saat Indonesia U-19 juara (foto: viva.co.id) |
ANAK muda itu berjalan pelan menuju ke
bola yang diletakkan di depan gawang. Ilham Udin Armayn bersiap-siap hendak
menendang bola. Jutaan pasang mata terpaku ke arahnya. Di layar televisi,
seorang komentator meminta agar jutaan orang yang menyaksikan itu ikut
mendoakan agar tendangan anak muda itu tidak meleset.
“Jebreeeeettttt,” komentator berteriak
kala tendangan Ilham berhasil merobek jala gawang. Ilham spontan berlari dan
berteriak demi melapkan kegembiraan. Kiper Indonesia Ravi Murdianto ikut
mengejar dan merayaan kebahagiaan itu. Ribuan penonton di stadion langsung
bersorak-sorai. Di tengah kegembiraan yang memenuhi hati para penonton, sang
komentator lalu mengutip kalimat Bung Karno, “Berikan aku sepuluh orang tua, akan kucabut Gunung Semeru dari
akarnya. Berikan aku 10 pemuda, akan kuguncangkan dunia.”
Saya yang menyaksikan layar televisi langsung
merinding. Saya ikut larut dalam puncak kegembiraan tersebut. Saya ikut
berteriak “Gooolll!”. Saya bisa merasakan bagaimana rasa gembira serta dahaga
akan penantian gelar selama 22 tahun. Malam itu, semua rasa haus itu langsung
berakhir. Indonesia bukan lagi spesialis runner up atau partisipan di ajang
pertandingan bola. Indonesia adalah juara. Saya semakin merinding ketika
komentator mengutip Bung Tomo, “Selama
banteng Indonesia berdarah merah, yang mampu membikin secarik kain putih jadi
merah dan putih, maka kita tidak akan menyerah!”
Kini, sehari setelah pagelaran sepakbola
AFF U-19, pertandingan final itu masih membekas di hati banyak orang. Bukan
saja karena Indonesia sukses meraih titel juara. Namun juga karena drama,
ketegangan, serta nasionalisme yang dikerek tinggi-tinggi. Ketika mengenang
pertandingan itu, tiba-tiba saya terkenang pada sang komentator yang bisa membuat
pertadingan itu jadi lebih heboh dan menegangkan. Ia sukses menghidupkan
suasana. Ia telah menyebar virus dan kosa kata baru yakni “Jebret..!!”
Valentino Simandjuntak, sang komentator Jepret |
Seusai kemenangan Indonesia atas Vietnam,
banyak orang ikut memopulerkan kata Jebret. Di jagad Twitter, Jebret menjadi
kata sakti yang diucapkan banyak orang atas kemenangan Indonesia. Tak hanya
Jebret, beberapa kata lain juga populer yakni Jeger, aw aw, ahay, dan ‘melambung
jauh’ (kata ini mengingatkan pada bait
lagu Anggun).
Tak hanya itu, sang komentator
menggelorakan semangat dan nasionalisme lewat kutipan kalimat-kalimat para
founding fathers. Selain Bung Karno dan Bung Tomo, ia juga mengutip Soedirman,
Kartini, hingga Bung Tomo. Siapakah komentator yang telah mengharubirukan
nasionalisme kita semua?
Pria itu bernama Valentino Simanjuntak. Tadinya
saya mengira ia sudah berusia 50-an tahun. Gayanya ketika mengomentari
pertandingan mengingatkan saya pada reporter Radio Republik Indonesia (RRI)
yang kerap menyiarkan pertandingan secara langsung, berdasarkan pandangan mata.
Namun saya melihat fotonya, saya agak terkejut. Ternyata ia masih cukup muda
dan ganteng. Di akun twitter-nya, ia menulis bahwa dirinya adalah: “
Kepada Tempo, ia mengaku bahwa awalnya ia
disuruh membawakan komentar dengan gaya khas komentator Italia dan Amerika
Latin. Ia melihat bahwa gaya kometator kita seringkali terlampau dingin dan
tidak memasukkan emosi dalam laporannya. Ketika ia mendengar komentator di
Amerika Latin, ia teringat pada gaya reportase khas RRI. Gaya seperti itu dulu
sangat ppuler dan bisa bikin emosi warga turun naik. Kosakata Jebret telah
dikenalnya sejak kecil. “Sebenarnya kata “jebret” itu biasa saya pakai kalau
main bola waktu kecil. Di kampung saya, di Srengseng Sawah, kalau kita nendang
kenceng, istilahnya kan “kita jebretin kipernya aja”.
Atau “Awas loe ya, gue jebret loe.”
