Nasib Tragis Para Peminat Ilmu Sosial

DI negeri ini, peminat ilmu-ilmu sosial seolah dipandang sebelah mata. Eksistensi mereka seakan diabaikan, sehingga tafsiran tentang ilmu pengetahuan selalu didominasi oleh cara pandang exact atau ilmu-ilmu pasti. Ilmu-ilmu sosial seolah bukan ilmu pengetahuan, seolah hanya nujuman-nujuman yang tidak dibangun dari proposisi ilmiah. Kasihan juga para peminat ilmu sosial yang dipandang sebelah mata oleh tafsiran masyarakat dan tafsiran negara.

Kesimpulan ini saya dapatkan setelah mengikuti test potensi akademik (TPA) yang diadakan Bappenas sebagai prasyarat mendapatkan beasiswa bidang doctoral. Sejak awal test, saya sudah bertanya-tanya, mengapa harus lembaga seperti Bappenas yang mengadakan test ini? Saya banyak dapat informasi tentang ini. Entah kenapa, test Bappenas tiba-tiba saja menjadi semacam alat yang bisa mengukur sejauh mana kemampuan seseorang, menentukan apakah seseorang bodoh atau cerdas sehingga layak menempuh studi doctoral. Susahnya lagi karena rekomendasi Bappenas bisa menentukan nasib seseorang apakah layak menerima rekomendasi beasiswa dari pemerintah ataukah tidak. Inilah susahnya. Banyak beasiswa dari pemerintah yang mensyaratkan stempel dari Bappenas. Bukankah ini aneh?

Baiklah, saya akan membahas test itu sendiri. TPA yang disusun Bappenas memiliki durasi waktu dua jam. Test ini terdiri atas tiga bahagian. Secara umum, test ini mencakup: (1) logika dan bahasa, (2) matematika, (3) penalaran. Sistemnya seperti test Toefl, di mana tahap awal adalah mengerjakan dahulu bahagian pertama, jam selanjutnya adalah bagian-bagian berikutnya.

Hal yang menjengkelkan dari test ini adalah dominannya hitung-menghitung serta logika matematika. Aneh. Saya jadi heran, apakah ini semacam standarisasi untuk mengukur kemampuan seseorang? Lantas, apakah tidak ada jenis soal yang memang ditujukan buat mereka yang tidak mendalami bidang hitung-menghitung? Apakah logika dan rasio harus selalu berwujud hitungan? Saya tak henti bertanya. Saat membuka soal, khususnya bagian kedua, kembali saya tersentak. Soalnya adalah matematika. Memang ada juga bahagian mudah seperti deret dan menebak angka-angka. Tapi itu hanya beberapa nomor saja. Sisanya adalah soal-soal perhitungan, yang layaknya diberikan kepada orang yang mendalami bidng matematika maupun fisika. Duh,… betapa stresnya saya!

Bagi yang besar dalam tradisi ilmu-ilmu sosial, khususnya bagi yang mendalami riset kualitatif, pastilah akan stress berat saat menemukan jenis soal ini. Soalnya rumit, mulai dari pembagian bilangan-bilangan pecahan, pengalian, hingga akar-akaran, seperti akar tiga dari bilangan tertentu, kemudian dikurangi bilanngan lain terus dikalikan. Sementara bagian terakhir berupa penalaran, lagi-lagi kita dihadapkan dengan soal-soal aritmatika.

Kita membaca soal cerita –misalnya kisah lima orang yang belanja--, lalu kita menalar berapa biaya yang dikeluarkannya. Bukankah ini lagi-lagi adalah perhitungan yang tidak sederhana? Seseorang mesti terbiasa menjawab soal matematika yang rumit demi menjawab soal seperti ini. Kasihan kami-kami yang terakhir belajar matematika hanya saat sekolah menengah. Dihadapkan pada jenis soal seperti ini, saya hanya bisa pasrah.

Memang, dalam ilmu sosial, ada juga metode kuantitatif yang banyak mengitung dengan rumus-rumus untuk survey. Tapi, saya tekankan, tidak semua orang mendalami itu. Malah pendekatan itu banyak ditentang dalam ilmu sosial. Saya hanya mendalami riset kualitatif yang cara melihat persoalan hingga menjawabnya sangat berbeda bagai bumi dan langit dengan tradisi kuantitatif. Apakah saya bisa dicap bodoh dnegan cara piker kualitatif seperti itu? Entah. Pada akhirnya saya akan menerima pemberitahuan tentang standar kecerdasan yang di bawah standar, kemampuan sangat rendah untuk menerima tantangan yang lebih sulit. Kasihan!

Test ini menjadi jendela untuk melongok sejauh mana pengertian ilmu pengetahuan sebagaimana yang dianut Bappenas. Bukan cuma sekali saya mengikuti psikotest ataupun TPA. Rata-rata mensyaratkan test  mengerjakan soal matematis. Bagi saya, fenomena ini menunjukkan bagaimana pandangan masyarakat luas tentang ilmu pengetahuan sendiri. Boleh jadi, pandangan ini sangat didominasi pandangan positivistic yang menyelusup dalam ranah pengetahuan, sehingga segala hal mesti dikategorisasikan dalam hitung-menghitung. Pantas saja jika logika kuantitatif serta matematika menjadi pengabsah untuk menentukan sejauh mana capaian seseorang dalam dunia ilmu pengetahuan.

Dalam penilaian seperti test ini, mereka-mereka yang bergelut dalam ilmu sosial akan dipandang sebelah mata. Eksistensinya akan direndahkan sehingga mereka seolah-olah harus selalu mengekor para penggiat ilmu exact. Ilmu sosial seolah kehilangan hak hidup sebab hamper semua test kecerdasan dan potensi selalu didominasi test ala ilmu pasti. Tentu saja ini aneh sebab menunjukkan ketidaktahuan kita tentang filsafat sosial dan filsafat ilmu pengetahuan. Kita tidak diajarkan bagaimana awal pengetahuan, cara memandang pengetahuan, hingga konstruksi epistemologis pengetahuan.

Kita juga tak pernah belajar bahwa logika ilmu-ilmu sosial jelas berbeda dengan logika para penganut ilmu pasti. Dalam sosial, sebuah kebenaran mesti ditopang dengan argumentasi serta penalaran yang sekokoh bata karang. Itupun semuanya bersifat kontekstual dan memperhatikan aspek konteks dan waktu alias ideografis. Tapi seberapa banyak orang yang paham ini? Maka terimalah nasib ilmu-ilmu sosial yang hanya dipandang sebelah mata. Selalu dites dengan cara ilmu pasti dan kesimpulannya adalah tidak cerdas alias bodoh. Inilah realitas yang pahit dan menggiriskan itu.

Yah.. saya hanya bisa masygul. Tak tahu harus berkata apa lagi....

0 komentar:

Posting Komentar