Mencari DAMAI di Sekam Konflik Pulau BUTON


seorang aparat melihat rumah yang terbakar (foto: Kompas.com)

Media nasional memuat berita mengenai konflik di Kabupaten Buton. Sebanyak 87 rumah di satu desa terbakar karena konflik dengan masyarakat desa lainnya. Polisi dan aparat keamanan sedang bekerja untuk memadamkan api konflik. Semua pihak dihimbau untuk tenang dan damai.

Ratusan warga kini mengungsi ke desa lain dalam situasi harap-harap cemas. Seorang kawan bercerita kalau eskalasi konflik sewaktu-waktu bisa kembali membuncah. Warga desa lain mulai terlibat. Tetua adat ada yang ikut dalam pusaran konflik.

Di Pulau Buton, konflik ibarat bara dalam sekam. Sewaktu-waktu konflik bisa memantik. Di masa kolonial, ada kisah peperangan yang menewaskan banyak orang. Di zaman kemerdekaan, banyak pula catatan tentang perlawanan. Di masa Orde Baru, ada kekerasan pada mereka yang dituduh komunis.

Di banyak desa, tradisi kependekaran masih hidup. Anak muda bangga mempelajari kesaktian dan ilmu kebal. Saat konflik Ambon meletus di tahun 1999, banyak anak muda Buton yang kembali ke kampung dan bercerita heroik tentang konflik itu. Juga bangga bercerita mengenai ilmu kebal.

Secara umum, masyarakat Buton adalah masyarakat yang cukup kosmopolit. Mereka terbiasa berpindah-pindah tempat sehingga membentuk wawasan mereka dan sikap terbuka pada para pendatang. 

Apalagi, Buton terletak jalur pelayaran dan alur perdagangan tradisional sehingga lalu lintas kapal cukup lancar, khususnya ke kawasan timur Indonesia. Jika mereka terbuka pada orang lain, mengapa mereka bisa terlibat konflik antar kerabat di kampung sendiri?

BACA: Sufi Besar, tasawuf, dan Naskah di Pulau Buton

Sejauh yang saya lihat, konflik di Buton masih sebatas kelahi antar kelompok. Itu pun, ada kawasan yang selama ini menjadi hotspot konflik. Dua tahun terakhir, konflik sering terjadi di kota Baubau. Beberapa orang tewas gara-gara konflik itu. 

Berita hari ini cukup mengejutkan saya. Selama lebih 30 tahun lebih, saya baru mendengar ada kejadian di mana lebih 87 rumah dibakar warga desa sebelah. Apalagi, warga desa di sana semuanya masih berkerabat, atau minimal saling mengenal. Tak ada catatan konflik berskala massif.

Dalam situasi seperti ini, saya berharap aparat hukum segera bekerja untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat. Supremasi hukum harus tegak. Pelaku rusuh harus ditemukan.

Kata John Paul Lederach (1999), salah seorang profesor studi perdamaian, rekonsiliasi atau perdamaian antar kubu bisa dilakukan jika terdapat prasyarat kebenaran dan keadilan. Jika dua hal itu terpenuhi, baru kita bicara perdamaian.

Kebenaran yang dimaksud di sini adalah adanya transparansi, pengungkapan, dan klarifikasi atas apa yang terjadi. Sedangkan keadilan adalah adanya unsur kesetaraan, pemulihan hubungan atas dasar hak-hak, adanya restitusi atau pengembalian hak-hak masing-masing individu.

Itu saja tak cukup. Mesti ada upaya-upaya investigasi atas sebab-musabab konflik sehingga tidak terjadi di masa depan. Mesti ada analisis ekonomi politik mengapa konflik itu bisa muncul, apakah ini ada kaitan dengan konflik agraria ataukah ada formasi ekonomi baru yang sedang berjalan di desa-desa kita. Secara kultural, tugas semua pihak adalah bagaimana membangun kembali kohesi atau ikatan antar masyarakat yang mulai koyak. Kita mesti memikirkan rekonsiliasi.

BACA: Kisah dari Dekat Kampung yang Warganya Ditelan Ular

Ada yang bilang, terlalu dini untuk bicara rekonsiliasi. Sebab konflik masih berlangsung. Amarah masih mencari ruang untuk diletupkan. Namun, kita bisa sedikit lega karena aparat sudah berada di lapangan. Mereka sudah siaga dan berjaga-jaga kalau-kalau ada yang hendak membalas dendam.

Saya berpandangan rekonsiliasi harus dibicarakan sejak dini. Kita sama-sama ingin agar konflik itu tidak terus berlanjut. Semua harus move on. 

Namun, rekonsiliasi itu bukan sekadar bertemu dan bersepakat damai. Kita mesti menemukan strategi budaya agar kedekatan antar masyarakat yang sudah berlangsung ratusan tahun bisa kembali bertaut. Konflik sebesar apa pun tak harus mengorbankan sendi-sendi kedekatan dan hubungan persaudaraan yang lama dibangun. 

Daripada larut dalam dendam dan amarah, lebih baik menatap hari esok yang penuh harapan.

Bagi saya, energi untuk konflik selalu ada dalam setiap masyarakat. Semua masyarakat punya benih-benih konflik. Tugas semua pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat, adalah bagaimana membuat saluran-saluran agar energi itu bisa mengalir menjadi sesuatu yang positif. Bukan lantas menjadi sesuatu yang destruktif dan merugikan orang lain.

