ilustrasi |
DI tanah Makassar sana, sekelompok orang
bersorak-sorai merayakan kemenangan atas pilkada. Di tanah itu pula, ada
sekelompok orang yang kemudian terisak karena kekalahan di depan mata. Mungkin
seperti itulah lagu kehidupan. Ada sorak-sorai kemenangan, dan ada isak tangis
karena kekalahan.
Kekuasaan memang memabukkan. Demi kuasa
itu, miliaran, bahkan triliunan uang dihamburkan demi memasuki kancah pertarungan. Politik adalah
arena untuk saling menjegal dan saling serang demi kemenangan. Mereka yang
masuk ke dalam rimba raya politik adalah mereka yang membangun barisan panjang,
dan di situ terdapat semua pasukan yang berjibaku demi kemenangan.
Beberapa tahun silam, saya menulis tentang
politik sebagai industri. Hingga hari ini, saya tak pernah berniat untuk
merevisi pandangan itu. Yang saya maksudkan dengan industri adalah satu
mekanisme atau mata rantai yang melibatkan banyak bagian, dan masing-masing
bagian itu saling membutuhkan. Lihat saja mereka yang bertarung di arena
pilkada. Mereka di-backup oleh banyak tim, mulai dari tim citra, tim akademis,
tim preman, hingga tim pemasang baliho.
Jika anda punya akses pada satu tim sukses,
cobalah hitung berapa biaya untuk menggerakkan mesin politik itu. Apakah
semiliar? Rasanya, dana semiliar tak cukup untuk pilkada. Apalagi untuk konteks
Makassar. Pastilah dana yang dibutuhkan sangat berlipat ganda. Uang menjadi
benda wajib yang dikucurkan demi memenangkan kuasa. Politik butuh modal.
Minimal untuk memanaskan mesin politik atau mengalirkan energi pada setiap lini
agar mesin itu terus bekerja.
Sejak dulu hingga sekarang, saya tak
pernah percaya pada proses politik bernama pilkada. Saya juga tak percaya tim
sukses. Mereka ibarat para penyabung ayam yang jelang pertandingan sibuk
mengelus-elus jagonya. Pilkada menjadi arena game atau permainan menang kalah.
Mereka yang menang akan sukses dan memanen rezeki, sedang yang kalah akan
menangis terisak ketika membayangkan uang yang terlanjur dibelanjakan.
Yup. Pilkada adalah arena yang bisa ditafsir dari banyak sisi. Bagi
rakyat, pilkada adalah ajang yang menawarkan janji surga. Bagi politisi,
pilkada adalah awal dari pergeseran kekuatan. Bagi pengusaha, pilkada adalah
arena untuk memasang taruhan dan siap-siap memanen keuntungan jika menang. Bagi birokrat,
pilkada adalah permulaan dari rasa was-wasa apakah akan digeser ataukah tidak.
Bagi preman, pilkada adalah saat tepat memanen duit lewat kerja-kerja
intimidasi.
Bagi saya, pilkada adalah pil pahit, sebab
untuk kesekian kalinya kita memelihara harapan, sebelum akhirnya
dipatah-patahkan oleh para cukong dan pemimpin yang sesumbar dengan
keberhasilannya, namun minim pengorbanan bagi masyarakat.(*)
Baubau, 19 September 2013
2 komentar:
Bagi saya pilkada adalah waktunya mngumpulkan uang dari para calon ._. Lumayan jika seperti di Makassar ini ada 10 calon, seratus ribu setiap calon saja saya sudah dapat sejuta >.< hahaha tinggal coblos kesepuluhnya, selesai >.<
@Dweedy: sy juga melihat hal yang sama. hehehe
Posting Komentar