Mengenang Soeharto Seusai Nonton Crazy Rich Asian




FILM Crazy Rich Asian menyorot satu sisi yang selama ini tidak banyak diketahui publik. Yakni kisah tentang mereka yang super kaya dan punya segalanya. Dikemas dalam konsep komedi, film ini menyibak banyak hal yang selama ini tersembunyi. Di balik rumah-rumah mewah dan pakaian glamour, serta perhiasan mahal itu, ada banyak cerita tentang tradisi serta kebiasaan-kebiasaan kalangan jetset.

Namun, sepanjang film ini, saya juga memikirkan bagaimana keluarga super kaya di Indonesia menjalani kehidupannya. Saya mengingat beberapa konglomerat yang selama ini disorot. Namun, ingatan paling kuat adalah keluarga yang mendominasi politik dan bisnis di Indonesia selama puluhan tahun.

Ya, saya mengingat keluarga Soeharto serta anak-anaknya yang memiliki gurita bisnis hingga ke mana-mana.

***

PEMUDA ganteng itu bernama Nick Young. Ia berpacaran dengan Rachel Chu (Constance Wu), seorang profesor ekonomi di New York Universty. Selama setahun pacaran, Nick tidak pernah bercerita detail tentang keluarganya. Suatu hari, Nick mengajak Rachel ikut menemaninya pulang kampung ke Singapura demi menghadiri pernikahan keluarganya. Rachel pun bersedia ikut.

Ketika menumpang pesawat kelas eksekutif, barulah Rachel tahu siapa kekasihnya ini. Ternyata lelaki yang terlihat sederhana dan sesekali meminjam password netflix miliknya itu berasal dari satu keluarga kaya. Tak sekadar kaya, keluarga itu super kaya, dengan jangkauan bisnis hingga banyak negara.

Adegan awal film ini cukup mengejutkan. Nick kecil bersama ibunya Eleanor Young (Michele Yeoh) datang ke satu hotel mewah di Inggris dalam keadaan basah kuyup. Manager hotel menolak untuk memberikan fasilitas kamar paling mewah. Tampilan mereka terlihat kumuh, juga karena wajah Asia-nya.

Kesal karena tidak diberi kamar, Eleanor meminta izin memakai telepon, tapi tidak diberikan. Akhirnya dia memakai telepon umum di luar hotel. Saat dirinya kembali ke hotel, manajer hotel kembali ingin mengusir mereka.

Sedetik berikutnya, bangsawan pemilik hotel. Dia menyapa Ibu Nick, kemudian memanggil managernya, lalu menyampaikan kalau perempuan Cina itu adalah pemilik hotel yang baru. “Suaminya baru saja menelepon saya. Dia telah membeli hotel ini. Perkenalkan, inilah pemilik hotel yang baru,” katanya. Sang manajer terkejut. Eleanor tersenyum penuh kemenangan.

Kisah selanjutnya bergulir manis. Rachel menemui sahabatnya di Singapura Peik Lin yang juga kaya-raya. Saking kayanya, rumah sahabat itu didesain seperti Istana Versailles, dan toiletnya mirip dengan toilet Donald Trump. Keluarga sahabatnya juga kocak. Saya suka adegan ketika mereka tahu siapa tunangan Rachel. Mereka melongo terkejut, sampai-sampai terdiam.

Rupanya di kalangan orang super kaya, seseorang yang kekayaannya jauh di atas bisa menimbulkan rasa segan dan takjub. Setelah membaca versi novel, saya jadi tahu kalau ternyata keluarga Peik Lin itu adalah keluarga yang dahulu miskin dan kemudian kaya-raya. Di kalangan jetset, kasta mereka akan selalu di bawah mereka yang kekayaannya sejak beberapa generasi sebelumnya.

