“Ayah…
bangun…. Jangan tinggalin!”
SUARA itu menghiba-hiba di depan jenazah
seorang polisi yang tewas akibat terjangan timah panas, di satu subuh jahanam,
depan gedung KPK, Jakarta, kemarin. Anak perempuan itu berteriak dengan suara
yang serupa silet dan mengiris-iris hati yang mendengarnya. Ia mengguncang
tubuh ayahnya, kemudian menyuruhnya bangun. Sayang sekali, di tubuh itu hanya
nampak sebuah senyum. Tanpa ekspresi.
Hidup memang serupa drama yang tak
tertebak akhirnya. Saat itu, sang ayah tengah mengawal enam truk, demi menambah
nafkah keluarga. Ia bekerja keras demi keping-keping senyum di wajah
anak-anaknya. Mungkin gajinya tak seberapa. Makanya, ia menambah penghasilan
dengan kerja di luar jam dinas. Demi kerja itu, ia harus mengikhaskan jam tidur
yang berkurang. Ia hanyalah seorang bapak yang berusaha memberikan yang terbaik
bagi anak istri.
Jalan nasib memang tak bisa dipastikan.
Ketika enam truk yang dikawal itu tiba di depan gedung KPK, sang polisi itu
diberondong peluru oleh seseorang. Sekian detik berikutnya, sang polisi tumbang
dengan senyum tersungging di bibirnya. Setelah itu, media berdatangan. Lampu
blitz dinyalakan, dan jenazahnya dilihat jutaan orang di seluruh tanah air.
Apakah makna sebuah kehilangan? Bagi
perempuan kecil yang menangis tersedu-sedu, kehilangan adalah satu keadaan yang
serba kosong. Kepergian seorang ayah yang meninggalkan seorang istri dan tiga
anak bukanlah sesuatu yang mudah dijalani. Kehilangan adalah keadaan ketika tawa
dan senyum ceria seorang bapak lenyap tak berbekas dan tak lagi menjadi kuas
yang mewarnai kanvas kehidupan. Kehilangan adalah keadaan terpaksa, yang tak
memberi pilihan bagi perempuan itu untuk sekadar menentukan babak demi babak
panggung kehidupan.
Melalui televisi, saya kehilangan kata
saat melihat sedih yang menyayat itu. Saya hanya bisa mengutuk para penembak
yang menyampaikan pesan dengan cara-cara biadab. Saya memaki setinggi langit
mereka-mereka yang menghilangkan kehidupan orang lain demi untuk memuluskan
hasrat membunuh yang berlari bak seekor kerbau liar di tengah perkampungan.
Saya mengutuk siapapun yang menghilangkan kehidupan orang lain, yang sekaligus
menghapuskan sebuah ikatan di mana kehidupan dijalin sebagai kesatuan yang
saling kait-mengait.
Melihat tangis itu, saya hanya bisa berujar
lirih, betapa biadabnya mereka yang merasa gagah dan menembak nyawa orang lain.
Polisi itu tersungkur dan bersimbah darah.
Melihat tangis menyayat itu, ingin rasanya
saya berbisik pada perempuan itu. Bahwa kelak ada masa di mana Yang Kuasa akan
menyungkurkan mereka-mereka yang menembak ayahnya. Bukankah kehidupan selalu
memberikan balas bagi mereka yang disakiti dan akan selalu memenangkan mereka
yang benar?
Baubau, 12 September 2013
0 komentar:
Posting Komentar