemampuanku bersama teman-teman yang membidani buku itu. Ternyata kami sanggup melahirkan sebuah karya yang kemudian abadi. Kami sanggup menghancurkan berhala-berhala ketidakpercayaan.
Bagi saya sendiri, karya itu sangat jauh dari sempurna. Di sana-sini, terlalu banyak kelemahan sehingga kadang membuat saya malu mengakui sayalah sang editor yang yang bertanggungjawab atas karya itu. Namun, sejak buku itu terbit, begitu banyak apresiasi atas buku itu. Saat coba dipasarkan di toko buku sekelas Gramedia, buku itu langsung jadi best seller dan mengalahkan penjualan Laskar Pelangi.
Meski karya itu biasa saja, namun saya melihat ada sejumlah positioning yang membuat karya itu begitu unik di Sulawesi Tenggara (Sultra). Pertama, buku itu mengangkat tema tentang sebuah etnis yang sangat besar di Sultra yaitu etnis Buton. Berbeda halnya dengan etnis seperti Bugis atau Makassar, etnis Buton jarang mendapat publikasi atau dituliskan dalam buku. Padahal, sejarah yang panjang, keragaman, serta pertautan dengan globalisasi --sebagaimana yang dialami etnis ini-- adalah khasanah yang sangat kaya untuk dijadikan satu studi yang serius dan kemudian dibukukan. Di tengah trend pergeseran ilmu sosial yang mengarah pada hal-hal mikro dan spesifik, kemudian menarik refleksi atau pembelajaran dari hal mikro tersebut, mestinya bisa direspon dengan lahirnya karya-karya yang membahas hal-hal kecil dan boleh jadi dianggap tidak penting seperti Buton.
Kedua, wacana lokalitas memang lebih mudah diterima ketimbang sesuatu yang datangnya jauh dari luar. Pada dasarnya, budaya baca masyarakat kita sangat simpel. Mereka hanya mau membaca sesuatu yang dekat kaitannya dengan dirinya. Mereka tidak terlalu tertarik membaca sesuatu yang datang dari luar, membaca sesuatu yang realitasnya hanya bisa dikhayalkan. Mereka maunya membaca yang berkaitan dengan dirinya. Meskipun bukuku itu termasuk kategori buku serius, orang-orang tetap mau membacanya sebab judulnya provokatif yaitu Menyibak Kabut di Keraton Buton. Menyebut kata Buton saja sudah menghadirkan getar tersendiri. Apalagi jika tiba-tiba saja menyebut bahwa ada banyak kabut-kabut di situ. Pastilah orang-orang akan tertarik. Dalam teori jurnalistik, ini namanya proksimitas atau kedekatan. Kita membaca sesuatu bila ada kaitannya dengan diri kita. Rumus itu terbukti efektif. Buktinya, bukuku bisa jadi best seller, padahal isinya biasa saja.
Ketiga, desain, tampilan, serta kualitas buku sangat penting dan tak boleh diabaikan. Memang ada beberapa karya yang dtulis di tingkat lokal. Bahkan di toko sekelas Gramedia, ada juga beberapa buku sejenis tentang daerah. Namun, buku-buku itu tidak direncanakan dengan serius. Biasanya, hanya dicetak asal-asalan dan sederhana, sebab –boleh jadi--, orientasi para pembuatnya adalah untuk proyek. Orientasi mengejar keuntungan jangka pendek ini, menyebabkan karya itu jadi tidak menarik. Baik kualitas maupun kemasannya tidak eye catching (mencolok mata) sehingga ketika melihatnya sekilas, orang sudah tidak tertarik. Sementara bukuku, kualitasnya cukup baik sebab dicetak dengan bagus, terdaftar di perpusatakaan nasional, dan memiliki ISBN.
Keempat, ini yang paling penting. Buku itu lahir di tengah kelangkaan serta kerinduan terhadap karya tentang Buton. Buku terakhir yang membahas Buton adalah karya Yunus (1985) dan Schoorl (1991). Banyak karya tentang Buton yang ditulis oleh orang dari luar, khususnya Belanda. Buku-buku itu justru lebih banyak di luar. Sementara saya dan teman-teman, membuat lembaga penerbitan di Bau-Bau, kemudian menerbitkan buku yang hanya beredar di tingkat lokal. Selama ini, masyarakat lokal disuguhi buku dari luar. Kami membaliknya. Kami susun buku untuk lokal dan diedarkan di tingkat lokal. Itulah rahasia menjadi best seller di Sulawesi Tenggara. Kayaknya tulisan ini agak narsis. Tapi ini fakta lho....(*)
Saya tak bisa hadir di acara itu karena tengah deg-degan menunggu kapan waktunya ujian. Saya masih mempersiapkan diri agar bisa segera ujian dan kemudian hengkang meninggalkan kampus UI. Saya dalam kondisi seperti kepompong yang mau pecah, seperti ulat yang tak sabar untuk menjadi kupu-kupu dan mengepakkan sayap ke dunia luar. Makanya, temanku La Mukmin yang menghadiri acara tersebut. Malamnya, ia meneleponku dan bercerita bahwa acara itu sangat heboh dan ramai. Banyak pengunjung yang hadir dan mengemukakan antusiasmenya terhadap karya itu. Mereka tidak ingin kami padam di tengah jalan. Mereka meniupkan harapan agar kami terus berkarya dan tidak berhenti pada satu pencapaian.
