ilustrasi |
BETAPA seringnya kita menyaksikan amarah.
Betapa seringnya kita melihat orang yang tiba-tiba murka, menyalahkan keadaan,
meledakkan amarah kepada orang lain, setelah itu menyalahkan diri sendiri. Rasa
amarah itu kemudian menjadi belati yang menyakiti diri sendiri. Di ujung rasa
amarah itu, sebuah derita bersemayam. Untuk apa memerlihara amarah jika
akhirnya adalah penderitaan?
Pengetahuan modern bisa menyebabkan
manusia melesat jauh hingga mencapai bulan. Akan tetapi pengetahuan itu tak
selalu bisa mengajarkan manusia untuk menjaga hati. Pengetahuan itu tak pernah
bisa mendidik manusia untuk selalu bersikap tenang, tetap berkepala dingin saat
menghadapi keadaan sulit, serta melatih orang untuk selalu melihat sisi-sisi
positif dari setiap kejadian.
Sesungguhnya, masyarakat kita memiliki
kearifan untuk mengalirkan semua amarah. Tapi kita lebih banyak mengabaikannya,
dan memilih untuk menuruti kata-kata ego yang bersemayam dalam diri. Kita
seringkali alpa bahwa daya upaya untuk mengendalikan amarah itu ada dalam diri.
Kita hanya butuh diam sesaat, kemudian menarik napas panjang, lalu menenangkan
diri. Kita hanya perlu mendengarkan suara-suara hati, mengikuti cahaya
keikhlasan dalam diri, serta kesediaan untuk melepaskan segala hal yang memuat
marah.
Kita hanya butuh mendengar suara hati,
sesuatu yang nampak sederhana, namun betapa sulitnya melakukan itu di tengah
kepungan ego serta hingar-bingar kemarahan yang membakar kesadaran kita. Namun haruskah kita terjebak dalam satu rasa yang kemudian membakar diri kita?
Baubau, 27 September 2013
0 komentar:
Posting Komentar