Salut Tim MAWAR, Salut TEMPO




Marilah kita berterimakasih kepada Tim Mawar, pasukan yang dahulu dibentuk Prabowo Subianto di tahun 1998. Ketika Tempo menyebut kaitan antara Tim Mawar dengan kerusuhan 21-22 Mei 2019, tim ini memilih untuk melapor ke Dewan Pers. 

Saya tak bisa bayangkan jika keberatan itu terjadi di masa Orde Baru. Dulu, mekanisme untuk menyampaikan keberatan bukan melalui saluran resmi. Ketika jurnalis menyengat pejabat, maka jurnalis itu sering hilang begitu saja. Jurnalis Bernas, Udin, adalah salah satunya.

Dengan cara melapor ke Dewan Pers, akan ada mekanisme hukum yang berjalan. Dewan Pers akan mengecek semua berita yang dibuat Tempo. Lembaga itu akan melihat seberapa berimbang Tempo dalam liputannya. Jika tidak berimbang, apalagi jika mengarang-ngarang, tentunya ada risiko hukum yang akan didapatkan media itu.

Bagi pemerhati media, pembuktian keberimbangan itu tidak begitu sulit dilakukan. Ada banyak metodologi riset untuk membuktikan keberimbangan dan keberpihakan satu media. Kita bisa melakukan analisis teks untuk menentukan apakah satu liputan cenderung tendensius ataukah tidak. Dulu, saya sering melakukan analisis teks ini untuk memantau netralitas dan keberpihakan.

BACA: Matinya BOLA, Matinya Kreativitas

Semua pihak yang berbeda pandangan akan dikonfrontir. Saya yakin, pihak Dewan Pers akan fokus pada informasi apa yang disajikan, serta cara-cara Tempo mendapatkan informasi itu. Apakah sumbernya jelas ataukah karang-karang? Selain itu, perhatian akan diberikan pada apakah informasi itu berimbang ataukah tidak. Jika menuduh A, maka apakah ada ruang bagi A untuk menjawab tuduhan itu?

Ketika informasi didapatkan dengan cara yang benar dan disajikan secara berimbang, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan Tempo. Media itu sudah kenyang dengan segala gugatan. Malah Tempo sudah pernah dibreidel pada masa Orde Baru atas satu informasi yang seharusnya bisa diperdebatkan lebih dahulu.

Hingga kini, media itu masih bisa eksis dan bertahan. Seiring waktu, jurnalisme Tempo tetap menjadi role model bagi liputan investigasi banyak media. Di tengah seliweran informasi yang tidak jelas, media itu masih menyajikan analisis mendalam dan juga kejelasan informasi. Inilah yang dibutuhkan publik.

Dulu, saya termasuk orang yang menyangka kalau produk jurnalistik akan segera berakhir seiring dengan kehadiran media sosial. Seiring waktu, saya pun merevisi anggapan itu. Media sosial belakangan ini hanya menyajikan sampah serta produk informasi yang sengaja mengaburkan persoalan. 

Berbagai media online memang menyajikan kecepatan. Tapi dalam hal kemasan, kedalaman, juga kelengkapan informasi, media-media cetak masih amat dibutuhkan. Publik tidak ingin sekadar tahu apa yang terjadi, tetapi butuh informasi lebih, apa yang ada di balik fakta-fakta itu, siapa yang terkait, apa kepentingannya, serta apa saja dampak yang bisa muncul. 

Publik, termasuk saya, mengalami kerinduan pada kerja-kerja jurnalistik yang berpangkal pada verifikasi dan cek ricek situasi lapangan. Produk jurnalisme menjadi lebih bernilai sebab dikerjakan dengan standar dan prosedur kerja yang jelas, serta diberi sentuhan oleh banyak pihak sebelum tayang ke publik.