Mendengar berita itu, saya hanya bisa bersyukur. Sebuah buku yang dibuat dengan “berdarah-darah“ dalam kepungan ketidakpercayaan banyak orang, tiba-tiba menjadi satu buku terlaris. Sebuah buku yang awalnya dianggap sebelah mata, tiba-tiba bisa membongkar asumsi banyak orang tentang kemampuanku bersama teman-teman yang membidani buku itu. Ternyata kami sanggup melahirkan sebuah karya yang kemudian abadi. Kami sanggup menghancurkan berhala-berhala ketidakpercayaan.
Bagi saya sendiri, karya itu sangat jauh dari sempurna. Di sana-sini, terlalu banyak kelemahan sehingga kadang membuat saya malu mengakui sayalah sang editor yang yang bertanggungjawab atas karya itu. Namun, sejak buku itu terbit, begitu banyak apresiasi atas buku itu. Saat coba dipasarkan di toko buku sekelas Gramedia, buku itu langsung jadi best seller dan mengalahkan penjualan Laskar Pelangi.
Meski karya itu biasa saja, namun saya melihat ada sejumlah positioning yang membuat karya itu begitu unik di Sulawesi Tenggara (Sultra). Pertama, buku itu mengangkat tema tentang sebuah etnis yang sangat besar di Sultra yaitu etnis Buton. Berbeda halnya dengan etnis seperti Bugis atau Makassar, etnis Buton jarang mendapat publikasi atau dituliskan dalam buku. Padahal, sejarah yang panjang, keragaman, serta pertautan dengan globalisasi --sebagaimana yang dialami etnis ini-- adalah khasanah yang sangat kaya untuk dijadikan satu studi yang serius dan kemudian dibukukan. Di tengah trend pergeseran ilmu sosial yang mengarah pada hal-hal mikro dan spesifik, kemudian menarik refleksi atau pembelajaran dari hal mikro tersebut, mestinya bisa direspon dengan lahirnya karya-karya yang membahas hal-hal kecil dan boleh jadi dianggap tidak penting seperti Buton.
Kedua, wacana lokalitas memang lebih mudah diterima ketimbang sesuatu yang datangnya jauh dari luar. Pada dasarnya, budaya baca masyarakat kita sangat simpel. Mereka hanya mau membaca sesuatu yang dekat kaitannya dengan dirinya. Mereka tidak terlalu tertarik membaca sesuatu yang datang dari luar, membaca sesuatu yang realitasnya hanya bisa dikhayalkan. Mereka maunya membaca yang berkaitan dengan dirinya. Meskipun bukuku itu termasuk kategori buku serius, orang-orang tetap mau membacanya sebab judulnya provokatif yaitu Menyibak Kabut di Keraton Buton. Menyebut kata Buton saja sudah menghadirkan getar tersendiri. Apalagi jika tiba-tiba saja menyebut bahwa ada banyak kabut-kabut di situ. Pastilah orang-orang akan tertarik. Dalam teori jurnalistik, ini namanya proksimitas atau kedekatan. Kita membaca sesuatu bila ada kaitannya dengan diri kita. Rumus itu terbukti efektif. Buktinya, bukuku bisa jadi best seller, padahal isinya biasa saja.
Ketiga, desain, tampilan, serta kualitas buku sangat penting dan tak boleh diabaikan. Memang ada beberapa karya yang dtulis di tingkat lokal. Bahkan di toko sekelas Gramedia, ada juga beberapa buku sejenis tentang daerah. Namun, buku-buku itu tidak direncanakan dengan serius. Biasanya, hanya dicetak asal-asalan dan sederhana, sebab –boleh jadi--, orientasi para pembuatnya adalah untuk proyek. Orientasi mengejar keuntungan jangka pendek ini, menyebabkan karya itu jadi tidak menarik. Baik kualitas maupun kemasannya tidak eye catching (mencolok mata) sehingga ketika melihatnya sekilas, orang sudah tidak tertarik. Sementara bukuku, kualitasnya cukup baik sebab dicetak dengan bagus, terdaftar di perpusatakaan nasional, dan memiliki ISBN.
Keempat, ini yang paling penting. Buku itu lahir di tengah kelangkaan serta kerinduan terhadap karya tentang Buton. Buku terakhir yang membahas Buton adalah karya Yunus (1985) dan Schoorl (1991). Banyak karya tentang Buton yang ditulis oleh orang dari luar, khususnya Belanda. Buku-buku itu justru lebih banyak di luar. Sementara saya dan teman-teman, membuat lembaga penerbitan di Bau-Bau, kemudian menerbitkan buku yang hanya beredar di tingkat lokal. Selama ini, masyarakat lokal disuguhi buku dari luar. Kami membaliknya. Kami susun buku untuk lokal dan diedarkan di tingkat lokal. Itulah rahasia menjadi best seller di Sulawesi Tenggara. Kayaknya tulisan ini agak narsis. Tapi ini fakta lho....(*)
1 komentar:
minta bukunya satu dong
Posting Komentar