Bukan Hanya LAFRAN PANE




Tadinya, anak piatu dari Gunung Sibualbuali itu hanya seorang tukang protes. Telunjuk takdir mengarahkannya untuk menjadi seorang guru besar. Tadinya dia hanya seorang penjual es lilin demi bertahan hidup. Tapi sejarah menempatkannya sebagai seorang pahlawan nasional. Dia, Lafran Pane.

Kepahlawanan Lafran tidak didapatkan dari tarung di medan laga dan arena pertempuran. Dia memilih menjadi guru dan pendiri organisasi mahasiswa. Dia bergerak dengan cara yang sederhana, melalui mimbar-mimbar pengkaderan mahasiswa, meletakkan Islam sebagai api di pikiran anak muda, juga sebagai embun yang membasahi nurani.

Kisah Lafran Pane bisa dibaca lengkap pada novel berjudul Merdeka Sejak Hati yang ditulis A. Fuadi, penulis trilogi Negeri 5 Menara. Melalui novel ini, kita akan menemukan satu keping sejarah Lafran sebagai manusia biasa yang ingin berbuat sesuatu bagi bangsanya.

Lafran ingin mempersembahkan kemerdekaan. Tapi, kemerdekaan baginya bukan sekadar pernyataan dengan pekik lalu muncul perlawanan. Kemerdekaan adalah situasi ketika seseorang berani jujur dan sederhana di tengah riuh rendah dunia. Kemerdekaan dimulai sejak dari hati. Merdeka dimulai dari nurani, sebagaimana tuntunan indah agama Islam yang dianutnya.

Demi kemerdekaan itu, Lafran tak lelah mengajak orang-orang untuk datang dari masjid ke masjid. Dia mengajak anak muda khususnya mahasiswa untuk berorganisasi dan membentuk Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). 

Dia menginspirasi lahirnya para intelektual kampus yang “bernapaskan Islam, serta bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur.” Dia menyalakan pelita Islam agar semua anak muda tidak tersesat di jalan, serta menemukan cahaya terang kemerdekaan.

Baca: Sesobek Refleksi di Pelatihan HMI

Saya belum membaca tuntas novel bagus ini. Masih mencari waktu yang tepat. Saya menyenangi spirit dari kepahlawanan Lafran. Saya tak sepakat dengan orang-orang yang melihat para pahlawan hanya dari arena peperangan. Seolah-olah Anda harus bertempur dulu baru bisa dibilang pahlawan.

Pahlawan adalah mereka yang melampaui dirinya, memikirkan sesuatu yang jauh lebih penting dari sekadar capaian pribadi. Sukarno dan Hatta adalah sosok yang melampaui dirinya. Mereka alumni perguruan tinggi pada masanya. 

Jika saja mereka menjadi pegawai pemerintah atau mendirikan perusahaan, mereka akan menangguk untung dan kaya raya dari profesinya itu. Tapi mereka memikirkan sesuatu yang melampaui semua capaian material itu. 

Mereka memikirkan bangsa, serta meletakkan fundasi bagi negeri baru yang memosisikan semua orang dalam posisi sama. Mereka ingin membebaskan bangsa dari hardikan bangsa lain.

Kepahlawanan harus dipandang sebagai tindakan, bukan sebagai gelar semata. Kepahlawanan adalah ikhtiar untuk melakukan sesuatu, bukan satu predikat yang disahkan dalam selembar kertas putih dengan lambang negara. Kepahlawanan adalah kesediaan untuk membantu orang lain, sembari mengabaikan kepentingan diri.

Sebagaimana halnya Sukarno dan Hatta, Lafran Pane bekerja dengan cara memercikkan api intelektualitas, melalui organisasi kader bagi mahasiswa. Ia membangun basis organisasi mahasiswa Islam terbesar di Indonesia. 

Organisasi itu melahirkan banyak kader, intelektual, serta aktivis yang bertebaran di segala penjuru. Ia juga memperkenalkan integrasi antara Islam dan kebangsaan sebagai dasar dalam bernegara.

Penerus Lafran

Saya membaca berita kalau novel ini akan segera difilmkan. Tentunya, spirit Lafran akan menyebar ke mana-mana. Tapi saya berharap beberapa nama besar yang lahir di rahim HMI perlu mendapat tempat sebagaimana Lafran. Mereka pun perlu diabadikan dalam karya, novel ataupun film agar semangatnya menyebar.

