Zaskia Gotik dan Vicky Prasetyo |
SEORANG sahabat dari Malaysia tiba-tiba
saja mengirim pesan melalui email. Ia bertanya siapakah gerangan lelaki bernama
Vicky Prasetyo? Mengapa lelaki itu bisa menghebohkan jagad media sosial di
Indonesia? Di akhir pesannya, ia juga bertanya, apakah Vicky seorang calon
presiden yang popularitasnya telah mengalahkan Gubernur Jokowi?
Beberapa hari ini, Vicky Prasetyo menjadi
sosok paling heboh di jagad media kita. Namanya tak hanya bergema di tanah air,
namun tersebar hingga ke seluruh dunia. Di
jagad facebook dan twitter, Vicky adalah selebritis baru yang dibahas ribuan
kali dalam sehari. Hampir setiap hari, televisi menayangkan dirinya yang sedang
mengucapkan kalimat-kalimat ‘canggih’ khas orang intelek atau orang sekolahan.
Komentar Vicky, yang dianggap lucu oleh sebagian
besar masyarakat, menempatkannya sebagai selebritis yang menenggelamkan nama
Zaska Gotik, mantan tunangannya. Ia serupa virus yang menyebar dengan cepat,
merasuki kepala banyak orang secepat kilat.
Masyarakat kita memang mudah heboh untuk
sebuah isu. Masyarakat kita mudah diserang epidemi informasi sehingga semua
orang terserang virus Vicky dan membahasnya terus-menerus. Semua
membicarakannya. Anehnya, seorang mantan pemimpin redaksi sebuah media paling
berpengaruh juga ikut ‘mengolok-olok’ cara berbahasa Vicky. Padahal, tulisan
sang mantan pemred itu lebih memusingkan dari cara berbahasa Vicky. Tulisannya amat
sulit dimengerti karena penuh bahasa intelek dan filsafat tingkat tinggi.
Mengapa harus Vicky yang dibahas dan ditertawakan?
Beberapa hari lalu, saya menyaksikan
videonya yang sedang berpidato dalam bahasa Inggris pada kampanye pemilihan
kepala desa. Kembali, banyak orang kembali menertawakannya karena berbahasa
Inggris yang tak fasih dan tak mematuhi kaidah grammar. Seorang tetangga saya
ikut-ikutan menertawakan cara berbahasa Vicky, padahal, saya tahu persis bahwa
tetangga saya juga punya bahasa Inggris yang hancur-hancuran. Mengapa harus menertawakan
Vicky ketika sebagian dari kita justru punya problem yang sama dalam hal
berbahasa Inggris?
Dalam amatan saya, ada tiga hal yang
sering dibahas mengenai fenomena Vicky. Kita akan melihatnya satu per satu.
Pertama, adalah masalah bahasa Inggris yang amburadul. Kedua, penggunaan bahasa
intelek atau bahasa ‘tingkat tinggi’. Ketiga, potret masyarakat Indonesia. Kita
akan melihat satu per satu.
Penggunaan Bahasa Inggris
Bagi saya, hal yang amat wajar ketika
Vicky belepotan dalam menggunakan bahasa Inggris. Bahasa itu bukan bahasa nenek
moyang kita. Sejak lahir dan bersekolah, bahasa Inggris hanya dipelaari secara
terbatas. Jika kita tak bisa bahasa Inggris, maka itu bukan hal yang luar
biasa. Itulah fenomena keseharian kita. Namun, apakah di negara-negara
berbahasa Inggris semua orang fasih menggunakan bahasa itu? Ternyata malah
tidak juga.
Ketika tinggal di Amerika Serikat (AS),
saya bertemu banyak orang yang tak bisa berbahasa Inggris dengan lancar.
Teman-teman dari Asia Timur seperti Jepang Korea dan Cina, memiliki kemampuan
bahasa Inggris yang juga pas-pasan. Mahasiswa dari negara-negara itu memenuhi
kelas-kelas bahasa Inggris di negeri Paman Sam. Bahkan, beberapa teman dari
Afrika juga mengidap problem yang sama.
Pernah, di satu terminal bus di Columbus,
Ohio, saya bertemu dengan seorang ibu asal satu negara di Afrika yang di
sepanjang perjalanan menyerocos dalam bahasa yang tidak saya mengerti. Ketika
saya hendak mendorong tas saya, ibu itu tiba-tiba saja berkata, “Me no push!” Saya tak mengerti apa
maksudnya. Beberapa detik kemudian saya mulai paham bahwa ia hendak berkata “Don’t push!” Ketika saya mengulangi
kata itu, sang ibu langsung tersenyum.
Apakah warga Amerika mentertawakan grammar
yang kacau dari warga internasional? Sama sekali tidak. Pengalaman saya
mengajarkan bahwa ruang-ruang sosial di negeri itu justru memberikan kesempatan
kepada banyak orang untuk belajar dan mengembangkan kemampuan berbahasanya.
