Involusi Mahasiswa Sulsel

DI tengah gemuruh dan riak konstalasi politik Sulsel, adakah orang masih berpikir sejenak tentang gerakan mahasiswa? Nyaris setiap patahan waktu, mahasiswa menyengat dengan berbagai pamflet politik dan aksi demonstrasi, namun adakah fenomena itu bisa mengetuk sanubari anggota masyarakat? Apakah mahasiswa terus berada pada satu siklus sejarah yang terus berulang dan kehilangan energi kreatif untuk menyusun ulang sejarah yang baru?

Di ajang seperti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Sulsel, adakah mahasiswa masih menjadi kekuatan penting yang bisa memainkan peran signifikan? Saya kira tidak. Berdasarkan pengamatan atas situasi yang sedang terjadi di Sulsel, mahasiswa hanya bisa terjebak pada dua alur skenario: dukung-mendukung atau memilih berada di luar arena (netral). Kedua-duanya memiliki risiko serta konsekuensi politik tersendiri yang tidak bisa ditawar. Nah, tulisan singkat ini tidak bermaksud menjawab semua asumsi tersebut. Tulisan ini hanya bermaksud mengeksplorasi gagasan apa sesungguhnya yang terjadi di tengah kondisi stagnasi gerakan mahasiswa. Mencoba mengurai buhul persoalan demi memahami realitas yang sedang terjadi dalam tubuh gerakan mahasiswa Sulsel.

Pilihan politik dukung-mendukung atau netral ini lahir dalam situasi sejarah di mana gerakan mahasiswa berada pada situasi kebingungan dalam menentukan format gerakan pascareformasi. Begitu anehnya gerakan mahasiswa kita sampai-sampai terus mereproduksi format aksi seperti menutup jalan raya dengan agenda yang kian kabur.

Setiap mendengar berita demonstrasi mahasiswa Makassar, imaji saya langsung dipenuhi gambaran mahasiswa yang menutup jalan sembari berorasi dengan mengenakan seragam almamater. Pada saat bersamaan, kemacetan yang begitu parah akan terjadi sebab Makassar tak punya banyak ruas jalan. Masyarakat pengguna angkutan banyak yang mengumpat serta bersungut-sungut sebab tak bisa sampai ke tujuan. Mahasiswa seakan menutup telinga, tidak peduli dan tetap melanjutkan aksinya dan berteriak-teriak kalau "Ini atas nama rakyat".

Matinya Lembaga

Setidaknya, ada dua hal serius yang mungkin bisa dilihat sebagai ciri dari gerakan mahasiswa kita hari ini. Pertama, gerakan mahasiswa seakan tidak mampu menentukan isu strategis yang menjadi starting point untuk sebuah gerakan. Gerakan mahasiswa kian tidak cerdas. Mahasiswa kita tak mampu memilah-milah mana isu yang sifatnya lokal atau nasional serta bagaimana cara yang tepat untuk meresponnya.Pemberitaan media nasional tentang aksi mahasiswa Jakarta bisa membuat mahasiswa Sulsel ikut-ikutan gerah dan berdemonstrasi dengan isu yang sama.

Kedua, ada krisis yang sesungguhnya terjadi di tubuh organisasi mahasiswa kita. Ada indikasi kuat yang mengarah ke realitas yang menggiriskan yaitu matinya lembaga kemahasiswaan akibat intervensi birokrat yang begitu tinggi dengan dalih untuk melakukan pendisiplinan serta normalisasi.

Wacana matinya lembaga kemahasiswaan ini sudah mulai mencuat sejak akhir tahun 1990-an. Birokrat kampus seakan-akan memposisikan aktivis mahasiswa sebagai musuh politik yang harus disingkirkan. Berbagai cara dilakukan demi mematikan gerakan mahasiswa. Mulai dari intimidasi preman kampus, kebijakan drop out, hingga pemberian bea siswa yang ditengarai menjadi sumber dari peta konflik dalam kampus. Matinya lembaga kemahasiswaan ini menjadi tanda dari matinya mata air gerakan mahasiswa. Imajinasi mahasiswa akan gerakan yang heroik, perlahan digeser kekhawatiran kalau kelak akan dipersulit oleh birokrasi akademik serta tidak nyaman akibat dikejar-kejar preman.

Di sisi lain, lembaga mahasiswa kian tidak "seksi". Kegiatan lembaga itu seakan-akan tak bisa keluar dari rutinitas tahunan seperti ospek, pengkaderan, festival musik, hingga bina akrab. Tak ada yang bisa dibanggakan untuk mempertajam insting bermahasiswa.

