Yang Menjengkelkan dari KAESANG Jokowi


Kaesang saat melayat Ani Yudhoyono di Singapura

Tak penting untuk mendebat kubu kampret yang mempersoalkan celana jeans Kaesang saat melayat Ani Yudhoyono di Singapura. Sama tak pentingnya mendebat kubu cebong yang membalas dengan postingan foto Sandiaga Uno bercelana puntung saat melayat satu tokoh.

Sebab keduanya telah menunjukkan kepedulian atas meninggalnya seseorang. Keduanya datang melayat, dengan maksud untuk menyampaikan duka, sekaligus menunjukkan tanda kasih dan dukungan pada keluarga yang ditinggalkan. Keduanya sedikit lebih baik dari Didit Hediprasetyo, putra Prabowo, yang tak pernah terlihat datang melayat.

Kaesang menunjukkan adab. Dia datang melayat, menyampaikan duka, setelah itu ikut berdoa bersama. Dia ikut antre sebagaimana warga lain, padahal bapaknya adalah pemimpin negara yang sedang menjabat. Dia taat asas sebagai warga. Atas sikapnya itu, politisi Partai Demokrat memberikan apresiasi.

Tapi kalau ada yang mempersoalkan gaya Kaesang yang tampil ndeso, saya no comment. Terlalu sering saya melihat lini masa media sosial orang-orang yang menilai Kaesang, juga kakaknya Gibran, serasa bukan anak presiden. Publik lebih suka menilai tampilan, ketimbang substansi.

Publik medsos membandingkan Kaesang dengan anak presiden lainnya. Dia tidak sekaya dan seplayboy Tomy Suharto. Dia tidak secerdas Ilham Habibie dan Yenny Wahid. Dia tidak segagah Agus Yudhoyono. Tidak juga selincah politisi Puan Maharani.

Kaesang terlampau jauh jika dibandingkan dengan nama-nama di atas. Dia terkesan tidak mau menunjukkan aura dari putra seorang yang paling berkuasa di republik ini. Padahal dia bisa tampil kaya-raya dengan pakaian merek mahal, dan ke mana-mana ditemani ajudan.

Di media media sosial, dia lebih banyak bercanda. Bersama kakaknya, dia saling olok, menyebar canda, dan juga berbagi komen lucu. 
Saya mengenal seorang kawan yang sering nyinyir pada Kaesang. Saat saya tanya, kawan itu kesal melihat tingkah laku Kaesang yang seperti bukan putra presiden. Dia membayangkan seorang putra presiden adalah manusia strata kelas atas yang tampak kaya-raya, angkuh dan tidak bergaul dengan siapa pun.

“Masak, ada anak presiden tingkahnya kayak pedagang pasar,” kata kawan itu. 

Kawan itu masih menganggap kalau anak presiden adalah bangsawan yang berjarak dengan siapa pun. Dia pikir, anak pejabat adalah mereka yang hanya foya-foya dan sesekali menghadiri acara pengguntingan pita. Dia merasa jengkel dengan Kaesang yang disebutnya tidak mau memanfaatkan posisi bapaknya.

Saya tak terkejut dengan pernyataan kawan itu. Di banyak daerah, menjadi putra seorang bupati atau gubernur ibarat menjadi pangeran yang bisa lakukan apa pun. Di satu daerah, ada anak bupati yang ketika jogging sengaja meminta barisan patwal untuk mengawalnya. Dia jogging di belakang Satpol PP yang memakai motor ala chips. Dia merasa bangga.

Di beberapa tempat, bupati dan keluarganya leluasa memainkan semua proyek pemerintah daerah. Semua yang besar-besar diembat, yang kecil-kecil barulah diserahkan pada kontraktor lokal.

Kita menyebutnya nepotisme. Bapaknya pejabat, anak dan keluarganya yang menikmati semua limpahan proyek. Jabatan dianggap sebagai peluang untuk membangun jaringan uang yang diharapkan

Maka sungguh mengherankan melihat Kaesang yang cengengesan di media sosial. Kalau saja dia sedikit “pintar’, dia cukup menaikkan alis saat bertemu menteri demi meminta jatah proyek APBN, komisaris BUMN, atau mengambil fee dari proses lelang jabatan. Cukup dia bilang “kata bapak”, maka semua struktur birokrasi bisa bergerak demi mengamankan perintah itu.

Dia bisa saja meniru pura-putri presiden sebelumnya. Dia tak pernah membaca kalau ada putri presiden yang di awal-awal mendapat tender ratusan kilometer jalan tol, lalu mendapat lagi jatah saham hingga lebih 30 persen di beberapa bank terbesar.

BACA: Yang Tak Disukai pada GIBRAN Jokowi

Putra presiden lainnya mendapat monopoli perdagangan cengkeh, jatah 1 dollar dari setiap barel penjualan BBM, penjualan mobil hingga mi instan, usaha penerbangan, ratusan perusahaan tambang, hingga payung hukum negara untuk proyek mobil nasional yang ternyata mobil asal Korea, yang telah dibebaskan bea-masuk agar murah dijual. 

Ada pula yang membuat yayasan-yayasan lalu mengelola dana negara di yayasan itu? Ada juga yang membuat masjid dan rumah sakit di mana-mana, tapi sebelumnya sudah mengamankan sisa anggaran dalam jumlah sangat besar? 

Tapi Kaesang malah memilih jualan pisang. Hah?

***

Tanah air sepatutnya bangga dengan anak muda ini. Dengan memilih mandiri, dia ingin menunjukkan bahwa lebih terhormat membangun kerajaannya sendiri, tanpa harus bergantung pada siapa pun, termasuk bapaknya.

Upaya menemukan jalan nasib sendiri jauh lebih terhormat daripada sikap kongkalikong dan memanfaatkan posisi serta jabatan orang tua. Dia tetap menjaga independensi bapaknya, dengan cara tidak mau merecoki dengan bisnis pribadi. Dia membangun karakter dan integritas.

Mereka yang jengkel pada Kaesang adalah mereka yang berharap Indonesia bergerak mundur, yang masih berpikir bahwa para penguasa adalah lapis bangsawan baru yang harus tampil berwibawa dan sikap penuh karismatik.




Mereka tak siap dengan perubahan, ketika posisi dan jabatan tidak lebih dari sekadar pembagian kerja yang harus ditunaikan dengan penuh amanah dan bertanggung jawab. Bahkan seorang presiden pun adalah pekerja yang memimpin orkestra perubahan yang dimainkan semua anak bangsa dengan penuh harmoni.

Di zaman ini, tak semua orang paham apa itu integritas. Orang-orang lebih suka melihat kulit ketimbang isi. Bahkan mereka yang berpenampilan mewah lebih dihargai ketimbang mereka yang biasa saja. Padahal, bisa jadi yang berpenampilan mewah itu hanya staf, sementara majikan berpakaian biasa saja.

Kaesang membuktikan bahwa setetes keringat dari kerja keras adalah berlian yang jauh lebih bernilai dari apa pun. Di keringat itu, ada kemandirian, ikhtiar untuk tegak, serta keberanian menghadapi hidup yang penuh risiko dengan cara berdiri di atas kaki sendiri. 

Di situ ada kekuatan untuk tegak, tanpa harus manja pada orang lain, juga bapak sendiri. Di situ ada pertaruhan bahwa lebih terhormat bekerja dengan tangan sendiri, dengan segala kerja dan usaha, dengan keringat yang menetes-netes.(*)



0 komentar:

Posting Komentar