Di Balik Tewasnya Suporter The Jak Mania


seseorang menaruh bunga untuk mengenang tragedi Heysel yang menewaskan suporter Juventus dan Liverpool


DI dekat stadion itu, seorang suporter Persija, tewas mengenaskan. Di media sosial, sejumlah orang menyalahkan suporter sebab membawa atribut The Jak Mania ke markas Persib. Masing-masing pemimpin daerah sudah mengeluarkan kecaman.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil minta agar pelakunya ditindak tegas oleh aparat. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga mengeluarkan kecaman yang sama. Semua orang yang pernah menyaksikan video tewasnya suporter itu akan meneriakkan hal yang sama.

Anehnya, di media sosial, sejumlah orang sibuk membela suporter yang membunuh. Korban disebut bersalah karena sengaja membawa atribut suporter dan membuat postingan di media sosial. Dia disebut sengaja provokasi di kandang lawan.

Hilangnya selembar nyawa tidak harus dibela dengan berbagai argumentasi. Sepakbola bukan soal kalah menang. Bukan juga soal teman dan lawan. Sepakbola hanya permainan di mana 22 orang pemain berburu bola dan berlomba memasukkannya ke gawang.

Sepakbola harusnya menyatukan, bukan malah memisahkan, menjadikan teman sebagai musuh, kemudian muncul solidaritas ramai-ramai dan memukuli orang lain. Tewasnya suporter The Jak Mania ini bukanlah yang pertama.

Sebelumnya kita mencatat ada banyak peristiwa tewasnya suporter karena bentrok di lapangan. Pertanyaannya, mengapa harus bentrok? Mengapa kedua belah pihak tidak bisa saling gembira bersama dan ngopi-ngopi saat timnya menang atau kalah?

Memang, ada banyak soal yang sedang mendera sepakbola kita. Dari sisi prestasi, tak ada yang bisa dibanggakan dari olahraga ini. Jangankan melawan tim Eropa, melawan Malaysia dan Thailand saja kita keok.

Klub-klub kita hanya jago kandang. Sudah merasa hebat ketika bisa mengalahkan klub lokal lainnya. Sependek pengetahuan saya, klub-klub kita dibesarkan oleh fanatisme kedaerahan. Kelompok suporter menjadi kekuatan baru yang setiap tindakannya dikaitkan fanatisme daerah.

Apa saja dibawa ke harga diri. Stadion menjadi panggung bagi harga diri. Ketika menang, yang muncul sikap jumawa. Ketika kalah, harga diri seakan tercabik-cabik. Para pengelola klub dan sepakbola selalu mengklaim diri sebagai modern.

Tapi untuk pengelolaan suporter, sentimen emosional terkait daerah yang dibangun. Sebab sentimen itu yang akan mengikat semua orang dan bersedia datang ke stadion untuk beli tiket dan bisa menonton.

Masalahnya, sentimen itu membuat para suporter menganggap dirinya satu grup, sedang suporter lain sebagai grup lain. Karena masing-masing sudah menganggap berbeda, maka konfik akan mudah terjadi.

Saat saling bergesekan, konflik bisa muncul. Dalam kondisi ramai, semua orang merasa jadi hero dan jagoan. Sepertinya kita kehilangan satu perekat yang menyatukan kita sebagai anak bangsa.
Padahal, biarpun klub dan tim berbeda, kita adalah satu barisan, sama-sama anak bangsa, sama-sama bernaung di bawah sayap garuda republik yang sama.

Satu hal yang harus dicatat. Sepakbola bukan sesuatu yang berdiri sendiri dan lepas dari pengaruh unsur lain. Sepakbola kita tak bisa lepas dari tarikan-tarikan sosial dan politik, serta budaya. Karakter suporter adalah buah yang tumbuh dari cabang pohon masyarakat kita.

Bagaimana mungkin para suporter akan saling memeluk dan mencintai ketika dunia sosial kita mengajarkan kita untuk membenci sesama? Kita berada dalam satu masyarakat yang suka membenci dan perpecahan.

Lihat saja media sosial kita yang setiap hari diisi dengan tengkar dan debat tak kunjung habis. Pilihan politik berbeda bisa memutuskan silaturahmi. Padahal, kekuatan politik mana pun yang naik, belum tentu membawa dampak bagi kehidupan kita.

Kita juga mudah sekali menyalahkan sesuatu di luar kita. Bahkan pelaku pengeroyokan suporter disebut media sebagai oknum. Kita tak secara gentle mengakui bahwa pelakunya adalah pendukung tim tertentu, yang seharusnya mendapatkan hukuman.

Di luar negeri, ketika seorang suporter tewas, maka klub ikut mendapat hukuman larangan bertanding. Saat tragedi Heysel saat pertandingan Liga Champion antara Juventus versus Liverpool, banyak tifosi Juventus tewas.

Saat itu, semua klub Liga Inggris mendapat hukuman larangan bertanding di arena internasional selama lima tahun. Itu harga yang pantas bagi klub yang gagal menertibkan suporternya. Tapi di tanah air kita, kekerasan itu seakan mendapat legitimasi.

Kita jarang mendengar berita tentang hukuman bagi klub mana pun yang suporternya bentrok. Tanpa hukuman, maka kekerasan yang sama berpotensi untuk terjadi lagi di masa depan.
Yang terasa hilang dari kita adalah sikap memandang segalanya sebagai satu semesta, satu jaringan, satu tubuh.

Harusnya kita bisa keluar dari perangkap kecintaan berlebihan pada sesuatu. Toh, kita sesama manusia yang sama-sama mencari ruang untuk hidup. Kita adalah sesama makhluk Allah yang bergerak di bumi untuk memakmurkannya.

Tak hanya di sepakbola, dalam banyak aspek dunia sosial kita tidak merasa sebagai satu bagian. Di dunia politik kita saling kecam. Di dunia budaya juga kita bisa ribut karena menyoal asal tarian. Kita kehilangan satu rasa tenteram sebagai makhluk sosial yang hidup dalam satu komunitas.

Terlampau lama kita memandang diri kita hidup dalam satu sekat-sekat kepentingan. Padahal di luar sana, dunia semakin menyempit. Manusia berbagai bangsa mulai lintas negara. Manusia bergerak menjemput peluang di banyak tempat.

Bahkan ada manusia yang mulai memikirkan bagaimana membangun koloni di Planet Mars. Saya bayangkan setiba di Mars, dia akan membawa identitas sebagai orang bumi, sebagai pendukung klub bumi. Bukan sebagai pendukung klub A atau klub B.

Tewasnya seorang suporter adalah alarm bagi dunia sosial kita. Saatnya kita merumuskan strategi budaya yang bisa menyatukan semua pihak yang berbeda. Sejatinya ini adalah perkara mudah. Tapi ketika kepentingan politik jangka pendek masuk, maka ikatan itu akan segera longgar kembali.

Kita akan kembali dalam konflik yang bisa menewaskan anak bangsa kapan pun itu. Yang terasa hilang dari kita adalah sikap riang dan gembira menyaksikan pertandingan bola, sebagaimana anak kecil melihat mainan baru.

Kita jadi terlampau serius. Apa-apa dikaitkan dengan harga diri. Akibatnya, kita kurang piknik dan kurang bahagia sehingga mudah menyalahkan orang lain. Kita gagal menjinakkan potensi kekerasan dalam diri kita.

Semoga Indonesia selalu damai dan riang gembira.



0 komentar:

Posting Komentar