DUA edisi terakhir Majalah Tempo mengenai kerusuhan 21 Mei 2019 menjadi incaran banyak orang. Lapak koran kembali ramai. Orang-orang haus dengan informasi yang tidak ada di media sosial. Juga tidak ada dalam berbagai cuitan para buzzer yang berseliweran di timeline.
Dulu, saya termasuk orang yang menyangka kalau produk jurnalistik akan segera berahir seiring dengan kehadiran media sosial. Seiring waktu, saya pun merevisi anggapan itu. Sebab media sosial belakangan ini hanya menyajikan sampah serta produk informasi yang sengaja mengaburkan persoalan.
Publik, termasuk saya, mengalami kerinduan pada kerja-kerja jurnalistik yang berpangkal pada verifikasi dan cek ricek situasi lapangan. Produk jurnalisme menjadi lebih bernilai sebab dikerjakan dengan standar dan prosedur kerja yang jelas, serta diberi sentuhan oleh banyak pihak sebelum tayang ke publik..
Di media sosial, Anda tak bisa memverifikasi sejauh mana kebenaran satu informasi. Di banyak grup WhatsApp, kita hanya mendapatkan share artikel dari berbagai grup yang tak jelas benar siapa penulisnya. Nama seseorang sering dicatut. Hingga akhirnya seseorang itu memberi klarifikasi bahwa namanya digunakan sepihak.
Pada produk jurnalistik, kita melihat ada kejelasan penyampai pesan. Kalau pun tak sepakat, ada banyak jalur untuk menggugat liputan itu. Bisa melalui surat elektronik, menghubungi jurnalis, hingga lapor ke Dewan Pers atau pihak berwenang.
Anda tahu ke mana harus memprotes dan menggugat ketika ada ketidaksepakatan. Beda halnya dengan media sosial yang serupa hantu bisa menyebar ke mana-mana, tanpa jelas siapa yang membuat konten itu.
Dua edisi terakhir Tempo menyajikan investigasi, sesuatu yang memang harus dikerjakan para jurnalis. Mereka mempertaruhkan reputasi dan nama baik yang dibangun lama sebelum banyak partai politik berdiri. Jika investigasinya ngawur, mereka siap untuk menghadapi semua risiko.
Liputan investigasi seperti ini adalah oase di tengah seliweran informasi dari berbagai media abal2 dan akun buzzer di medsos. Dalam situasi saat ini, publik mengalami Cinta Lama Bersemi Kembali (CLBK). Tadinya menjauh dari media mainstream, kini mendekat.
Tempo berani menyajikan teka-teki kerusuhan seperti kisah sabotase dalam film-film. Asumsinya, ada sejumlah orang yang tidak siap dengan kekalahan pilpres, kemudian merancang strategi agar terjadi rusuh sehingga terjadi pergantian kepemimpinan. Sayangnya, aksi itu tidak digarap dengan serius. Pelakunya amatiran sehingga mudah dibekuk.
Saya tak ingin berspekulasi. Saya hanya berharap siapa pun pelakunya harus diadili. Sebagai bangsa, kita terlalu pemurah sebab memilih untuk melupakan satu luka atas peristiwa besar, tanpa ada proses hukum. Padahal, dengan mengusut tuntas pelakunya dan memberi hukuman, kita berharap peristiwa serupa tidak terjadi di masa depan.
Dengan cara itu, kita menyelamatkan masa depan.
2 komentar:
sekarang tempo pun dilaporkan
malah makin bagus, krn ada lembaga yang akan melakukan klarifikas serta cek dan ricek atas liputan yang dikerjakan media itu.
Posting Komentar