Jika Dunia Tanpa THE BEATLES


poster film

Serasa baru kemarin film Bohemian Rhapsody mengembalikan ingatan pada salah satu band musik legendaris yakni Queen. Kini, film Yesterday menjadi mesin waktu yang membangkitkan kenangan pada para musisi jenius asal Liverpool: The Beatles.

Dari kota Liverpool, personel The Beatles tidak saja membius dan merevolusi dunia dengan lagu yang memiliki lirik kuat, tapi juga filosofis. Selama sekian dekade, mereka menjadi ikon dari kejeniusan dalam bermusik, juga popularitas yang membumbung tinggi hingga mencapai level yang belum tentu bisa digapai musisi “jaman now.”

Film Yesterday dibuat dengan konsep komedi. Ini bukan kisah tentang masa muda The Beatles. Bukan pula cerita tentang Paul McCartney atau John Lennon. Sutradara peraih Oscar dalam film Slumdog Millionaire, Danny Boyle, mengambil premis yang amat cerdas yakni bagaimana dunia jika tak ada the Beatles.

Kisahnya dimulai dari Jack Malik (diperankan Himesh Patel), musisi lokal yang meniti karier dari panggung ke panggung, yang selalu ditemani manajernya yang cantik. Suatu hari dia merasa gagal dalam bermusik dan memutuskan hendak gantung gitar.

Dalam perjalanan dengan sepeda, dia mengalami kecelakaan. Saat itu semua listrik di seluruh dunia padam selama 12 detik. Saat dia sembuh dari perawatan, dia disambut rekan-rekannya yang menghadiahkannya gitar. Dia menyanyikan lagu Yesterday yang langsung memikat semua rekannya.

Saat ditanya kapan menulis lagu itu, dia lalu menyebut itu adalah lagu milik The Beatles. Rupanya, tak satupun di situ yang mengenal The Beatles. Jack lalu men-searching melalui Google, dan ternyata tak ada satupun informasi mengenai The Beatles. Bahkan ketika dia mengetik kata kunci John Lennon Paul Mc Cartney, yang muncul di layar Google adalah Pope John Paul.

Rupanya, banyak memori yang hilang. Hanya dirinya yang mengingat lagu-lagu the Beatles.

Jack lalu menulis ulang semua lirik lagu The Beatles, kemudian mulai memainkannya dalam banyak kesempatan. Dia mulai dapat banyak fans. Hingga akhirnya dia tampil di satu tayangan lokal. Keajaiban tak berhenti di situ. Seorang musisi terkenal Ed Sheeran mendatanginya lalu mengajaknya jadi bintang tamu di salah satu konsernya.

Jack benar-benar menikmati berkah dari kejeniusan musik The Beatles. Di depan keluarganya dia menyanyikan lagu Let It Be yang langsung membuat mereka terpesona. Bahkan saat ditantang Ed Sheeran untuk lomba menulis lagu dalam waktu cepat, dia langsung secara spontan menyanyikan lagu The Long and The Winding Road.

Jack dianggap sebagai musisi jenius yang menulis lirik-lirik indah. Manajer Ed Sheeran mengundang Jack untuk datang ke Hollywood. Dia ditangani oleh para pelaku industri yang melihat Jack sebagai produk. Beberapa lagu The Beatles yang dinyanyikan Jack mulai dipajang di website, dan dalam waktu cepat disukai oleh jutaan orang.

Jack siap-siap menikmati ketenaran. Tapi dia merasa ada yang kurang. Beberapa lirik lagu The Beatles hilang dari memorinya. Dia pun berangkat ke Liverpool demi menelusuri tempat-tempat yang dulu sering menjadi inspirasi bagi The Beatles. Dia mengunjungi Penny Lane, makan Eleanor Rigby, Abbey Road, hingga Strawberry Fields.

Saya menyukai bagian romansa antara Jack dengan rekannya Ellie (diperankan Lily James yang pernah bermain dalam Cinderella). Di film ini, Ellie tampil cantik sebagai teman kecil yang kemudian jadi manajer saat Jack belum sukses. Chemistry antara Jack dan Ellie benar-benar pas.


poster film
Tentu saja, bagian yang paling saya sukai adalah lagu-lagu The Beatles yang bertebaran di sepanjang film. Mulai dari Hard Days Night, I Saw You Standing There, I Wanna Hold Your Hand, Penny Lane, Back in the USSR, Something, All My Loving, juga Hey Jude. 

