ANAK muda itu dikira tewas oleh warga sukunya saat pertama kali ikut dalam misi berburu. Dia ditanduk bison purba sehingga jatuh pingsan di lereng tebing curam. Dia ditinggalkan begitu saja setelah ayahnya ketua suku, serta warganya setelah menggelar upacara penguburan secara singkat. Ternyata dia belum mati.
Keda, demikian dipanggil, akhirnya bangun. Dia mesti survive dan kembali ke kampung halamannya. Tapi, dia harus melakukan perjalanan melewati hutan rimba yang penuh binatang buas.
Jika saja itu terjadi di masa kini, dia cukup mendatangi pemukiman terdekat, meminjam telepon lalu meminta ayahnya datang menjemput. Dia bisa minta petugas keamanan untuk membawanya ke rumah. Atau ke hotel terdekat dan leyeh-leyeh dengan mie siram panas serta kaki direndam di air hangat.
Tapi ini terjadi di Eropa pada 20.000 tahun silam. Ini adalah masa manusia masih tinggal dalam perkampungan suku yang kecil, masih mengandalkan aktivitas berburu demi mencukupi kebutuhan pangan.
Manusia hidup bertetangga dengan hutan-hutan lebat yang penuh binatang buas. Perjalanan bisa ditempuh berhari-hari dan menghadapi banyak bahaya.
Keda lalu berusaha untuk bertahan. Alam semesta begitu baik sebab menyediakan semua kebutuhan makanan, mulai dari cacing, hingga serangga. Tapi manusia belum memegang supremasi atas alam di masa itu. Manusia berbagi teritori dengan berbagai hewan liar yang menghuni hutan dan setiap saat bisa saja memangsa manusia.
Perjalanan Keda menjadi tidak mudah. Dia mesti melewati teritori serigala atau anjing liar. Saat dikejar semua anjing, dia berhasil melukai satu anjing, sebelum akhirnya memanjat pohon mati dan berdiam di sana. Ketika anjing lain pergi, Keda turun dan hendak membunuh anjing itu.
Pada era di mana yang terkuat adalah yang menenang, Keda justru tidak punya naluri membunuh. Dia malah merawat anjing terluka itu dan memberinya makan hingga sembuh. Barangkali inilah awal mula dari proses domestikasi hewan sehingga menjadi anggota komunitas manusia.
Anjing itu menjadi sahabat, partner berburu, serta prajurit terbaik yang melindungi Keda yang ringkih agar segera kembali ke rumah.
Kisah Keda ini saya disaksikan dalam film Alpha yang sedang tayang di bioskop. Dua hari lalu, film ini masuk dalam Google Trend sebagai film yang diperbincangkan netizen. Bahkan smeua lembaga pemeringkat film menempatkannya sebagai film bagus. Kisahnya menarik.
Di mata saya, ini bukan sekadar kisah bagaimana seorang anak berusaha kembali ke rumahnya dalam perjalanan melewati belukar penuh tantangan. Ini kisah mengharukan tentang persahabatan antara manusia dan seekor anjing. Keda digambarkan sebagai pemuda yang usianya masih remaja.
Bapaknya seorang ketua suku yang mesti menjadi sosok terkuat. Sang bapak menginginkan anaknya ikut dalam upaya berburu demi mengumpulkan bahan makanan sebelum datangnya salju. Demi ikut berburu, masing-masing remaja suku membuat perkakas berupa batu pipih serupa pisau agar menjadi mata tombak.
Keda menunjukkan kecakapannya membuat pisau sehingga lolos ikut dalam perburuan. Tapi, bocah ini tidak sekuat para lelaki di suku itu. Dia justru terlihat lemah dan serba penakut. Kata ibunya, kekuatan hati lebih dominan ketimbang kekuatan tombak.
Anak ini berbeda dengan ayahnya yang merupakan tipe pemimpin paling kuat, yang menerapkan aturan dengan perintah.
Prinsip yang dipegang ayah Keda disebut ilmuwan Charles Darwin sebagai prinsip bertahan di alam liar yakni survival of the fittest. Siapa yang kuat, dia yang akan bertahan. Dia tidak pernah gentar ketika harus membunuh atau berkelahi. Di sinilah bedanya dengan Keda.
Keda seorang penakut. Akan tetapi dia punya rasa kasih sayang yang besar. Berkat kasih sayang itu, dia menyelamatkan seekor anjing, yang kemudian menjadi sahabat terbaik baginya. Anjing itu yang menemaninya dalam suka dan duka, hingga menempuh perjalanan panjang dan menghadapi banyak tantangan.