Masyarakat Amerika justru mendorong semua orang untuk belajar, tanpa pernah
mengolok-olok pengetahuan orang lain.
Ternyata, warga Amerika dan warga
internasional lainnya melihat aspek substansi sebagai aspek yang jauh lebih
penting ketimbang cara menyampaikan sesuatu. Kemampuan bahasa adalah sesuatu
yang bisa diasah seiring dengan waktu. Pantas saja, mereka tak pernah
menertawakan kemampuan orang lain.
Penggunaan Bahasa Intelek
Hal lain yang sering dibahas mengenai
Vicky adalah penggunaan bahasa intelek. Kita sama-sama menyaksikan bagaimana
Vicky menyebut-nyebut istilah seperti ‘kontroversi kemakmuran’, ‘labil
ekonomi’, ‘konspirasi hati.’
Seingat saya, cara berbahasa dan
penyebutan berbagai istilah seperti ini bukanlah hal yang baru. Hampir setiap
hari, kita dibombardir dengan cara berbahasa yang amburadul oleh berbagai media
massa. Sebagai konsumen, kita dipaksa untuk menyaksikan komentar dari
orang-orang hebat yang kerap mengeluarkan istilah-istilah canggih yang justru
berjarak dari pahaman sebagian orang. Sebagai rakyat bisa, kita dipaksa untuk
memahami beragam istilah canggih yang dikeluarkan orang-orang hebat di negara
ini. Contoh paling nyata adalah kebijakan menaikkan harga BBM. Pemerintah sibuk
berretorika tentang harga minyak dunia, inflasi, krisis, dan pentingnya
regulasi harga. Apakah rakyat biasa paham dengan bahasa canggih itu? Tidak sama
sekali. Yang terjadi kemudian adalah upaya pengaburan informasi, yang prosesnya
sama saja dengan yang dilakukan oleh Vicky.
Tak hanya Vicky, para pengamat politik di
media pun paling sering menggunakan istilah-istilah yang kadang malah membuat
sesuatu semakin rumit. Bahkan, ada pengamat yang sering memakai kata berbahasa
Inggris sebagai judul untuk sebuah tulisan berbahasa Indonesia. Saya pernah
pula melihat seorang pengamat berkali-kali menyebut istilah depresiasi. Setelah
mengamati dengan seksama, ternyata ia hendak menyebut kata ‘penurunan.’ Jika
kata tersebut punya padanan dalam bahasa Indonesia, mengapa harus memakai
istilah asing?
Bahkan pada zaman Orde Baru, berbagai
istilah-istilah canggih sengaja dikeluarkan pemerintah demi untuk menutupi
kenyataan yang sebenarnya. Kita masih ingat istilah ‘kenaikan harga’ yang
diganti oleh pemerintah dengan istilah ‘penyesuaian harga’, kemudian istilah
‘penjara’ diganti dengan ‘lembaga pemasyarakatan.’ Bahasa memang jadi medium
kuasa. Melalui penggunaan bahasa yang canggih itu, satu kelompok memperkuat
cengkeraman dominasinya pada kelompok lain.
Potret Sosial
PADA akhirnya, fenomena Vicky adalah
potret sosial kita yang sesungguhnya. Ia hanyalah produk dari amburadulnya cara
berbahasa di berbagai level sosial. Ia juga menunjukkan watak kita sebagai anak
bangsa yang suka mengolok-olok kelemahan ornag lain, padahal kita pun mengidap
problem yang sama. Ketika kita menertawakan Vicky, maka sesungguhnya kita
sedang menertawakan diri sendiri yang sering gagap dalam meniru istilah-istilah
canggih.
Lagian, masyarakat kita yang terlanjur
mendefinisikan bahwa sesuatu yang hebat adalah sesuatu yang diucapkan dengan
istilah hebat. Generasi sekolahan kita gagal mendidik masyarakat untuk lebih
mengedepankan makna, ketimbang kulit dari sebuah pesan. Orang hebat kita pandai
mengutip statistik dan istilah asing demi menampilkan citra diri yang hebat,
tanpa mempedulikan tingkat pengetahuan masyarakat.
Vicky telah membantu kita untuk
mendefinisikan watak masyarakat kita yang sesungguhnya. Mungkin, kita pun
sering berbahasa sebagaimana dirinya. Sebab bahasa itulah yang kita saksikan
setiap hari. Bahasa itulah yang membuat kita semua mendefinisikan diri kita.
Bahasa itulah yang setiap hari kita saksikan di media. Lantas, mengapa harus
mengolok Vicky?
Baubau, 14 September 2013
3 komentar:
Lama2 enak juga lo pake istilah "produk" Vicky
Lama2 enak juga lo pake istilah "produk" Vicky
Tulisannya enak di baca pak. salam kenal...:)
Posting Komentar