Gerilya Calon Menteri


ilustrasi

Biarpun sudah cukup lama di kota, saya tetap merasa sebagai orang kampung. Saat ada telepon dari seorang dirjen di satu kementerian yang mengajak makan-makan di restoran, saya girang setengah mati. 

Saya bayangkan akan bebas memilih menu, tanpa harus memikirkan isi dompet. Di kampung, saya amat bangga saat bertemu pejabat kecamatan. Tapi yang ngajak makan-makan ini adalah seorang dirjen, eselon satu. Betapa bangganya saya.

Singkat kata, bertemulah kami di satu restoran di kawasan Menteng. Saya bebas memilih menu apapun. Tapi setelah makan, kami berbincang. Barulah saya ingat pepatah Inggris: "there's no free lunch." Tak ada makan siang gratis. Rupanya saya akan jadi pendengar dari mimpi2 bapak ini yang ingin jadi menteri kabinet. Saya merasa seperti Nobita yang dipaksa mendengar nyanyian Jaian, dan celoteh Suneo.

Saya ingat di layar kaca, sidang MK belum usai. Tapi di kalangan pendukung dan oposisi, hasilnya seakan sudah ditebak. Orang-orang sudah lama gerilya dan melobi sana-sini demi posisi menteri. Di negeri ini, sekadar pintar tak cukup. Anda mesti dikenal. Anda mesti ditahu kapasitasnya. Anda mesti punya mimpi yang bersesuaian dengan visi seorang pemimpin.

Jalan ke arah kursi menteri cukup terjal. Kalau Anda punya partai politik, maka jalannya lebih landai. Anda tinggal sikut saingan di partai. Jika hanya andalkan kecerdasan dan profesionalitas, Anda mesti punya sesuatu untuk bisa tampil glowing di tengah begitu banyaknya orang hebat di negeri ini.

Jika syarat itu terpenuhi, Anda juga mesti punya jejaring dengan organisasi massa yang punya banyak anggota serta berpengaruh. Jika tak ada link dengan NU, Muhammadiyah dan KAHMI, maka Anda bisa andalkan jaringan organisasi alumni kampus. Yang tak kalah penting, nama Anda harus masuk radar para pencari bakat. Ini penting, tapi sulit.

Bapak ini tak ingin saya sekadar jadi pendengar. Dia mengeluarkan sebundel dokumen yang harus saya baca. Dia ingin mendengar masukan saya atas berkas calon menteri yang akan diajukannya ke banyak lembaga dan organisasi.

Karena sudah ditraktir makan, saya tak enak hati jika tidak membantunya. Biarpun saya bilang kalau pengalaman saya hanya review proposal acara lomba panjat pinang di kampung, dia ngotot agar saya tetap membaca berkasnya. Yah, terpaksa saya berpura-pura jadi konsultan branding.

Saya melihat CV-nya puluhan lembar. Saya juga lihat berbagai sertifikat, penghargaan, dan pengalaman tampil di panggung internasional. Saya sarankan agar meringkas semua dokumen itu. Bikin pendek, sederhana, tapi kuat.

Saya ingat waktu ajukan aplikasi beasiswa luar negeri. Pelamar cukup membuat dua lembar catatan, yang isinya berupa study objective, yakni rencana2 dan target2 jika menjadi mahasiswa. Satunya lagi adalah personal statement, yang isinya ringkasan perjalanan hidup, pengalaman penting, serta mimpi-mimpi di masa mendatang. 

Saya menyarankan agar dia membuat dua esai yang bertutur. Satu tentang mimpi-mimpi dan rencana-rencana jika dia memegang jabatan itu. Satu lagi tentang perjalanan hidup dan pengalaman, serta masa depan yang ingin dia gapai.

Dalam esai sependek itu, dia harus bisa meyakinkan orang. Pilih diksi dan kalimat yang bertenaga. Jangan terlalu mengawang, tapi hadirkan sesuatu yang konkret dan berangkat dari pahaman yang jernih. Hadirkan optimisme bahwa Indonesia akan lebih baik jika sejumlah prasyarat dipenuhi, termasuk menjadikan dirinya sebagai menteri.

"Bagaimana caranya membuat esai semacam study objective yang kuat?" dia bertanya.

Saya terdiam sesaat. Saya ingin jawab supaya dia rajin membaca RPJMN, sering-sering melihat visi-misi capres pemenang yang diajukan ke KPU, juga rajin memantau tayangan debat capres. Amati semua diksi dan keyword dari capres pemenang. Jika dia punya software N-Vivo yang dipakai pengolah data kualitatif, kita bisa mengolah diksi yang dipakai capres itu untuk membuat esai yang bertenaga.

Saya belum sempat sampaikan masukan itu. Sekonyong-konyong, saya teringat postingannya di berbagai medsos yang rajin membagikan hoaks dan kebencian mengenai pemimpinnya. Saya ingat argumennya yang basisnya adalah kebohongan yang dibuat para buzzer. Saya ingat berbagai tautan media abal-abal yang dianggapnya sebagai kebenaran. 

Sekarang, di depan saya, dia tiba-tiba bercerita mimpinya untuk jadi menteri. 

"Yos, apa kamu bisa bantu siapkan dokumen dan esai yang menggugah itu?"

Kali ini saya benar-benar terdiam. Berharap bisa segera kabur dari tempat itu.



2 komentar:

wijatnikaika mengatakan...

Enak dibikin cerpen ini

Yusran Darmawan mengatakan...

iya sih. harusnya dikembangkan supaya jadi cerpen.

Posting Komentar