Kanalisasi itu bisa dilakukan melalui kebudayaan. Apalagi, setiap masyarakat punya tradisi dan budaya sebagai norma hidup bersama yang menyatukan semua orang. Sejauh amatan saya, ada banyak peta-peta sosial budaya yang telah bergeser. Masyarakat Buton hari ini bukan lagi masyarakat sebagaimana dahulu dicatat rapi para antropolog dan sosiolog. 

Sejak masuk dalam era NKRI dan kapitalisme, cara pandang masyarakat telah lama bergeser. Pemahaman atas kanalisasi konflik dalam kebudayaan Buton telah bergeser. Dulu, banyak ritual budaya yang bisa merekatkan hubungan antar desa. Sebut saja, tradisi pesta panen yang dilakukan secara bergelombang di banyak desa, yang diiringi tradisi makan-makan (pekande-kandea). Masyarakat bisa berkunjung ke berbagai desa demi menghadirinya.

BACA: Kisah Raja Bugis di Pulau Buton

Sewaktu masih di bangku SMA, saya cukup hafal jadwal pesta panen di berbagai desa. Sebab di setiap pesta panen itu, selalu ada pesta joged untuk anak muda. Malah, ada ritual seperti kamoo-moose atau mencari jodoh di Lakudo. Semua ritual itu bisa memperkuat silaturahmi. Masyarakat saling kenal. Anak muda saling berjodoh sehingga integrasi antar desa semakin kuat. 

Sekarang, acara-acara itu masih ada. Tapi sudah tidak semenggetarkan dulu. Lebih mudah bagi anak muda menggunakan Facebook, Tinder, atau Badoo untuk sekadar bertemu kenalan baru. Tak perlu tetua dan pemuka adat. Cukup menggunakan gadget, Anda sudah menemukan kenalan baru.

Dahulu, ketaatan pada tokoh dan tetua adat menjadi sumbu dari keteraturan sosial. Seorang tetua adat punya peran penting dalam setiap ritual budaya yang berlangsung di tengah masyarakat. Mereka juga menjadi mata air nilai dan pengetahuan.

Kini, peran mereka sekadar melengkapi ritual yang berjalan. Mereka tak lagi sentral. Masyarakat menyerap pengetahuan dan nilai baru melalui bangku pendidikan, tayangan media, hingga wacana yang marak di media sosial. Mereka menemukan idola baru pada sosok Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo.

Malah, masyarakat lebih suka berdebat tentang pilihan capres. Mereka juga punya ingatan kolektif tentang kerusuhan di kota-kota. Mereka tahu bahwa masyarakat kota yang katanya beradab itu juga tak selalu siap menang dan siap kalah. Masyarakat kota itu juga mudah berkelahi demi berebut sesuatu.

Desa-desa tidak lagi guyub dan damai sebagaimana dulu. Sejak dana desa bergulir, masyarakat terjebak dalam sirkuit pencarian kekayaan sebanyak-banyaknya. Orang kaya baru bermunculan. Banyak pihak berebut sumber daya di desa-desa.

Lihat saja, konflik yang sedang hangat di media itu dipicu oleh aksi sejumlah anak muda yang melakukan konvoi dengan motor, dengan suara knalpot yang memekakkan telinga, sehingga memicu amarah warga satu desa.

BACA: Mahasiswa Buton di Kapal PELNI

Betapa banyak peta sosial budaya yang bergeser di masa sekarang. Makanya, pendekatan untuk melakukan rekonsiliasi konflik tak bisa lagi hanya dengan mempertemukan para tokoh masyarakat dan tokoh agama. Tak bisa lagi hanya dengan ritual adat atau tradisi bakar ubi sebagaimana yang dilakukan di Papua sana. Butuh sesuatu yang lebih substantif, lebih menyentuh, dan lebih mengena dengan dinamika sehari-hari masyarakat.

Kita pun mesti punya keberanian untuk menelusuri fakta-fakta sosio ekonomi desa. Mungkinkah konflik itu hanya puncak gunung es permasalahan yang sedang terjadi dan menggerus desa-desa kita? Apakah ini dampak dari pembangunan ekonomi yang abai pada dinamika manusia sehingga konflik hanya satu cara melepaskan persoalan yang dihadapi masyarakat desa?

Kita bisa diskusi panjang. Tapi yang mendesak saat ini adalah bagaimana menghentikan konflik, menegakkan hukum, membangun silaturahmi, serta mendekatkan yang pernah saling tatap dengan penuh amarah.

Saya optimis mereka yang berkonflik itu bisa segera berhenti dan memadamkan amarah. Kita berharap ada embun kedamaian yang hinggap di hati mereka yang bisa membasuh amarah, meredam gelisah, serta menghadirkan kesadaran baru bahwa semua orang adalah kerabat dan bersaudara.

Bukankah kita semua bersaudara?


UPDATE
1. Dilaporkan ada korban yang tewas.
2. bantuan polisi telah datang dari Kendari
3. Beberapa rumah sakit masih sibuk menerima korban yang terluka
4. Posko bantuan telah dirikan untuk membantu korban yang mengungsi
5. Informasi tentang konflik Buton di beberapa media. Klik DI SINI, DI SINI, DI SINI.


0 komentar:

Posting Komentar