MENONTON film Man of Tai Chi yang
disutradarai Keanu Reeves serasa menikmati menu yang rasanya sudah amat
dikenali saking seringnya dicicipi. Saya agak telat menyaksikan film ini. Saya
tak menyesal karena tak ada yang istimewa. Ceritanya mudah ditebak. Gak beda
jauh dengan film Bloodsport yang dibintangi Van Dame. Akting pemain juga serba
hambar.
Di Indonesia, film ini menyerap atensi
publik karena salah satu aktor laga Iko Uwais muncul di akhir film. Itupun
hanya beberapa menit saja. Ceritanya, Iko mesti bertarung dengan Tiger Chen,
seorang pendekar Tai Chi. Sayang, pertarungan itu tak terjadi sebab sang Tai
Chi Master memilih untuk menghindari pertarungan.
Sepanjang film, saya menanti-nanti
filosofi atau makna dari seni bertarung ala Tai Chi. Dalam satu film yang
dibintangi Jet Li yakni Tai Chi Master, ada penjelasan yang cukup menarik.
Kalau tak salah, Jet Li menyebut bahwa Tai Chi adalah proses menyatunya seorang
manusia dengan alam semesta. Tai Chi adalah upaya memahami alam, memahami angin
yang bertiup, daun-daun yang mengikuti angin, hingga upaya menyelaraskan gerak
dengan alam. Tai Chi tak punya serangan mematikan, namun bisa menyerap energi
yang dipancarkan lawan, kemudian dikembalikan dengan kekuatan yang sama.
Sayang, film Man of Tai Chi tidak banyak membahas
hal-hal filosofis. Sejak awal, yang nampak adalah pertarungan demi pertarungan,
serta dilema seorang pendekar Tai Chi yang tak ingin menggunakan kemampuan
bertarungnya demi untuk mencari uang.
Satu hal yang saya senangi dari film ini
adalah dialog-dialog antara guru dan murid yang sama-sama memperdalam Tai Chi.
Sang guru atau sang master beberapa kali mengingatkan muridnya agar mengontrol chi atau energi yang terus mengalir
dalam tubuhnya. Ketika energi tak bisa dikontrol, maka yang terjadi adalah
sebuah penghancuran.
Iko Uwais |
Sang guru menganjurkan muridnya untuk
melakukan meditasi demi mengontrol chi.
Saya sangat menyukai dialog ini. Jiwa saya seakan dibasahi oleh pencerahan baru.
Dalam kehidupan, kita seringkali dihinggapi rasa kesal, amarah, benci, dendam,
cemburu, serta berbagai energi negatif. Semua rasa tersebut adalah sesuatu yang
alamiah dan bisa menghinggapi siapa saja. Hanya saja, energi tersebut harus
dikontrol sedemikian rupa sehingga tidak menjadi kekuatan yang menghancurkan
tubuh manusia.
Beberapa tahun silam, saya membaca
literatur yang menyebutkan bahwa banyak penyakit yang justru disebabkan oleh
energi negatif. Makanya, dalam konsep tradisional, ketika seseorang dihinggapi
penyakit tertentu, maka orang tersebut mesti dirawat di satu pusat rehabilitasi
di satu tempat yang sepi dan dipenuhi bunga-bunga. Mengapa demikian? Sebab
orang tersebut mesti mendamaikan hati, menemukan ketenangan, dan tidak diganggu
oleh berbagai hal yang menjadi aktivitas hari-harinya. Jiwanya mesti dibasahi
dengan embun ketenangan serta refleksi. Inilah kekuatan yang bisa menyembuhkan
seseorang dari pusaran energi negatif.
Mungkin, inilah kekuatan sebuah meditasi.
Saya memaknai meditasi sebagai proses membangun rumah ketenangan dalam jiwa.
Meditasi itu adalah upaya untuk mengistirahatkan pikiran dari berbagai jalinan
persoalan yang terus-menerus menguras energi berpikir. Melalui meditasi,
seseorang akan menemui kedamaian dan membebaskan dirinya dari sungai-sungai
emosi serta hawa nafsu yang sesekali deras dan tak terkendali.
Sungguh ajaib, meditasi ini bisa ditemukan
dalam berbagai tradisi agama ataupun spiritualitas. Ketika seseorang berdoa
atau bersembahyang, ia sesaat mengistirahatkan seluruh pikiran dan emosinya
demi proses penyatuan diri melalui dialog dengan Sang Pencipta. Melalui doa,
seseorang menemukan ketenangan, yang amat berguna untuk menyehatkan jiwa. Seusai
proses doa, maka batin seseornag akan bercahaya. Ia tiba-tiba saja menemukan
ketenangan serta kedamaian dalam membuat pilihan-pilihan di belantara
kehidupan. Sungguh amat disayangkan, banyak orang yang berdoa, namun tetap saja
dikalahkan oleh hawa nafsunya.
Pesan bijak yang saya dapatkan dari film
ini adalah refleksi atau perenungan amatlah berguna untuk mengendalikan hawa
nafsu serta emosi seseorang. Ini juga berguna untuk menjaga fokus dan tetap
tenang menghadapi berbagai situasi serta membuat pilihan-pilihan hidup.
Seusai menonton film ini, saya terkenang
pada seorang profesor yang kemudian memilih karier sebagai petani di satu desa
di Athens, Ohio. Ketika saya tanya mengapa ia memilih jadi petani, ia
memberikan jawaban yang mengejutkan saya. “Kerja
di kampus membuat saya berjarak dari kenyataan. Saya ingin kerja yang
bersentuhan dengan alam. Saya ingin memiliki banyak waktu untuk menyapa bumi
dan langit. Saya ingin menjadi orang biasa yang punya banyak waktu serta bisa
bermeditasi setiap saat.”
Baubau, 20 September 2013
0 komentar:
Posting Komentar