Merindukan Husain

TADI siang hingga sore, saya mengikuti perayaan Asyura di Balai Samudra, Jakarta. Acaranya adalah pembacaan maktal, catatan terperinci tentang kejadian memilukan ketika cucu rasulullah, Al Husain, tewas terbunuh oleh pasukan Yazid bin Muawiyah. Ini memang peristiwa kejam beberapa abad silam. Petristiwa pembunuhan tersadis ketika seorang keluarga Rasul dibunuh, tangannya dipreteli, lalu tubuhnya dicincang. Saya tak sanggup mengisahkan detailnya yang menyedihkan. Saya bisa merasakan kesedihan mereka yang mengenang Husain.


Di ruangan besar itu, suasananya sangat khusyuk. Semua orang bersedih. Semua orang bertangisan dan memukuli badannya. Malah, yang saya dengar, di beberapa negara seperti Iran dan irak, orang-orang justru melukai dirinya dengan pisau. Darah mengucur sehingga mereka bisa memahami bagaimana kesedihan Husain. Dengan cara menghadirkan rasa sakit itu, orang-orang bisa merasakan bagaimana perasaan Husain, bagaimana detik-detik terakhir kehidupannya saat meregang nyawa, atau saat ketika seluruh tubuhnya dipreteli dan dinistakan dengan penuh tawa.

Saya ikut bersedih saat mendengar langsung pembacaan maktal itu. Saya tak banyak mendengar peristiwa sesedih ini. Saya hanya bisa membayangkan bagaimana kejamnya peperangan pada masa silam, orang-orang saling menghabisi, tanpa etiket. Tewasnya Husain bukan saja tewasnya sebuah keadilan dan bangkitnya kepongahan serta keserakahan. Namun tewasnya Husain bisa pula dilihat sebagai upaya untuk mempertahankan kebenaran hingga titik darah penghabisan.

Husain mewariskan semngat besar untuk tetap menjaga garis Rasulullah, sekaligus pertanda bahwa panggung kehidupan akan selalu dipenuhi kisah tentang bagaimana kebajikan akan selalu ditentang kemungkaran sebagaimana lakon Kurusetra, dan bagaimana kemungkaran sesaat mengalahkan keadilan. Meskipun saat itu, keadilan tidak benar-benar kalah. Keadilan akan menunggu dan kelak akan mengayunkan palu godam pada kemungkaran.

Tewasnya Husain bukanlah tewasnya kebenaran. Justru, tewasnya Husain kian menjadikan kebenaran sebagai sesuatu yang amat mahal harganya. Dengan cara menjalankan perintah Tuhan bukan berarti akan hidup bahagia selamanya. Tuhan akan menurunkan cobaan sekadar untuk mengetahui sejauh mana kualitas dan kemilau iman dalam dirimu. Ia ingin mengetahui apakah dirimu kukuh memgang kebenaran, ataukah dirimu adalah sebangsa pecundang yang lari terbirit-birit.

Mungkin ini yang diinginkan Husain dengan syahidnya. Ia mewariskan semangat memegang teguh kebenaran.

0 komentar:

Posting Komentar