Di media sosial, Anda tak bisa memverifikasi sejauh mana kebenaran satu informasi. Di banyak grup WhatsApp, kita hanya mendapatkan share artikel dari berbagai grup yang tak jelas benar siapa penulisnya. Nama seseorang sering dicatut. Hingga akhirnya seseorang itu memberi klarifikasi bahwa namanya digunakan sepihak.

Berkat produk jurnalistik, kita melihat ada kejelasan penyampai pesan. Kalau pun tak sepakat, ada banyak jalur untuk menggugat liputan itu. Bisa melalui surat elektronik, menghubungi jurnalis, hingga lapor ke Dewan Pers atau pihak berwenang. 

BACA: Sosok Penting di Balik Tribunnews

Setidaknya, Anda tahu ke mana harus memprotes dan menggugat ketika ada ketidaksepakatan. Beda halnya dengan media sosial yang serupa hantu bisa menyebar ke mana-mana, tanpa jelas siapa yang membuat konten itu.

Beruntunglah ada Tempo yang masih menyajikan investigasi, sesuatu yang memang harus dikerjakan para jurnalis. Mereka mempertaruhkan reputasi dan nama baik yang dibangun lama sebelum banyak partai politik berdiri. Jika investigasinya ngawur, mereka siap untuk menghadapi semua risiko.

Liputan investigasi seperti ini adalah oase di tengah seliweran informasi dari berbagai media abal-abal dan akun buzzer di medsos. Dalam situasi saat ini, publik mengalami Cinta Lama Bersemi Kembali (CLBK). Tadinya menjauh dari media mainstream, kini mendekat.

Namun, sebagai pembaca, saya tak menelan mentah-mentah semua informasi dari Tempo. Saya malah sering menemukan media ini menggunakan sumber anonim, yakni seseorang yang tidak mau disebutkan namanya. 

Dalam dunia riset, sumber anonim sering digunakan jika informasi itu bisa membahayakan narasumber. Sebab yang terpenting adalah informasi itu benar atau tidak, bukan pada siapa pelakunya. 

Tapi dalam dunia jurnalisme, informasi dari sumber anonim bisa membuat kredibilitas media jadi turun. Memang, media itu bisa mengklaim sumber itu A1 dan tak perlu diungkap, tapi makin banyak anonim bisa membuat publik bahwa media ini terlalu ini banyak spekulasi dan berlindung dibalik nama anonim.

Kritik lain pada Tempo adalah adanya vonis atau penilaian dini. Maksud saya, Tempo bukanlah polisi, jaksa, dan hakim yang melakukan investigasi, kemudian memutuskan bersalah tidaknya seseorang. Tugas media ini hanya menghamparkan semua hasil investigasi, tanpa harus terjebak pada vonis siapa yang terlibat. 

Satu lagi, bisakah kita menyebut satu tim bersalah sementara pelakunya hanya satu orang? Bukankah mengaitkan kesalahan satu orang oknum pada satu kelompok adalah bagian dari over-generalisation yang merupakan kesalahan berpikir?

Tapi biarlah Dewan Pers dan pengadilan yang akan menentukan apakah salah ataukah benar.

BACA: Erick Thohir di Mata Profesor Amerika

Sebagai publik, kita harus berani memberikan apresiasi kepada Tim Mawar yang memilih membawa persoalan ini ke Dewan Pers. Kita akan melihat proses yang terbuka, apakah jurnalisme Tempo bisa jadi rujukan ataukah tidak.

Namun, ada banyak pertanyaan yang terbersit di pikiran saya. Bagaimanakah halnya jika Dewan Pers menganggap Tempo sudah benar dan menyatakan Tim Mawar yang keliru? Apakah Tim Mawar tidak lantas menolak lalu mengklaim diri benar, kemudian sujud syukur? Apakah tidak lantas Tim Mawar menyatakan lebih percaya pada people power?

Entahlah, semoga Tim Mawar tidak belajar banyak pada sikap pendirinya.




0 komentar:

Posting Komentar