Suatu Hari Bersama Caleg




Sahabat itu tak henti-hentinya memojokkan satu calon presiden. Dia menggunakan semua media sosial untuk menyebar berbagai hasutan dan meme negatif mengenai seorang calon presiden. Saat saya pulang kampung, saya baru tahu kalau dirinya adalah salah seorang caleg di satu partai.

Dia akan menghadapi pemilu legislatif. Anehnya, dia lebih suka bahas pilpres. Tak penting lagi bagaimana menggaet suara dan meyakinkan orang-orang untuk memilihnya. Dia ingin menjadi martir yang menyebarkan lagi semua hal yang ditemuinya di berbagai kanal media sosial.

Saat bertemu dengannya, saya kutipkan beberapa bacaan dalam buku Political Personal Branding: Strategi Jitu Menang Kampanye di Era Digital. 

Dalam buku ini terdapat uraian: jauh lebih penting memikirkan arena yang akan dihadapi, ketimbang memikirkan arena lain. Lebih penting senantiasa memikirkan kekuatannya serta apa yang harus dia maksimalkan, ketimbang masuk dalam tarian ataupun genderang yang ditabuh orang Jakarta.

Di daerah, menyatakan dukungan terbuka pada satu capres selalu membawa risiko. Anggap saja dua kubu capres punya massa yang sama banyaknya. Ketika dia mengumumkan secara terbuka dukungan pada satu pihak, lalu sibuk menyebarkan berbagai umpatan pada capres lain, maka dirinya sudah pasti tidak akan didukung oleh pendukung salah satu capres yang diumpatnya itu.

Sementara pendukung capres yang dibelanya juga belum tentu akan mendukungnya. Sebab ada banyak orang yang menjadi martir sepertinya. Belum tentu namanya akan diingat dan dipilih di bilik suara.

Makanya, mending dirinya pragmatis dan oportunis. Kalau mau cerdik, gak usah bahas capres sebab energi publik akan terkuras ke situ. Jauh lebih baik dia bergerak dengan agendanya, menyapa banyak orang, menawarkan komitmen serta harapan akan perubahan. 

Lebih baik dia bekerja dalam senyap, namun efektif untuk menaikkan dirinya ke kursi parlemen. Lebih baik dia berkata, “Siapa pun capresnya, pilih saya sebagai caleg.” Itu jelas lebih efektif agar dirinya tidak lagi hanya sibuk di media sosial, tapi punya kesempatan membuktikannya saat jadi wakil rakyat.

Sayang, dia tak mau mendengar. Dia sangat yakin pada jalan yang dipilihnya. Semua masukan diabaikannya. Dia yakin terpilih sebab ada banyak orang yang bekerja untuk dia. Saya lebih suka diam dan mengangguk. Optimis menang perlu. Tapi mengabaikan semua suara lain selalu berujung pada akhir yang tragis. Tapi saya masih menyisakan banyak optimisme untuknya.

“Negeri ini tak lama lagi bubar. Kita harus selalu bergerak untuk menantang. Kita harus bungkus boneka asing itu,” katanya dengan berapi-api. 

Dari satu kafe di Pulau Buton, yang jaraknya jauh dari Jakarta, saya memilih untuk mendengar uraiannya. Setengah jam mendengar ceramahnya, saya ingin pulang. Tiba-tiba dia berbisik, “Bang, tolong bayarkan kopi yang saya minum hari ini. Juga utang saya yang menumpuk sejak beberapa hari lalu.”

Nah, giliran saya mengumpat dalam hati. “Bagaimana mungkin kau hendak perbaiki negeri ini, sementara untuk segelas kopi pun kau harus menadahkan tangan ke mana-mana. Harus pula berutang.”



0 komentar:

Posting Komentar