Mengenang Sambas
Mengapa ia selalu menyuruh penonton untuk
berdoa? “Itu saya tiru dari Bung Sambas, komentator TVRI era 1980-an. Ia
selalu mengajak penonton untuk berdoa. Selain itu, kita juga di dalam studio
tegang, lho. Sambil meyakinkan diri sendiri, saya ajak juga penonton untuk
berdoa. Seperti yang saya bilang, harapan itu selalu ada, “ katanya.
Sambas Mangundikarta, sang komentator legendaris |
Mereka yang menyaksikan siaran olahraga
tahun 1980-an, pastilah mengenal sosok bernama asli Sambas Mangundikarta. Pria
yang lahir di Bandung tahun 1926 ini memulai karier dari RRI. Ia dikenal piawai
menyiarkan tayangan olahraga secara langsung melalui radio. Pada masa itu, tak
semua orang memiliki televisi, Tak semua orang memiliki akses untuk datang
langsung ke lapangan. Melalui RRI, Sambas menyiarkan tayangan olahraga
sekaligus menggelorakan semangat nasionalisme ke seluruh penjuru tanah air.
Gaya Sambas menjadi trendsetter yang mempengaruhi semua liputan olahraga. Sosok asal
Jawa Barat ini adalah sosok fenomenal yang bisa membuat semua tayangan olahraga
jadi lebih dramatis dan menghibur. Ia bisa mengaduk-aduk emosi dan bisa membuat
penonton bersemangat dan merasakan atmosfer dalam stadion. Lagu ciptaannya
“Manuk Dadali” pernah menjadi lagu wajib yang sealu dinyanyikan The Viking,
kelompok suporter Persib Bandung sebelum tim itu berlaga.
Di awal tahun 1990, saya sering melihat
Sambas memandu tayangan bulu tangkis. Sambas tak pernah obyektif. Ia akan
membela Indonesia mati-matian dalam liputannya. Pernah, shuttlecock pemain Indonesia keluar, Sambas berkata bahwa bola
seharusnya masuk. Suara baritonnya sangat khas. Demikian pula pilihan-pilihan
katanya. Dan saya sangat yakin ketika Valentino berkata, “Saudara-saudara
sebangsa dan setanah air,” kalimat ini dikutip dari Sambas, yang mengutipnya
dari Soekarno.
Selain olahraga, Sambas juga mengasuh
acara Dari Desa ke Desa yang tayang
di TVRI. Ia amat sukses membawakan acara ini. Bahkan ketika ia pensiun pada
tahun 1982, Presiden Soeharto tetap memintanya untuk membawakan acara itu.
Maklumlah, suaranya yang khas itu membuat acara tentang pertanian itu menjadi
sedemikian menghibur dan disukai orang.
Hingga kini, gaya tersebut masih sering
hadir di layar televisi. Saat masih tinggal di Makassar, saya tahu bahwa jika
tak sempat ke stadion Mattoanging untuk menyaksikan PSM bertanding, maka cukup
menyalakan radio dan mencari siaran RRI. Di situ, akan ada siaran langsung yang
mereportase semua yang terjadi di lapangan bola persis sebagaimana adanya. Kadang-kadang,
penyiarnya lebay atau melebih-lebihkan apa yang nampak. Namun saya justru
melihat itu sebagai bagian dari strategi untuk mmbuat tontonan jadi semakin
menarik. Para komentator bola di luar negeri pun melakukan hal yang sama.
Bagi saya, yang menarik dari seluruh
tayangan olahraga bukanlah fakta siapa yang menang dan siapa yang kalah. Yang
membuat acara olahraga sangat menarik adalah drama dan ketegangan yang
dihadirkan, serta sosok-sosok yang berhasil menjalankan misi-misi penting. Kita
menjadi tegang karena mengetahui betapa beratnya perjuangan seorang atlet untuk
membela negara. Kita juga bahagia saat mengetahui bahwa pengorbanan itu
membuahkan hasil yang positif.
saat juara |
Tugas seorang komentator adalah
memindahkan ketegangan seorang atlet ke dalam pikiran semua penonton. Dan
komentator seperti Sambas dan Valentino sukses membuat publik menjadi lebih
bersemangat, lebih nasionalis, dan lebih mencintai tim tanah air. Mereka telah
menebalkan nasionalisme, merawat kebanggan kita pada bangsa, serta menunjukkan
kepada semua orang bahwa hanya dengan semangat tinggi, negeri ini bisa
mengalahkan segala yang mustahil. Bravo buat mereka. Jebrettt...!!!!
Baubau, 24 September 2013
5 komentar:
Jebret dan indonesia menjadi juara AFF U-19 setelah puasa gelar sekian lama
hahaha,....jebreetttttt.....!!!
Hehehee.....jebreeetttt...!!!
Mantab om Sambas, sempga akan muncul sambas2 yang lain yang juga pencipta lagu2 daerah sepeeti manuk dadali
Posting Komentar