Triliunan Rupiah demi 33 Bule


lelaki tua yang bersiap menari

SEBUAH acara bernama Sail Indonesia atau kerap disebut Sail Komodo 2013 digelar di banyak titik di tanah air. Acara ini menghabiskan anggaran triliunan rupiah. Banyak pemerintah daerah yang ikut-ikut menggelontorkan dana hingga miliaran rupiah demi menyambut turis asing yang datang dengan kapal layar. Tahukah anda berapa jumlah turis asing itu? Hanya berjumlah 33 orang. What? Mengapa harus triliun?

***

LELAKI itu berusia sekitar 50-an tahun. Ia bekerja sebagai petani, yang juga sebagai pemuka adat di satu daerah di wilayah Buton. Hari itu, ia datang ke kawasan bernama Takawa di Pasarwajo, ibukota Kabupaten Buton, untuk ikut mengambil bagian dalam sebuah tarian kolosal. Ia bergabung dengan 12.500 penari demi untuk memecahkan rekor menari nasional.

Di Takawa, ribuan orang telah berkumpul. Mereka berpakaian warna-warni. Ada yang berbaju merah, putih, hijau, hingga biru. Semua orang bersiap menari di hadapan sebuah panggung raksasa yang dibikin di atas bukit. Di atas bukit itu, telah berdiri pula sebuah tempat untuk memandang ke lapangan. Di tempat itu, duduklah para pejabat, serta turis asing sejumlah 33 orang. Mereka laksana duduk di singgasana dan menyaksikan para penari beraksi.

Sehari sebelumnya, para bule itu disambut dengan penuh kemeriahan. Mereka diminta menyaksikan pemecahan rekor nasional acara pekande-kandea, atau tradisi memberi makan tamu dengan talang makanan sebanyak 1.000 talang. Turis-turis asing itu juga menyaksikan ritual dole-dole atau ritual utuk mendoakan bayi, yang diikuti sekitar 1000-an bayi.

Buton adalah salah satu daerah yang disinggahi rombongan peserta Sail Indonesia. Tahun ini, tema Sail Indonesia adalah Sail Komodo. Jika dilihat jumlah peserta, maka jumlah kapal layar tahun ini berkurang drastis dibandingkan sebelumnya. Pada tahun 2010, terdapat 107 kapal layar yang membawa .. turis. Tahun ini, hanya tercatat sekitar 20-an kapal layar, dengan jumlah turis 33 orang.

Meski pesertanya berkurang, namun antusiasme dan pembiayaan pemerintah derah justru makin berlipat. Konon, pemerintah Nusa Tenggara Timur menghabiskan baya hingga 3,7 triliun demi menyelenggarakan festival untuk menyambut 33 bule itu. Acara puncaknya menghabiskan dana hingga 16 miliar rupiah.

salah satu yacht
saat tarian kolosal
tarian kolosal untuk menyambut turis (foto: Azzanudin Umae)

Setelah berkunjung ke Pulau Komodo, para turis asing akan berlayar ke banyak tempat, di antaranya beberapa tempat di Sulawesi Tenggara yani Buton, Baubau, Bombana, dan Wakatobi. Menurut beberapa sumber di Buton, biaya penyambutan turis serta tarian kolosal mencapai dana lebih 10 miliar rupiah. Ini baru Buton, belum termasuk daerah-daerah lain.

Di semua tempat-tempat tersebut, pemerintah daerah mengeluarkan banyak biaya demi memanjakan para turis. Nampaknya, panitia kegiatan ini paham benar daerah mana saja yang butuh publikasi atau promosi. Demi acara promosi itu, kas pemerintah daerah dikeruk. Tak hanya pemerintah provinsi NTT, pihak Kabupaten Buton pun mengeluarkan dana miliaran untuk kegiatan ini. Untuk apakah menyambut 33 turis dengan biaya miliaran?

Lelaki tua yang hendak menari itu tak paham apa tujuannya menari. Mungkin saja ia sedang memikirkan bagaimana dengan nasib kebunnya atau tentang cucu-cucunya yang hendak mengajaknya bermain. Jika bisa memilih, mungkin ia memilih untuk menjagai dan merawat kebunnya. Apa daya, semua kepala desa dan tokoh adat sengaja dipanggil oleh pimpinan daerah demi mempertontokan tarian massal itu. Namun apakah makna tarian massal itu bagi sang penari?

