Media sosial Path akan segera ditutup. Saya termasuk segelintir orang yang merasa kehilangan. Saya mengibaratkan setiap media sosial seperti perkampungan luas yang di dalamnya terdapat banyak orang. Setiap media sosial punya penduduk berbeda. Sebuah kenikmatan bisa pindah-pindah kampung dan bertemu orang berbeda. Kadang penduduk sama, tapi ada norma dan konsensus nilai yang berbeda di setiap kampung media.
Bubarnya Path adalah hilangnya satu kampung, dengan penduduk yang mengungsi ke mana-mana. Kami, pengguna Path, ibarat warga kampung yang hendak ditenggelamkan karena bendungan baru akan dibangun. Hilangnya kampung, hilangnya kenangan.
Saya merasa beruntung karena menyaksikan masa-masa media sosial tumbuh. Thomas L Friedman menyebut era munculnya raksasa internet pada tahun 2007. Pada masa itu, Iphone pertama keluar, Google juga mencapai puncak, Muncul pula Amazon, Apple, hingga situs media sosial bermunculan bak jamur.
Di tahun 2007, saya sedang menjalani masa puber. Saya begitu semangat selancar di internet di berbagai warnet. Mulanya saya gabung di Friendster, dan mencatat rekor janjian dengan beberapa orang cewek. Friendster memungkinkan saya memasang wajah tampan bak aktor, sehingga banyak orang tergoda.
Saat ketemu cewek Friendster, saya beberapa kali kecewa karena tidak sesuai ekspektasi. Tapi saya yakin cewek-cewek itu akan jauh lebih kecewa. Dikiranya Richard Gere. Ternyata bagai bumi dan langit.
Setelah itu saya mengenal mIRC, situs chatting yang mempertemukan dengan banyak orang. Kembali, saya mencatat rekor pertemuan yang lebih sering, dengan hasil lebih buruk dari Freidnster. Tujuh kali ketemu, dan sepuluh kali ditolak.
Setelah itu masuk era Yahoo Messenger. Saya punya akun bernama Timur Angin, biar kesannya sosok romantis dari timur. Saya memasang identitas sebagai pengusaha ikan yang sukses. Tapi, pernah juga saya kehilangan HP jenis Nokia gara2 pertemuan dengan cewek yang saya kenali di grup percakapan Yahoo. Ternyata, pertemuan itu cukup mengecewakan. Dia tak sesuai ekspektasi. Sementara dia jauh lebih kecewa. Dia pikir bertemu Erick Thohir. Ternyata, cuma kembaran Thukul Arwana.
Hingga akhirnya datanglah era Facebook yang lebih transparan dan terbuka. Di sini, saya tak bisa tampil dengan segala kegilaan era media sosial lainnya. Di sini, semua sahabat, guru, dan teman ikut memantau. Saya tak sebebas ngomong apapun sebagaimana Path dan Twitter. Di sini, penduduknya suka ribut gara2 pilihan capres, suka saling bully, dan beraninya keroyokan.
Biasanya, saat ingin curhat, berteriak, atau melakukan kegilaan, saya bertandang ke Path. Sayang, ruang yang dahulu begitu bebas dan terbuka, serta penduduknya tidak suka ribut itu akan segera tutup.
Saya membayangkan satu lagi kampung yang hilang. Saya merindukan tetangga yang damai di sana. Saya kangen dengan sapaan akrab di Path, saat tiba di satu lokasi. Ini medsos yang paling ramah dan jujur menyapa kita di manapun berada.
Saya memikirkan kenangan yang hilang, curhat-curhat yang belum didokumentasi, serta banyak tali-tali persahabatan di sana. Tapi saya paham bahwa hidup ini bukan sekadar merawat kenangan dan memperlakukannya serupa porselen.
Hidup juga perkara bisnis yang harus dihadapi dengan rasional. Ada saat di mana sesuatu dipertahankan, dan dilepas, ada pula saat menghadapi dunia baru. Ada saat melabuh kenangan, ada saat membuka lembaran baru.
Jujur, saya akan selalu terkenang dengan kampung Path yang damai. Semoga suatu saat, ada seseorang yang menelusuri jejak digital di timbunan arsip Path, kemudian menemui saya dan bercerita ada sekeping hati yang saat itu menanti saya, namun saya abaikan karena sibuk menelusuri jalan pedang. Dan dia masih menanti.
Cieee....
0 komentar:
Posting Komentar