Mencari Sumber “Ilmu Api” Kepenulisan

Zuko dalam serial Avatar
BULAN puasa ini, ide-ide seakan lenyap dari kepalaku. Hari-hariku seakan statis, tanpa dinamika ataupun gejolak berarti. Mungkin, --sebagaimana sering kukatakan-- aku butuh cekaman sunyi demi mengalirkan ide-ide secara teratur melalui tulisan. Kesunyian adalah titik awal untuk menemukan keheningan dalam diri, menemukan suara hati yang jernih demi mengalirkan gagasan. Kesunyian, sesuatu yang dulunya karib, kini perlahan mulai hengkang dari peraduanku.

Yup. Aku tidak sedang sunyi. Dan itu sangat mempengaruhi kreatifitas serta produktivitasku. Sejak menikah, hari-hariku adalah bercanda, bercengkerama, maupun bermalas-malasan. Aku enggan ke mana-mana dan lebih suka di rumah. Kalaupun keluar, maka itu demi jalan-jalan atau memanjakan mata. Pernikahan memutar jarum kehidupanku 180 derajat. Segalanya berubah. Kesunyian berganti kemeriahan. Dan ide-idepun mampat di kepala, cuma menyisakan kelelahan berpikir, tanpa sempat diabadikan dalam kata.

Kondisi ini tidak cuma melanda diriku. Istriku Dwiagustriani (betapa bangganya diriku menyebut kata istri) juga mengalaminya. Sebagaimana diriku, hari-harinya adalah ngeblog. Kini, ia kehilangan kenikmatan saat ngeblog. Idenya mandek. Penanya seolah patah. Ia nyaris tak menghasilkan tulisan apapun kecuali catatan perjalanan. Tulisan pendek saja langka, apalagi sebuah puisi, yang jelas-jelas butuh kesenyapan. Saat kutanya mengapa ia malas menulis, ia lalu menjawab enteng, “Sebab dirimu adalah kryptonite bagiku.”

Ia benar. Tulisan kami sama-sama dimasak dari kesunyian-kesunyian. Tulisan kami lahir dari  proses perenungan setelah sebelumnya diselubungi kesenyapan. Selama sekian decade, kami melahirkan tulisan dari hasil refleksi, sebuah momentum ketika diri tiba-tiba focus sehingga pikiran mengalir deras bagai sungai jernih. Saat kami hidup bersama, kesunyian dan refleksi itu lenyap. Kami kehilangan gagasan. Diriku dan dirinya ibarat Zuko dalam serial Avatar yang tiba-tiba kehilangan ilmu api sejak memilih bergabung dengan Avatar Aang. Selama ini, ilmu apinya lahir dari kebencian. Saat benci itu hilang, ia kehilangan ilmunya. Zuko mesti menemukan sumber ilmu api, tidak lagi dengan kebencian. Tapi dengan cara-cara lain.

Aku ibarat Zuko. Aku mesti menemukan sumber-sumber baru yang mengalirkan inspirasi, tanpa harus dicekam sunyi terlebih dahulu. Aku mesti mengelola keramaian dan perasaan bahagia yang melingkupiku agar menjelma menjadi api yang membakar energy kreatifku. Aku mesti menemukan pelita baru yang menyalakan sumbu kemalasan dan kebodohanku. Inilah tantangan yang mesti kuhadapi.

Uppss…!! Jangan berpikir bahwa aku hendak menyalahkan lembaga pernikahan sebagai biang atas kemandekanku. Tidak sama sekali. Pernikahan adalah pilihan bebas yang sudah kuperhitungkan semua risikonya seteliti-telitinya. Pernikahan itu ibarat cahaya yang menerangi pekatnya kehidupan sedang dijalani. Dirinya adalah pelita yang memadamkan sunyi, memunahkan semua sedih dan lara, meruntuhkan gerbang pencarianku yang tak henti. Dirinya adalah matahari untukku.

Ah,... Mungkin aku butuh proses adaptasi, proses menyesuaikan diri dengan kenyataan baru sebagai lembaran baru dalam kehidupan. Aku ibarat pembalap yang memasuki pit stop untuk mengganti ban dan mengisi bahan bakar, kemudian tancap gas untuk melanjutkan perjalanan. Aku perlu menemukan sumber inspirasi baru yang mematangkan ide sehingga mengalir deras dalam kata-kata. Dalam serial Avatar, Zuko lalu menemukan sumber ilmu api baru saat bertemu naga di puncak bukit. Mungkin aku juga perlu mencari naga yang bisa kembali mengalirkan gagasan. Tidak seperti naga yang ditemui Zuko di bukit itu, tetapi naga yang bersemayam dalam diriku sendiri. Naga yang sanggup memuntahkan api demi menyulut energi kreatif dan inspirasiku.

Aku mesti bergegas. Di depan mata ada sejumlah tugas menanti. Apalagi, diriku mengemban tanggungjawab besar sehingga praktis harus memasuki ruang kesibukan baru. Diriku mesti kembali ke ibukota dan menuntaskan satu kerja intelektual yang sudah terlanjur dirintis. Sebuah pertanyaan tiba-tiba menghujam. Apakah aku sanggup menuntaskan semuanya dengan hasil maksimal di tengah situasi mati ide seperti ini?

6 komentar:

Emma mengatakan...

wah, kak yusran jadi kripton? hmmm...saya jadi radioactive spider aja deh, hehehe

Yusran Darmawan mengatakan...

hehehe.. nabilangika kryptonite. tapi biarlah...

cikal61 mengatakan...

semangat saja kak yus, pernah ka dikasi tau orang, sanggup tidak sanggup itu bukan pertanyaan di awal, tapi di akhir..... enak mentong pade' kalo org sudah nikah di'? hehehehe

Yusran Darmawan mengatakan...

iya bang toar. nikah dong. seru lho...

dwi mengatakan...

halo kriptonite...jadi pas dwi ke mks tiba2 menulis keren.
di sini juga dwi dpt a lot of idea.hihihihihi.harus berjauhan mungkin untuk bisa menulis mmg.

bizwud mengatakan...

berkunjung om kripton

Posting Komentar