Betapa Anehnya Profesi Pengamat

PENGAMAT politik Bima Arya Sugiarto adalah pengamat yang belakangan ini mulai malas kudengar komentarnya. Sudah dua hari saya melihatnya di tivi, namun nampaknya ia selalu mengulang-ulang apa yang disampaikannya. Ia selalu menyampaikan hal yang sama, tanpa pengayaan. Barangkali ia tidak meng-update pengetahuannya, makanya ia seakan bergerak di lingkaran pengetahuan yang sempit itu. Ia tidak memperlebar horison pengetahuannya sehingga kaya dengan ide-ide segar dan terbuka pada tafsir-tafsir yang baru.

Saya tak bermaksud membicarakan Bima. Saya hanya menjadikannya sebagai entry point untuk membahas sesuatu. Hingga kini, saya tak pernah jelas apa yang menjadi spesialisasi pengamat politik seperti Bima, apakah sudah ada karya akademik yang dilahirkannya, apakah banyak buku dan riset yang orisinil dibuatnya? Saya tak tahu. Yang bisa saya tangkap dari sosok ini adalah dia bisa memahami tabiat media sehingga punya segudang stok komentar yang kelihatan gagah ketika tampil di tivi. Ia menjadi pseudo intelektual, semacam parodi dan olok-olok atas gairah intelektual yang menggelegak pada diri orang-orang tertentu yang mengabdikan dirinya di jalan ilmu melalui aktivitas penelitian atau advokasi. Saya menyebutnya pseudo intelektual sebab kemampuan menjadi pengamat cukup didasari kemampuan retorika khas penjual obat sebagaimana yang sering saya saksikan di Lapangan Karebosi, Makassar. Kita bertepuk tangan dan membeli obat, namun tak juga bisa menyembuhkan penyakit kita. Kita tak juga bertanya secara kritis, mengapa membeli obat hanya karena didasari oleh retorika dan atraksi memainkan ular dan buaya seperti yang dilakukan penjual obat.

Di banding pengamat, saya lebih suka komentar politisi. Setidaknya, para politisi itu punya posisi yang jelas dan tegas dalam menyampaikan sesuatu. Ia tegas menyatakan berada di bawah bendera partai tertentu dan mempresentasikan gagasannya jika kelak terpilih. Sementara pengamat, tak pernah menyatakan secara jelas apa warna benderanya. Ia berlindung di balik kalimat “intelektual“ dan seolah-olah membawa suara rakyat. Pengamat tak pernah gentle menyatakan sikapnya, misalnya dengan mengatakan, “Saya berpendapat begini biar kelihatan gagah, kemudian media selalu memilih saya sebagai komentator. Saya makin populer dan uang tabungan saya terus bertambah.“ Yang kemudian muncul adalah para pengamat merasa dirinya seakan malaikat yang membawa suara rakyat.

Ini hanya suara lirih kegelisahanku. Tadi malam, saya baru saja menyaksikan komentar Bima di acara debat partai politik. Ia selalu memotong pembicaraan para politisi dan mengatakan, “Apa yang hendak anda lakukan?“ Saya jadi bingung. Bagaimana mungkin kita bicara apa yang harus dilakukan tanpa mengerti apa persoalan yang hendak diurai. Mustahil kita punya solusi mujarab jika kita tidak sabar mengurai benang kusut persoalan, kemudian menentukan pendekatan kita untuk meluruskan benang tersebut. Dalam logika, ini namanya jump to the conclution yaitu kecenderungan untuk selalu langsung lompat pada kesimpulan. Mestinya, pembicaraan “apa yang harus dilakukan“ adalah pembicaraan akhir tatkala kita punya peta yang memadai demi menjelaskan batasan persoalan, posisi-posisi, serta strategi mendekati masalah.

Itu baru satu hal. Bima juga tak pernah memberi kesempatan seseorang membentangkan pendapatnya tentang sesuatu. Saya sendiri jadi bingung. Mestinya sebagai warga, saya banyak mendengar seperti apa gagasan dan visi sang politisi tersebut. Kalaulah visi itu melangit dan melayang di awan, maka biarkanlah saya yang memberikan penilaian. Biarkanlah saya sendiri sebagai penonton yang kelak mencaci-maki sang politisi itu. Namun, proses mencaci itu bisa dilakukan ketika pandangan politisi itu bisa didengar dengan utuh. Proses mencaci adalah puncak dari proses olah pikir yang kita lakukan ketika mendengar uraian gagasan seseorang. Masalahnya adalah para pengamat politik itu selalu merasa dirinya mengatasnamakan kita. Mereka seolah mengatasnamakan ilmu pengetahuan dan kebenaran. Belum selesai seseorang berbicara, ia sudah memotong dan berpretensi seolah sudah memahami apa yang hendak disampaikan. Busyet!! Saya matikan tivi.

Menurutku, pekerjaan yang paling aneh di dunia ini adalah menjadi pengamat. Pernah saya berbincang dengan teman di Makassar, apa pekerjaan yang kelak akan dilakoninya. Ia menjawab, “Saya ingin menjadi pengamat politik.“ Saat itu saya langsung berpikir, ternyata profesi pengamat bisa menjadi pekerjaan. Awalnya, saya berpikir bahwa posisi pengamat dilakoni oleh seseorang yang memiliki keahlian pada bidang tertentu karena aktivitas ilmiah seperti riset atau menceburkan diri dalam satu permasalahan. Seorang pengamat adalah seorang ahli dan profesional atas hal tersebut, yang kemudian dimintai tanggapannya. Boleh jadi, komentar itu membosankan sebab ia sedang berhati-hati membentang masalah sehingga kelak jika menarik kesimpulan, tidak terkesan asal-asalan.

Pembicaraan dengan temanku itu menghancurkan asumsi yang selama ini saya bangun. Temanku itu tak pernah kulihat membaca dengan serius. Ia tidak juga menulis. Ia hanya sering nongkrong di warung kopi kemudian diskusi dengan banyak orang. Ia berlatih bagaimana mencecar seseorang dengan pembicaraan yang seolah-olah pintar dan seolah-olah mengatasnamakan orang banyak. Momentum nongkrong di warung kopi itu adalah proses belajar yang kelak akan mempertajam pandangannya tentang sesuatu. Ia diuntungkan situasi ketika di negeri ini, orang tak pernah siap dengan sesuatu yang melelahkan dan serius dalam mengurai benang masalah. Saya kira, tak elok jika cuma menuding pada pengamat saja. Mungkin ini juga lahir dari rahim interaksi antara media, msyarakat, serta sistem sosial kita yang tak juga kian dewasa dan matang. Masyarakat kita terbiasa disuapi media dengan kenyataan yang didramatisasi. Makanya, kita seakan hanya mau mendengar sesuatu yang instant saja. Sesuatu yang praktis, namun hanya memberi efek sesaat dalam pemecahan masalah. Yup, persis ketika bertepuk tangan menyaksikan retorika penjual obat dan atraksi mencium ular, kemudian kita membeli obatnya lalu menyesal saat tiba di rumah. Apa hubungannya obat dengan ular?.(*)

Depok, 4 Desember 2008
www.timurangin.blogspot.com


0 komentar:

Posting Komentar