Nampaknya pihak yang menyuruhnya datang punya cara pandang berbeda. Para pejabat daerah melihat acara itu sebagai momen strategis untuk memperkenalkan budaya. Mereka ingin menggaungkan budaya hingga level nasional. Para pesohor dihadirkan, Televisi pun dihadirkan. Demi pertunjukkan mahal itu, miliaran uang telah dikucurkan.

Para pejabat itu meyakini bahwa kedatangan turis asing akan membawa dampak bagi ekonomi lokal. Katanya, para turis akan berbelanda di pasar-pasar, kemudian mengeluarkan uang yang lalu diserap oleh warga lokal, setelah itu mereka akan mengabarkan tentang indahnya daerah kepada dunia. Namun bisakah kabar tentang indahnya tanah air akan tersebar kepada dunia ketika hanya 33 bule yang hadir? Mengapa pula mereka disambut bagaikan raja?

Mungkin pula ini senantiasa terkait dengan cara berpikir kita yang melihat warga asing sebagai mahluk setengah dewa. Banyak di antara kita yang masih memelihara warisan cara berpikir zaman kolonialisme, yang selalu melihat warga asing sebagai majikan yang harus dilayani. Pantas saja jika para turis itu disambut meriah, dielu-elukan, dikalungi bunga, kemudian dijamu dengan pesta adat yang menampilkan 1.000 talang makanan. Para turis itu dianggap sebagai dewa-dewa kayangan yang datang dari langit demi untuk melihat masyarakat bumi yang serba kekurangan. Benarkah para turis itu adalah dewa?

Saya sempat berbincang dengan seorang di antaranya. Namanya Nick. Usianya sekitar 50-an tahun. Ia mengaku berasal dari Adelaide, Australia. Ia datang dengan kapal layar bersama pacarnya, seorang wanita asal Kanada. Katanya, ini adalah kali kedua keikutsertaanya di acara Sail Indonesia. Tujuannya ikut acara itu adalah untuk menghabiskan masa libur kerja dengan cara mengunjungi banyak pulau di Indonesia.

sambutan kepada turis asing (foto: Azzanuddin Umae)

Nick heran dengan sambutan yang meriah di banyak tempat. Ketika saya beritahu bahwa biaya pemerintah hingga jutaan dollar, Nick geleng-geleng kepala. Kegiatan itu membuatnya melihat sisi lain Indonesia. Bahwa Indonesia tak cuma punya pulau-pulau indah, melainkan juga sisi kemiskinan yang nampak di pulau-pulau, serta sikap narsis para pejabatnya yang suka menghamburkan uang.

“Saya sendiri tak nyaman dengan penyambutan semegah ini. Apa daya, inilah cara pemerintah anda menyambut kami semua,” katanya.

Saya hanya bisa kagum sekaligus miris menyaksikan acara sebesar ini. Kagum melihat cara yang berskala besar. Miris kala menyadar fakta betapa tertinggalnya Kabupaten Buton jika dibandingkan dengan kabupaten lain. Infrastruktur kabupaten ini terbilang parah. Banyak jalan-jalan yang rusak. Bahkan, kondisi ibukota kabupatennya tak berbeda jauh dengan kondisi 10 tahun silam, ketika kabupaten ini mekar. Geliat pembangunan tak seberapa nampak di sini. Lebih miris lagi saat mengetahui angka kematian bayi yang terus bertambah jumlahnya.

Apa boleh buat. Kita terlahir di negeri yang para pejabatnya sering tidak peka dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Dana triliunan dihabiskan untuk menjamu 33 bule, siaran langsung di televisi, lalu mendatangkan beberapa artis. Sementara di sisi lain, banyak warga lokal masih menggantungkan harapan pada kebun kecil di tanah tandus, yang hasilnya tak seujung kuku dari biaya sebuah festival.

Di tempat itu, saya menyaksikan sebuah parade kemegahan, sekaligus parade kemiskinan. Mereka yang miskin itu hanya menyaksikan dengan mata nanar ketika pemimpinnya menyambut 33 tamu itu dengan penuh narsis, menjamu dengan sajian para dewa, lalu dengan pongahnya membanggakan negerinya yang hebat.


Baubau, akhir Agustus 2013

gadis-gadis penyanyi


0 komentar:

Posting Komentar