Jika saya ditanya, maka saya akan menyebut banyak nama. Mulai Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib, hingga Munir. Masing-masing punya jejak penting di hari orang yang mengenalnya. 

Nurcholis adalah intelektual yang membumikan spirit keislaman dalam lingkup kemodernan dan keindonesiaan. Demikian pula Dawam yang banyak menulis tema ekonomi Islam. Ahmad Wahib adalah sosok muda yang menulis catatan penuh pergolakan dan menggelisahkan banyak anak muda Islam.

BACA: Menolak Saut, Membela HMI

Di mata saya, Munir mendapat tempat istimewa. Kisahnya menarik untuk diulas. Di dunia intelektual, bintangnya tak seberapa benderang. Namun di dunia aktivis dan pergerakan sosial, namanya adalah matahari yang tak pernah kehabisan sinar. Munir adalah monumen bagi semua pejuang keadilan di tanah air.

Munir adalah mantan Ketua HMI Komisariat Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, yang paling fenomenal. Namanya menjadi getar bagi siapapun yang hendak membahas dunia aktivisme sosial, dunianya mereka yang berdiri di hadapan massa tertindas. Munir adalah nama yang disebut orang-orang yang tak berdaya karena represi dan penindasan negara.

Sebagai seorang sarjana hukum, Munir mendedikasikan pengetahuannya untuk menantang rezim. Munir bukan tipe alumnus HMI kebanyakan yang memilih berlindung di balik ketiak pemerintah sembari mengais-ngais proyek untuk memperkaya diri.

Munir, pejuang HAM

Ia bersama massa rakyat, menjalankan peran-peran advokasi dan membela mereka yang dibisukan haknya oleh negara. Ia tidak hendak menjadi intelektual baru penopang kuasa, tapi memilih menjadi kerikil di ujung sepatu militer dan penguasa yang berkelindan untuk menindas.

Pada akhir Orde Baru, Munir adalah simbol perlawanan terhadap rezim. Ia mengawal semua korban kekerasan melalui organisasi Kontras. Ia pembela HAM terdepan, yang mengedepankan nilai-nilai anti kekerasan, humanisme, toleransi, serta kritis pada watak negara yang otoriter.

Ia juga seorang yang amat sederhana. Para sahabatnya punya kenangan tentang sosok Munir yang ke mana-mana dengan menggunakan sepeda motor. Padahal, jika saja ia sedikit ramah pada negara, maka dirinya akan bergelimang harta. Ia memilih sesuatu yang melampaui semua harta.

Ia bergabung di LBH dan menjalankan peran sebagai intelektual organik, membangun kesadaran kritis, dan tak telah mengingatkan orang-orang bahwa ada yang salah di negeri ini. Ia ditahbiskan sebagai sosok panutan, idola, serta menjadi contoh bagaimana dedikasi seorang intelektual untuk membela ketertindasan.

Hingga akhirnya, Munir tewas secara menyedihkan pada usia 38 tahun, dalam perjalanan untuk menimba ilmu di negeri Belanda. Ia belum menuntaskan kerja-kerja sosialnya yang bersinggungan dengan kuasa, tapi jejaknya tersimpan abadi di hati banyak orang. 

Orang-orang meneladani karakternya yang memilih hidup sederhana dan digarami serta diasinkan oleh dunia pergerakan. Munir menjadi monumen bagi para pejuang HAM dan pembela orang biasa.

Saya membayangkan kisah Munir menjadi inspirasi bagi generasi baru Indonesia. Kisahnya akan jadi cahaya terang bahwa seorang anak muda jangan selalu berpikir mapan. Harus ada yang memainkan peran-peran mengawal masyarakat akar rumput 

Dia pantas menjadi pahlawan sekaligus inspirator yang meletakkan bahagianya bukan pada jabatan dan popularitas melainkan pada sejauh mana dirinya memberikan manfaat bagi orang lain.

Saya berharap ada yang menulis kisah Munir. Jika tak ada, apakah ini isyarat kalau saya yang harus menuliskan kisah hebat itu?




0 komentar:

Posting Komentar