Kepada Rachel, Peik Lin menjelaskan kekayaan keluarga Young yang sudah melintasi beberapa generasi. Kakek buyutnya dahulu adalah imigran dari Cina ke Singapura, kemudian mulai mengelola bisnis. Kini, keluarganya adalah pemain bisnis paling utama di Singapura, Hong Kong, Cina, dan banyak negara lainnya.

Kekayaan keluarga itu bikin orang lain minder. Rachel akhirnya tahu kekayaan keluarga Young. Lokasi rumahnya saja tidak dikenali oleh Google Map. Rumah itu seperti istana yang dijaga oleh pasukan bersenjata. Interiornya megah. Ketika berkenalan, orang super kaya membahas pabrik, perusahaan, atau bisnis yang dikelola.

Perjalanan Rachel dan Nick Young tak semulus itu. Rachel harus berhadapan dnegan tatap sinis dan iri dari banyak perempuan yang mengidolakan Nick. Dia dianggap sebagai gold digger, seorang cewek matre yang mendekati cowok karena hartanya. Para perempuan bersekongkol untuk menjatuhkan mental Rachel.

Bagian paling seru adalah penolakan keluarga Nick. Eleanor, Ibu Nick, menganggap Rachel bukan orang yang pantas untuk anaknya karena bukan berasal dari kalangan jetset. Terungkap fakta kalau para keluarga super kaya selalu menjodohkan anaknya dengan sesama mereka dengan harapan agar kekayaan itu tidak pindah ke mana-mana.

Latar belakang Rachel juga ditelusuri. Dia dianggap tidak sepadan karena dibesarkan seorang ibu imigran imigran Cina yang hanya bekerja sebagai buruh. Ayahnya digambarkan tidak jelas. Biarpun Rachel keturunan Cina, dirinya tetap dianggap sebagai Amerika. Dia dianggap tidak paham tradisi dan bagaimana kebudayaan Cina.

Film ini tak hanya membahas cinta, tapi juga budaya di Asia yang sebagian besar masih memberikan peran besar bagi orang tua untuk menentukan jodoh anaknya. “Di sini, orang tua terobsesi untuk membentuk masa depan anaknya,” kata Eleanor. Itu juga terlihat pada ucapan nenek Nick; “Kami tidak hanya tahu membangun, tapi juga tahu cara mempertahankan.”

***

SAYA tak ingin bercerita detail tentang film ini. Yang pasti, ini film paling menarik tahun ini. Saya tak terkejut ketika mendengar film ini telah tiga minggu menempati posisi puncak box office di Amerika Serikat. Film berbiaya 30 Juta dollar AS ini telah mengantongi pendapatan 135,7 juta dollar AS hanya dalam waktu tiga pekan. Itu belum termasuk pendapatan dari pasar asing, termasuk Malaysia dan Singapura, yang dilaporkan telah mencapai 28,6 juta dollar AS.

Beberapa hal yang menjadi perbincangan dari film ini adalah trend Hollywood yang mulai meninggalkan white-washing yakni kecenderungan untuk menempatkan orang kulit putih sebagai tokoh utama. Setahun ini, sudah dua film sukses yang menampilkan sosok bukan kulit putih. Selain Crazy Rich Asian, ada juga Black Panther yang kebanyakan pemainnya berkulit hitam.

Saya menduga, film ini sangat populer di Amerika disebabkan adanya stereotype dari orang Amerika terhadap orang Asia. Selain dianggap jago matematika dan ilmu pasti, orang Amerika menganggap orang Asia memang kaya-raya. Anggapan itu tak sepenuhnya salah. Sebab di kampus-kampus besar Amerika, pemilik mobil mewah rata-rata orang Asia.

Pernah, saya melihat orang Amerika memecahkan kaca mobil Ferrari milik orang Cina yang diduga karena cemburu. Mahasiswa Cina pemilik mobil itu hanya tersenyum dan berkata enteng, “I’ll buy a new one.”

Beberapa karakter dalam film ini mengingatkan pada beberapa teman Cina di Amerika. Saya ingat soerang perempuan Taiwan yang suatu hari ikut menumpang mobil orang Amerika yang sudah tua dan sering mogok.