Sebenarnya kisah ini biasa saja. Ada banyak film yang sudah menyajikan persahabatan manusia dan hewan. Kisah ini menjadi tidak biasa sebab mengambil setting masa pra-sejarah, pada periode akhir Ice Age. Manusia masih tinggal dalam suku-suku dengan populasi kecil dan mengumpulkan bahan makanan sebelum datang musim salju.
Film ini menyajikan sentuhan emosional yang kuat. Bumbu utama adalah persahabatan antara manusia dan anjing. Jika saja tak ada anjing itu, perjalanan akan sangat berbahaya. Film ini mengisahkan periode paling awal manusia bersahabat dengan anjing liar, lalu mendomestikasinya sehingga menjadi bagian dari komunitas. Tadinya musuh, anjing itu menjadi sahabat terbaik bagi Keda.
Film Alpha menyajikan pemandangan indah yang mengingatkan saya pada gambar-gambar dalam National Geographic. Alam semesta yang masih perawan digambarkan dalam lanskap yang memukau mata.
Telaga-telaga indah, pegunungan yang masih perawan, serta lanskap gunung berapi hadir dalam format yang sangat indah. Dalam beberapa shot, saya ingin sekali meng-capture dan menjadikannya wallpaper. Saya cukup menikmati visualisasi kehidupan manusia pada era berburu.
Saya terkenang buku Sapiens yang ditulis Yuval Noah Harari. Menurutnya, sebelum masuk era pertanian, manusia menopang kehidupan melalui aktivitas berburu. Ketika manusia mulai bisa menciptakan api, maka inilah awal dari supermasi manusia di alam. Banyak hewan-hewan besar yang kemudian punah gara-gara manusia.
Manusia mulai mengenali cara berburu yang benar. Terdapat banyak bukti manusia membakar hutan sehingga padang rumput muncul dan hewan-hewan buruan akan datang. Sebelum masuk era berburu, manusia lalu menemukan cara untuk domestikasi hewan. Berbagai hewan liar dijinakkan dan tinggal bersama manusia.
Anjing dan kucing cukup beruntung sebab menjadi sahabat manusia. Tapi nasib sial menimpa sapi, ayam, kambing, domba, dan kuda yang harus menjadi hewan ternak. Manusia membesarkan semua hewan itu untuk membantu aktivitas pertanian, juga untuk dikonsumsi. Dimulailah era penindasan manusia atas alam dan hewan-hewan.
Satu saja catatan atas film ini. Dinamikanya terasa lambat, khususnya saat Keda berusaha bertahan. Bagian ini terasa agak membosankan. Tapi itulah inti emosional film. Kisahnya menjadi sangat mengharukan saat Keda dan anjing itu mulai menjadi sahabat.
Bagian yang saya sukai adalah saat Keda terperangkap di telaga es dan berusaha keluar, anjing itu melompat dalam gerakan yang slow motion, seakan-akan hendak berkata, apa pun kesulitanmu, saya akan melakukan apa pun.
Yang juga menarik adalah pembuat film mengajak seorang Profesor Christine Svhreyer, pakar antropologi linguistik dari Universitas British Columbia, untuk terlibat dalam film yakni membuat bahasa baru yang mendekati ucapan manusia zaman itu.
Wajarlah sebab pada masa itu belum ada bahasa Inggris. Schreyer mengambil unsur bahasa Proto-Eurasiatic, Proto-Dene-Caucasian, dan Proto-Nostratic yang digunakan para pemain dalam film. Bahasa ini digunakan pada zaman kuno, pada era manusia belum mengenal tulisan. Bahasa yang digunakan cenderung sederhana, kosa katanya tidak banyak, dan mudah dipahami.
Yang mengejutkan saya adalah kaya “Ayah” yang digunakan Keda saat memanggil bapaknya. Saya jadi berpikir, apakah kata “Ayah” merupakan kosa kata kuno yang juga digunakan orang Eropa pada abad kuno untuk menyebut ayah? Entahlah.
Yang pasti, saya cukup menikmati saat-saat ketika Keda rindu ayahnya lalu berteriak: “Ayaaaahhhhhhh...!!!”
Anda butuh hiburan di akhir pekan? Tontonlah Alpha.
1 komentar:
Tulisan sarat makna. Seorang pembaca andal.
Posting Komentar