Salah satu adegan lucu di film ini adalah ketika Ed Sheeran menyarankan agar mengganti Hey Jude dengan Hey Dude. Katanya, Hey Dude akan lebih ‘nendang’.

Ternyata, tak cuma Jack sendiri yang mengingat lirik The Beatles. Dalam film, ada dua orang tua yang menemui Jack dan membawakannya Yellow Submarine (kapal selam kuning). 

Keduanya mendukung Jack sebab tidak bisa membayangkan betapa tragisnya dunia jika tidak mengenali karya musik jenius dari Paul MacCartney, John Lennon, George Harrison, dan Ringo Starr. Bahkan keduanya memberikan satu alamat yang kemudian didatangi Jack. Di situ ada satu personil The Beatles.

Saya menilai, sutradara Danny Boyle tak sekadar memberi karpet nostalgia bagi penggemar The Beatles yang menampilkan lagu dengan lirik filosofis yang kuat, tapi juga mengungkap sisi lain industri musik, khususnya posisi seorang penyanyi yang dilihat sebagai produk dari mata rantai kapitalisme. Bagian akhir film ini juga cukup berani dan mengejutkan.

Sutradara seakan ingin mengajukan satu diskusi, apakah The Beatles masih relevan di tengah generasi saat ini? Apakah liriknya masih kuat menancap di benak publik serta menjadi inspirasi bagi dunia di abad yang jauh dari perang ini?

Saya rasa dia ingin menjawab ya melalui film ini. Dia ingin mengatakan musik The Beatles akan tetap abadi dan selalu hadir di setiap zaman. Anak-anak milenial termasuk di Rusia yang dulunya bernama USSR, tetap akan mengidolakan grup band paling populer dalam sejarah ini.

Di zaman ketika perang dunia baru saja usai, lirik cinta The Beatles menjadi oase tempat orang-orang menemukan kedamaian. The Beatles pun menjadi ikon dari era ketika kapitalisme di bidang musik berutmbuh bak jamur di musim hujan. The Beatles adalah awal dari era British Invasion di bidang musik yang merambah ke Amerika Serikat dan negara-negara lainnya.

Sayangnya eksplorasi pada lirik The Beatles tidak dibahas di film ini. Akan menarik membandingkan pandangan John Lennon yang kerap pesimis, Paul Mc Cartney yang selalu optimis, dan George Harrison yang sangat spiritualis.

Mengenang The Beatles

Seusai menonton film, saya tergiang-ngiang dengan banyak lagu The Beatles. Saya memutar kembali beberapa lagu The Beatles yang berkesan. Beberapa lagu favorit saya yang tak muncul di film adalah Till There Was You, Norwegian Wood, Across the Universe, dan Baby It’s You, 

Bahkan saya sampai dua kali menonton tayangan Paul McCartney di acara James Corden Show. Saya menikmati saat-saat Paul berkunjung ke lokasi-lokasi yang dulu menginspirasi The Beatles.

Saat Paul Mc Cartney tampil di satu bar, saya langsung terkenang beberapa bait dalam buku Outliers yang ditulis Malcolm Gladwell. Dalam buku itu, Gladwell menjelaskan premis waktu 10.000 jam yang dibutuhkan seseorang untuk mencapai tahapan skill tingkat dewa. 

Ed SHreen, Lily James, dan Hamish Patel

Dia mencontohkan The Beatles yang pernah manggung di satu bar kecil di Hamburg selama 1200 kali di tahun 1964, dan hanya dibayar dengan minuman. Kata Gladwell, berkat kesempatan manggung, sekaligus kesempatan mengasah diri itu, The Beatles bisa menghasilkan karya-karya yang luar biasa seperti Sgt. Papers Lonely Heart Club Band dan White Album. 

Tapi, saya tak selalu setuju dengan Galdwell. The Beatles bisa seperti itu karena mereka memang jenius, punya bakat alam yang menjadikan mereka sebagai legenda, serta punya visi yang jelas dalam melihat dunia melalui musik. 

Sekadar latihan saja tak lantas membuat seseorang jadi legenda. Tapi diperlukan visi yang kuat, pandangan yang jernih, obsesi, ambisi, dan juga langkah-langkah kecil untuk menggapai semua mimpi itu. The Beatles punya segalanya untuk jadi legenda.

Saya terkenang satu lirik hebat yang ditulis The Beatles:

"Suddenly
I'm not half the man I used to be
There's a shadow hanging over me
Oh, yesterday came suddenly
Why she had to go, I don't know
She wouldn't say"




0 komentar:

Posting Komentar