Keesokan harinya, perempuan Taiwan itu mengajak kami menumpang mobilnya yang super mewah. Mungkin dia ingin menunjukkan kelas berbeda antara dirinya dengan teman Amerika itu. Bagi saya, hal paling menarik dari film ini adalah bagaimana sisi lain dari kalangan super kaya.

Setahu saya, mereka cukup tertutup terhadap kalangan luar. Mereka tak ingin diketahui kalau kaya-raya. Seorang pria keturunan Tionghoa kaya di Makassar pernah bercerita bahwa dirinya sengaja tidak ingin dikenali orang kalau hidup berlimpah. “Kalau orang tahu saya kaya, maka tiap hari rumah saya didatangi petugas pajak. Tiap hari pemerintah datang minta donasi. Belum lagi yayasan-yayasan yang datang minta uang,” katanya.

Kalangan jetset dan super kaya itu memang hidup di satu ruang sosial yang tak bisa dijangkau oleh kebanyakan orang. Mereka berteman dan bergaul dengan sesama super kaya. Makanya, kisah-kisah hidup mereka sangat menarik sebab tertutup dari dunia luar.

Yang tiba-tiba muncul dalam pikiran saya saat menonton film ini adalah keluarga Soeharto. Barangkali, kekayaan keluarga Young tak ada apa-apanya jika dibandingkan keluarga Soeharto. Transparency International (TI). Lembaga internasional, menobatkan mantan Presiden Soeharto sebagai koruptor terkaya di dunia.

Lembaga itu mencatat kekayaan Soeharto dari hasil korupsi mencapai 15-35 miliar dollar AS. Putra-putri Soeharto juga selalu menempati daftar orang terkaya di Indonesia. Dalam buku Soeharto: Setelah Jenderal Besar Pergi, tertera catatan tentang kekayaan putra-putri Soeharto. Siti Hardijanti Rukmana memiliki kekayaan 700 juta dollar AS, Sigit Harjojudanto 800 juta dollar AS, dan Tommy Soeharto yang mencapai 800 juta dollar AS.

Yang paling “miskin” adalah Siti Hutami Endang Adiningsih yang hanya ditaksir 30 juta dolar AS. Andaikan kisah mereka difilmkan pasti akan menarik. Bisa jadi kita akan menemukan kisah yang lebih seru ketimbang film Crazy Rich Asian. Sebab mereka tak sekadar bisa beli hotel mewah, tapi juga bisa menentukan kebijakan negara.

Di situ ada banyak intrik, mulai dari menguasai proyek pemerintah sampai pada kisah-kisah seperti bagaimana mereka bersekolah yang ditemani para ajudan, hingga kisah perselingkuhan dengan model-model cantik, rebutan aset dan proyek pemerintah, hingga bagaimana keluarga itu berlibur.

Sayangnya, kita juga jarang menemukan publikasi atau kisah gaya hidup mereka. Para akademisi kita jarang yang melakukan investigasi tentang gaya hidup mereka. Mereka lebih suka menulis tentang orang miskin dan tertindas. Padahal pengetahuan tentang orang super kaya bisa membantu kita untuk mengetahui bagaimana konflik sumber daya alam bekerja, bagaimana republik ini dikapling, serta bagaimana kebijakan ekonomi yang seakan memihak pada kalangan jetset.

Seusai menonton film Crazy Rich Asian, saya masih memikirkan gaya hidup orang super kaya itu, saat perut tiba-tiba keroncongan. Saya lalu memesan pangsit, makanan yang sering dimakan keluarga kaya di film itu. Sambil makan pangsit, saya lalu mengkhayal bisa sekaya mereka. Kapan yaa? Saya ingat kata-kata motivator: “Saatnya bermimpi, selagi mimpi itu gratis.”




0 komentar:

Posting Komentar