poster film |
FILM Life
of Pi adalah jenis film yang banyak menguras tanda tanya dan permenungan.
Ini kisah tentang seorang anak usia 16 tahun yang tak henti-henti
mempertanyakan agama, lalu secara perlahan-lahan menemukan Tuhan saat
terombang-ambing di sebuah sekoci bersama seekor harimau.
Pengalaman anak itu amatlah mendebarkan
sekaligus mengharukan. Ia belajar tentang karakter manusia, binatang, serta
bertahan hidup di tengah suasana mencekam. Ia mengenali Tuhan tidak melalui
teks dan doktrin yang datang begitu saja. Namun melalui proses dialog-dialog,
menulis catatan, serta belajar pada karakter binatang, yang di antaranya adalah
harimau.
Semalam, seusai menyaksikan filmnya, saya
lalu membuka-buka lembaran novelnya yang ditulis Yann Martel, seorang penulis
asal Kanada. Bagian awalnya membuat saya terkesima. Martel menulis novel
setelah sebelumnya mengumpulkan data, sebagaimana seorang peneliti. Ia datang
ke India, lalu bertemu banyak orang dan bertanya-tanya kalau-kalau ada kisah
menarik. Ia menemukan topik, rajin merawat topik itu melalui dialog, kemudian
menuliskan catatan dan renungannya.
Maka lahirlah satu novel memikat yang
sejatinya adalah dialog dan perenungannya tentang Yang Maha Besar. Lahirlah
satu karya yang tidak sekadar curhat, akan tetapi memiliki ruh berupa kisah
seorang manusia yang berjalan demi menemukan kebenaran, dan secara ajaib,
menemukan kebenaran itu seusai mengalami hal-hal yang mendebarkan.
Seusai membaca bahagian introduction pada novel itu, saya
langsung jatuh cinta dengan cara kerja penulisnya. Dari sedemikian banyak novel
di tanah air, ada berapa banyakkah para penulis yang menempuh perjalanan untuk
riset ke satu kawasan, lalu secara perlahan menemukan topik yang menjadi medium
baginya untuk bercerita? Berapa banyakkah karya fiksi yang lahir sebagai gabungan
antara kerja-kerja penelitian yakni mendatangi satu kawasan, mencatat
detail-detail dan kejadian, lalu mengembangkan tema melalui proses wawancara
dengan banyak subyek?
Yann Martel |
Pertanyaan yang sama juga bisa
bermunculan. Berapa banyakkah karya-karya riset ilmiah yang kemudian
dinarasikan dalam bentuk fiksi? Berapa banyakkah hasil observasi di satu tempat
yang tidak bernasib sebagai onggokan kertas berdebu yang tersimpan di berbagai
kantor pemerintah atau pusat penelitian?
Di tanah air, kerja penulis (khususnya
fiksi) dan kerja peneliti dianggap sebagai dunia yang terpisah. Para penulis
bekerja dengan bahasa yang mengalir sehingga bisa diserap dan dipahami publik.
Sedangkan para peneliti mencatat sesuatu dengan bahasa ilmiah yang sesuai
dengan kaidah penulisan dalam jurnal-jurnal atau laporan penelitian.
Bagi saya, kerja penulis novel ini amat
mirip dengan kerja seorang peneliti. Saat menonton film serta membaca bagian
awal novel Life of Pi, saya tiba-tiba
saja berpikir bahwa sesungguhnya kerja penulis dan peneliti adalah dunia yang
saling terkait. Keduanya mestinya berjalan seiring dan saling melengkapi
sebagaimana dua kepak sayap yang bisa membuat stau karya membumbung tinggi ke
angkasa.
Melalui penelitian, seorang penulis fiksi
bisa memberikan ruh atau nyawa pada sebuah karya. Ia bisa memanfaatkan
penelitian sebagai bahan baku atau material untuk mengembangkan gagasannya. Kerja-kerja
riset seperti observasi dan wawancara bisa menjadi batu loncatan untuk
mengembangkan plot. Penulisan lalu menjadi upaya untuk mengikat semua
pengamatan dan wawancara itu melalui karya fiksi. Pada titik ini, penulisan
fiksi menjadi buhul yang mengikat kencang semua fakta-fakta yang ditemukan di
lapangan.
Saya teringat buku yang ditulis Seno
Gumira Adjidarma berjudul “Ketika
Jurnalisme Dibungkam, Sastra Bicara.” Ia menjadikan fiksi sebagai cara
untuk menuturkan sebuah fakta-fakta jurnalistik yang sengaja disembunyikan.
Sebagai jurnalis, ia mengetahui banyak tragedi kekerasan. Ia juga membaca
banyak publikasi serta melakukan riset. Ketika hendak ditulis sebagai karya
riset atau jurnalistik, ia terbentur pada sistem politik yang di masa Soeharto
sangat otoriter. Bisa-bisa nasibnya akan berakhir di bui.
Ia lalu menuliskan semua fakta-fakta itu
ke dalam fiksi. Pilihan ini adalah pilihan yang amat strategis. Bukan saja
karena fakta-fakta itu memiliki ruang untuk menyapa pembacanya dari segala
lapisan usia, namun juga karena karya-karya itu menjadi abadi dan bisa
berbicara di semua zaman. Dengan menulisnya sebagai fiksi dengan isu yang universal,
karya itu bisa berbicara tentang hal-hal menyangkut kemanusiaan dan dinamika
zaman. Topik seperti ini selalu aktual di zaman apapun dan di setting manapun.
Sama halnya dengan JK Rowling, penulis
Harry Potter. Sebelum ia menulis kisah penyihir cilik itu, ia melakukan
observasi alias pengamatan pada banyak tempat di negaranya, Inggris. Ia juga
membaca hampir semua dongeng serta kisah-kisah rakyat yang banyak bertebaran di
negaranya. Ketika diwawancarai Newsweek, ia berkata, “Saya beruntung karena
lahir di negeri yang penuh dengan dongeng dan foklor. Saya lalu mengolahnya
menjadi jalinan cerita yang baru, namun tidak kehilangan unsur-unsur cerita
sebelumnya.”
Memang, para penulis berumah di atas ranah
imajinasi. Mereka juga sekaligus pencipta yang bisa bercerita tentang
dunia-dunia baru dengan karakter-karakter unik. Namun, semua kisah tersebut
pastilah berpijak pada basis pengalaman serta persentuhannya dengan kenyataan.
Ketika seorang penulis tekun melakukan riset, maka saya yakin kalau ia akan
bisa mengembangkan cerita yang kuat, memberi warna kuat pada lukisan semua
karakter-karakter di dalamnya, serta memberikan sentuhan dialog antara dirinya
dan tokoh-tokoh itu.
Saya yakin bahwa perenungan dalam fiksi
Life of Pi adalah sesuatu yang telah lama berputar di benak Yann Martell, sang
pengarang. Ia memilih tidak menyajikannya dalam satu buku riset atau filsafat. Saya
yakin, sang pengarang adalah seorang pencatat kehidupan yang percaya bahwa
fiksi punya daya jelajah yang hebat dan bisa menjangkau hati banyak orang,
khususnya mereka yang setia membaca aksara kehidupan demi untuk memperkaya
nurani kemanusiaan.
BACA JUGA:
1 komentar:
saya menulis review film "Life of Pi" di blog:
http://khotim-muzakka.blogspot.com/2013/01/memeluk-cinta-merawat-keyakinan.html
belum sempat baca novelnya. saya penasaran bagaimana film apik itu dinarasikan dalam novel.
Posting Komentar