Membela Tersangka Korupsi di Malang



SEBANYAK 41 anggota DPRD Malang telah ditetapkan sebagai tersangka. Seperti biasa, semua orang akan bersorak dan tepuk tangan sebab agenda pemberantasan korupsi telah ditegakkan. Semua akan bergembira sebab ada lagi yang ditangkap. Tapi pernahkah kita bertanya, mengapa semakin banyak yang ditahan, korupsi tetap ada?

“Ah, itu hanya sial,” kata seorang teman aktivis. Menurutnya, modus kongkalikong antara pemerintah daerah dan anggota dewan itu terjadi di mana-mana. Tak cuma di daerah. Bahkan di tingkat pusat pun, modus yang sama juga terjadi. “Kalau tak ada bagi-bagi, mana mungkin dewan menyetujui usulan pemerintah,” katanya.

Mungkin saja pemikir Montesqieu tidak menyangka bahwa trias politica yang digagasnya akan dipraktikkan secara berbeda. Dia meniatkan Trias Politica itu sebagai pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Maksudnya, pemisahan wewenang antara pembuat kebijakan (pemerintah), pengawas kebijakan (dewan), dan mahkamah (kehakiman).

Tapi di sini, trias politica itu bukan dilihat sebagai pemisahan, tetapi kolaborasi dan kerja sama. Walikota Malang mengajikan usulan anggaran untuk disetujui dewan. Demi stempel setuju, dia menyiapkan segepok finansial. Walikota berpikir praktis, daripada ditahan-tahan, yang bisa membawa akibat pada lambannya pembangunan, mending dipenuhi keinginannya.

Pihak dewan juga punya pikiran lain. Usulan walikota tidak dilihat sebagai kerja demi pembangunan untuk rakyat. Dewan melihat potensi walikota akan segera panen raya jika usulan anggaran disetujui.

Sebab, usulan anggaran itu akan dieksekusi oleh para rekanan pengusaha itu sendiri. Malah, bisa jadi dieksekusi oleh perusahaan milik walikota sendiri.

“Enak aja, udah dapat tips dari setiap item pekerjaan, eh malah dapat lagi dari rekanan pengusaha. Dia untung, kita buntung. Kita dapat dong?” demikian kira-kira kata anggota DPRD.

Saya teringat ucapan akademisi Edward Aspinall tentang proyek gentong babi atau pork barrel projects. Seorang politisi dan kepala daerah sering menjanjikan proyek-proyek pembangunan. Proyek ini biasanya melibatkan lobi-lobi, jaringan, serta kongkalikong antara dirinya dengan politisi lain. Demi proyek itu lancar, maka banyak pihak harus kecipratan.

Pantas saja kalau beberapa media sering menyebutnya korupsi berjamaah. Sebab dilakukan secara bersama-sama, mengikuti arahan dari satu orang. Kata berjamaah sebenarnya kurang elok menjadi sebutan, tapi publik butuh satu pandangan yang menyatakan bahwa ini tidak dilakukan seorang diri, melainkan beramai-ramai.

Kata peneliti Michael Buehler, hampir semua proyek-proyek pembangunan selalu dikerjakan oleh kontraktor atau perusahaan milik seorang kepala daerah. Itu semacam proyek balas budi. Sebab ketika seseorang jadi kepala daerah, dia juga didukung oleh banyak pengusaha. Pepatah “no free lunch” berlaku di sini. Tak ada makan siang gratis.

Tapi tidak bisa juga hanya menyalahkan walikota dan anggota dewan. Birokrasi juga harus dituding sebab hanya mengikuti apa saja kemauan penguasa. Birokrasi harusnya netral dan profesional sebab tugasnya memberikan pelayanan.

Sejak awal, birokrasi tahu bahwa ada persekongkolan. Anggaran itu kan bakal dicairkan bendahara daerah. Kalau dia tahu bahwa itu keliru, mengapa dia diam saja? Jika ditelusuri, maka beberapa hal membuat birokrat bungkam. Pertama, sebab bisa jadi mendapat bagian. Kedua, memilih tunduk patuh pada keinginan walikota sebab jika membantah akan terancam mutasi.

Kita pun juga harus berani menyalahkan masyarakat kita. Sebab masyarakat kita memandang tinggi mereka yang kaya dan sejahtera. Di berbagai kondangan ataupun pesta pernikahan, orang-orang kaya-raya selalu menempati kursi paling istimewa.

Kepada orang kaya, semua orang langsung tunduk dan berbicara sopan. Semua mendadak baik begitu bertemu orang kaya.

Bahkan tak segan-segan menawarkan semua pertolongan pada orang kaya. Di hadapan orang kaya, semua mendadak jadi abdi. Karena realitasnya seperti ini, jangan salahkan orang-orang berusaha untuk cepat kaya. Banyak yang sengaja menempuh jalan pintas agar kaya.

Orang mengira kekayaan identik dengan penghormatan orang lain. Andaikan kita menemukan penghormatan yang sama pada orang berilmu, orang baik, maka mungkin saja orang akan berlomba-lomba menjadi orang baik dan berilmu. Kita tak bisa juga hanya menyalahkan mereka yang ditangkap di Malang itu.

Mereka memang ingin kaya dan menempuh cara yang tidak biasa yakni melalui korupsi. Tapi kita dan semua penegak hukum juga lalai sejak awal untuk membangun satu sistem terpadu yang bisa menghalangi orang untuk tidak korupsi. Kata seorang filsuf, manusia itu pada dasarnya jahat.

Aturan dan norma-norma di masyarakat sengaja dibuat agar potensi jahat itu tidak disalurkan. Seseorang bisa saja berhasrat untuk kaya dengan cara korupsi, tapi ketika dirinya takut menghadapi penjara atas tuduhan korupsi, maka dirinya bis terhindar.

Tak hanya itu, harusnya kita membangun sistem yang tidak memberi peluang bagi tindak korupsi. Korupsi terjadi karena ada celah. Ketika kita menutup semua celah, maka tak ada lagi kesempatan untuk melakukan korupsi. Nampaknya, aspek pencegahan ini belum kita perkuat.

Lembaga-lembaga hukum seperti KPK dan Kejaksaan hanya fokus pada bagaimana menangkap koruptor, tanpa melakukan upaya pencegahan agar orang tidak korupsi.
Jika tak ada pembenahan serius pada sistem, aturan, dan norma, maka berita tertangkapnya para koruptor akan terus menjadi sajian di media-media kita.

Maka benarlah ucapan seorang kawan kalau status tersangka pada 41 orang di Malang disebabkan kesialan. Mungkin benar tuduhan kalau penegak hukum hanya melakukan uji petik dari begitu banyak sampel kemudian menahan mereka.

Apakah ini efektif untuk pencegahan korupsi? Sorry to say, saya rasa ini hanya jangka pendek saja. Selanjutnya, kasus ini bisa terjadi lagi. Sebab siapa pun yang ada di situ maka berpotensi melakukannya. Kita bisa berdalih bahwa ada celah.

Andai kita menutup semua celah, maka kita bukan saja menyelamatkan negara, tapi menyelamatkan aset terbaik kita agar tidak melakukan korupsi yang bisa membunuh semua potensi mereka.

Pada mereka yang dinyatakan tersangka di Malang, kita menemukan cermin sosial kita yang menunjukkan betapa banyak pekerjaan rumah untuk segera kita tuntaskan demi anak cucu kita di kemudian hari, demi republik yang dibebaskan dengan penuh darah dan air mata.(*)


CATATAN:

Tulisan ini pertama kali dimuat di Okami.id, pada Selasa 4 September 2018.


0 komentar:

Posting Komentar