Organisasi Daerah

Lantas, ketika lembaga mahasiswa kampus kian tidak menarik, mahasiswa terserap di berbagai lembaga mulai dari pusat studi hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM).Hal yang paling menarik untuk diamati adalah terserapnya mereka ke dalam lembaga mahasiswa berbasis daerah yang tumbuh subur bak cendawan. Ini adalah fenomena baru yang menarik untuk diamati.

Dulunya, lembaga kedaerahan ini dianggap tidak menarik sebab dianggap melestarikan sekat-sekat primordialisme. Mahasiswa ingin melambungkan visi nasional dengan keinginan untuk merengkuh wacana keindonesiaan. Namun, seiring dengan fenomena otonomi daerah serta politik lokal, berbagai asumsi itu seyogyanya segera direvisi.

Pilkada lokal telah membalikkan berbagai sentrum gerak mahasiswa dari lembaga intrakampus menuju ke lembaga mahasiswa berbasis daerah. Saya kira alasannya cukup pragmatis yaitu: pada lembaga mahasiswa daerah, ada ruang yang lebih lebar untuk menerjunkan diri ke dalam alur politik praktis, sementara pada lembaga mahasiswa kampus, ruang untuk itu seakan-akan tertutup.

Alasan lainnya adalah politisi dan birokrat adalah mahluk yang paling mudah menghamburkan duit demi pencapaian tujuan. Dekat dengan politisi tidak hanya mencerminkan kedekatan secara ideologis, namun juga kedekatan secara finansial.Hubungan mahasiswa dan politisi adalah simbiosis mutualisme yang saling memanfaatkan. Politisi memanfaatkan mahasiswa demi memperluas rentang pengaruh serta tim sukses, sedangkan mahasiswa memanfaatkan politisi sebagai ajang memasuki rimba politik serta mendapatkan imperatif finansial. Relasinya tetap saja menempatkan mahasiswa pada posisi di bawah sebab hanya menjadi perpanjangan tangan.

Fenomena lain yang menarik disimak adalah posisi organisasi ekstra seperti HMI, IMM, PMII, GMKI, hingga PMKRI yang juga tidak jauh berbeda dengan posisi organisasi daerah. Organisasi ekstra ini malah sudah lebih dulu memasuki rimba politik, meski sebelumnya terkesan malu-malu. Jangan berharap akan ada sumber mata air pergerakan mahasiswa sebab yang terjadi di sini adalah lembaga digiring ke arah wacana politik seiring dengan kedekatan para fungsionarisnya dengan para politisi.

Sebuah Involusi

Dulunya, politik dan mahasiswa adalah dua suku kata yang berusaha dijauhkan oleh pemerintah Orde Baru. Setidaknya itu terjadi pada masa Daoed Joesoef menjadi Mendiknas di akhir tahun 1970-an --sebuah kebijakan yang belakangan sangat disesalinya. Kini, dua kata itu berkelindan dan saling mempengaruhi sehingga mahasiswa seakan-akan sangat percaya diri ketika menyebut kedekatannya dengan sejumlah politisi.
Relasi itu tidak menjadi soal jika ada satu nilai tawar atau bargaining yang bisa ditempuh, namun relasi itu akan menjadi soal tatkala tidak diarahkan pada upaya untuk melicinkan jalan untuk tercapainya beberapa agenda strategis.

Jika di lihat dari sisi pencapaian agenda strategis kerakyatan, maka gerak mahasiswa dari masa ke masa laksana sebuah gerak melingkar.Mahasiswa seakan jalan di tempat, tanpa ada matahari perubahan yang signifikan. Antropolog Clifford Geertz menyebut gerak melingkar ini sebagai gejala involusi. Involusi menunjukkan gejala yang statis dan mengalami pewarisan secara terus-menerus. Menurutnya, ada situasi yang terus dipertahankan dengan berbagai cara, dan diwariskan secara terus-menerus.

Mungkin, analogi yang sama bisa dilihat pada gerak mahasiswa kita. Ada semacam mekanisme yang tengah berlangsung di benak mahasiswa sehingga terus saja membiarkan situasi jalan di tempat ini, tanpa ada ikhtiar untuk beringsut maju. Dalam situasi di mana parlemen tidak bisa merepresentasikan rakyat, penguasa arogan yang sibuk menggelar pilkada, serta hukum yang tidak menjadi panglima, mahasiswa mestinya bisa memainkan peran yang lebih strategis sebagai wakil dari nurani zaman pada generasi yang belum banyak tercemar.

Jika situasinya terus dimapankan oleh proses sosial kita, maka gerakan mahasiswa kelak menjadi monumen sepi yang hanya bisa dituturkan melalui buku sejarah. Menjadi jejak yang serpihnya dicari oleh generasi baru.

(tulisan ini dibuat dua tahun yang lalu terkait maraknya aksi tutup jalan oleh mahasiswa Makassar)


0 komentar:

Posting Komentar