Grogi, Takut, Gagu

APA sih yang anda rasakan ketika grogi? Apa yang anda rasakan ketika nervous? Fenomena yang muncul adalah rasa tertekan dan tidak tahu hendak berbuat apa. Tiba-tiba saja kita ketakutan dan merasa kaku, seakan tak berdaya. Seseorang yang grogi dikepung perasaan tertekan ketika hendak mengungkapkan sesuatu, namun tak bisa dikeluarkan dengan jelas. Kita merasa tercekat –entah disebabkan apa—dan tiba-tiba saja kita jadi kaku dan mati rasa.

Seorang teman mengatakan, ketika kita grogi, maka sekitar 40 persen dari cadangan pengetahuan kita akan lenyap sesaat. Tiba-tiba saja kita menjadi sangat bodoh dan tak sanggup berkata-kata. Bahkan, menjawab pertanyaan yang sangat gampang sekalipun, kita tak mampu melakukannya. Anggaplah kita sedang menjalani ujian skripsi. Ketika kita grogi, maka saat itu juga kita akan menjadi bulan-bulanan dari para penguji. Kita kehilangan kemampuan menjawab, dan kalaupun bisa menjawab, maka semua jawaban yang keluar adalah sesuatu yang ngawur, tanpa landasan. Kesimpulannya adalah, ada proses yang segaris. Bermula dari grogi, selanjutnya merasa kaku, dan terakhir adalah gagu –keadaan di mana kita tak bisa berkata-kata.

Saya sering merasakan grogi itu. Biasanya, saya merasa tersiksa. Ada keinginan berteriak untuk melepaskan apa yang ada dalam benak kita, kemudian memberitahukan kepada dunia tentang posisi kita. Grogi adalah penyakit yang harus segera diatasi jika ingin tetap kuat dalam berhadapan dengan segala situasi. Seseorang yang sanggup mengatasi grogi adalah seseorang yang memiliki karakter dan rasa percaya diri yang kuat. Ia tidak mudah terombang-ambing dalam sebuah masalah. Jelaslah dibutuhkan sebuah rasa percaya diri yang kuat agar bisa menaklukan grogi dan rasa nervous. Namun, semuanya membutuhkan proses.

Setelah melewati suasana grogi, seseorang akan merasa plong. Dia akan merasa lepas, tanpa beban. Namun, grogi bisa meninggalkan jejak dalam bentuk trauma. Kita merasa kesal baik dengan diri kita maupun dengan situasi di mana kita tertekan. Setiap mengingat kejadian itu, terasa ada sesuatu yang menusuk batin kita. Ada rasa jengkel, kesal, serta marah, yang entah dengan cara apa bisa dilepaskan. Meskipun kita refreshing atau bersantai, namun jejak itu tetap susah dihapuskan sebab yang kita lakukan hanyalah menghindarinya.

Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah melupakan semua kejadian itu dan menekannya secara kuat dalam pikiran kita. Dalam psikoanalisa, ini disebut represi. Namun, cara ini agak pengecut sebab menumpuk atau menghindari masalah. Saya kira, cara terbaik adalah tetap menghadapi hal-hal yang membuat grogi itu. Kita mesti berdiri tegak dan menghadapinya agar masalah itu tidak meninggalkan jejak trauma. Jika kita takut ketinggian, maka lawanlah semua ketakutan itu. Kita hanya butuh satu moment penting untuk tenang, dan selanjutnya semua akan berjalan indah.

Saya teringat adegan sebuah film barat tentang seorang anak yang takut naik sepeda. Orang tuanya kemudian mengajari anak itu untuk melawan semua ketakutannya. So, cara terbaik menghindari masalah adalah dengan menghadapinya dengan mata menyala. Tentang menghadapi masalah ini, orang Makassar selalu teringat pada Robert Wolter Monginsidi. Hal hebat yang diwariskan pemuda ini adalah keberaniannya menghadapi eksekusi Belanda. Saat hendak ditembak, ia menolak penutup mata. Ia menatap lurus semua tentara yang hendak menembaknya. Meski ia tewas, namun semua orang Makassar tersentuh dengan apa yang dilakukannya. Semua memberi penghormatan. Monginsidi mengajarkan bahwa hadapi apapun yang kamu hadapi, meskipun maut akan merenggut hidupmu. Jika maut saja dihadapi dengan tenang, ngapain harus takut atau grogi menghadapi yang lainnya? Kata Iwan Fals, hadapi saja!! Tul nggak?.(*)


0 komentar:

Posting Komentar