Buku Big Magic yang ditulis Elizabeth Gilbert |
Darimanakah datangnya kreativitas?
Seorang sahabat bertanya pada seorang
penulis produktif, mengapa ia bisa menuntaskan buku ratusan halaman? Pada saat
sahabat itu hanya sanggup menyelesaikan satu artikel pendek, tiba-tiba si
penulis bisa menghasilkan berlembar-lembar tulisan dalam waktu yang sama. Sahabat
itu juga keheranan saat mengamati para pelukis, seniman, penulis puisi, hingga
para sastrawan. Mereka bisa melahirkan banyak karya dalam waktu singkat. Mengapa
mereka sedemikian kreatif?
Mungkin sahabat itu tidak memahami bahwa
seorang penulis selalu berhadapan dengan ketakutan, apakah bisa menghasilkan
buku-buku tebal. Seorang penulis pun harus mengasah dirinya sekreatif mungkin
agar sanggup menuliskan lembar demi lembar buah pemikirannya. Seorang penulis
juga mengalami ketakutan, apakah dirinya bisa menuntaskan satu pekerjaan menulis
ataukah tidak.
Imam Ali bin Abi Thalib berkata, “Ikatlah
ilmu dengan menuliskannya.” Yang saya tangkap dari pernyataan ini adalah ilmu
itu bergerak secara liar, kadang mendekat dan kadang menjauh. Manusia butuh
menjeratnya melalui tulisan agar ilmu itu bisa terus abadi, memberikan jawaban
manusia atas banyak pertanyaan, bisa dibagikan ke orang-orang lain.
Terhadap pertanyaan sahabat itu, saya
terkenang pada buku Big Magic: Creative
Living Beyond Fear yang ditulis Elizabeth Gilbert tahun 2015 silam. Buku
ini terbilang baru dan hingga kini belum diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Saya membacanya di satu situs. Elizabeth Gilbert adalah pengarang
produktif di Amerika Serikat yang menghasilkan banyak buku best seller. Di
antaranya adalah buku Eat, Pray, and Love yang difilmkan dan dibintangi aktris Julia Roberts. Kebetulan pula, beberapa bagian dalam buku itu mengisahkan perjalanan
Gilbert di Indonesia.
Dalam buku Big Magic, Gilbert menyebut
kreativitas bukan sesuatu yang sifatnya personal, ditemukan dalam diri
individu. Kreativitas selalu melibatkan proses spiritual, di mana-mana ide-ide
kreatif datang dari luar, yang kemudian memasuki seseorang. Manusia sanggup
menulis sesuatu disebabkan ada ilham atau ide-ide yang memasuki tubuhnya.
Tulisan hanya satu cara untuk menjerat ide-ide itu agar tidak lepas.
Gilbert menelusuri jejak kreativitas di
berbagai zaman, di antaranya adalah masa Yunani dan Romawi kuno. Para seniman
bisa melahirkan mahakarya hebat disebabkan oleh kreativitas, yang diyakini
berasal dari roh di lokasi yang misterius. Kreativitas seniman didapatkan
dari yang peri berdiam di balik tembok rumahnya. Peri, yang disebut Gilbert serupa
Dobby dalam serial Harry Potter, membantu para seniman untuk menuntaskan
kerja-kerja kreativitasnya. Para seniman menjadikan diri mereka sebagai wadah
bagi masuknya peri demi lahirnya karya-karyanya.
Socrates percaya bahwa dia memiliki "daemon" yang mengajarkan kebijakan dari jauh. Orang Romawi pun mempercayai ide
yang sama, tapi mereka menyebut makhluk itu Jenius. Orang Romawi
tidak menganggap Jenius sebagai manusia yang sangat sangat
pintar. Mereka percaya Jenius adalah sesuatu yang magis dan
sakral yang hidup dalam tembok ruang kerja seniman, mirip seperti
peri-rumah Dobby, yang keluar dari persembunyiannya untuk membantu sang
seniman dan membentuk hasil akhir karya tersebut.
“Makanya para seniman tidak pernah narsis
di zaman itu. Ketika karyanya bagus, mereka akan berkata bahwa itu berkat peri
Jenius. Demikian pula ketika karyanya buruk, maka mereka akan mengatakan itu
juga berkat campur tangan peri itu. Mereka bersikap apa adanya, tanpa
membanggakan dirinya,” katanya.
Seiring dengan datangnya era renaissance, manusia
menganggap dirinya sebagai pusat ilmu pengetahuan dan menyingkirkan semua
dewa-dewa dan mitologi. Kreativitas dianggap murni berasal dari dalam diri
manusia. Banyak seniman yang justru tak mampu menghasilkan apapun, sebab Jenius
perlahan menjauh.
Namun ada saja seniman yang masih percaya
dengan adanya roh bernama Jenius itu. Gilbert menyebut penulis puisi terkenal
Ruth Stone yang kini berumur 90-an tahun. Saat kecil, Ruth tumbuh di pedesaan
Virginia. Saat bekerja di ladang, tiba-tiba saja dirinya merasakan adanya
getaran yang merupakan tanda datangnya puisi. Ia mendengar suara gemuruh air
bah bersamaan dengan kedatangan puisi. Ruth lalu berlari seperti dikejar setan
ke rumahnya demi mengambil kertas dan pensil. Saat puisi itu menembus tubuhnya,
ia harus segera menulis demi mengurung dan menjebak puisi itu.
Kadang, Ruth tidak cukup cepat. Saat
dirinya telah berlari kencang dan tiba di rumah, puisi itu telah menembus
dirinya, lalu mencari penulis lain. Pernah, puisi itu telah menembus dirinya,
Ruth lalu menangkap ekor puisi itu, memasukkannya kembali dalam tubuhnya,
kemudian ia mulai menulis. Ajaib, puisi yang ditulisnya dalam posisi terbalik,
dari kata terakhir ke depan.
Buku Eat, Pray, and Love |
Masih kata Gilbert, pengalaman serupa juga
dialami Tom Waits, seorang musisi terkenal. Tom seringkali tersiksa oleh
melodi-melodi yang datang silih-berganti. Ia produktif menulis lagu, sebab
melodi itu datang menghampirinya. Pernah, melodi itu datang saat Tom menyetir
di jalur cepat di Los Angeles. Sambil menyetir, tiba-tiba Tom mendengar
sepotong melodi masuk ke kepalanya seperti laiknya sebuah inspirasi.
Melodi itu begitu indah. Tom ingin menangkapnya. Tapi saat itu Tom tak memiliki
kertas ataupun pensil. Tak ada alat rekaman di dekatnya. Ia juga sedang
menyetir.
Tom mulai merasa gelisah, "Aduh,
aku akan kehilangan melodi ini, lalu akan terus dihantui lagu ini
selamanya. Aku begitu payah dan tak mampu." Lalu bukannya panik,
dia berhenti. Tom memandang ke langit, dan berkata, "Maaf,
tidakkah kamu lihat saya sedang menyetir? Memangnya saya bisa menulis lagu saat
ini? Jika kamu memang ingin berwujud, kembalilah di waktu yang tepat, saat
saya bisa meladenimu,” katanya.
Tulisan Gilbert menyadarkan saya bahwa
proses menulis jelas dipengaruhi oleh banyak faktor. Selain disiplin, juga
banyak dipengaruhi oleh kerja-kerja kreativitas. Seorang penulis harus menangkap
gagasan-gagasan dan ilham di sekelilingnya, kemudian mengalirkannya dalam kata
demi kata. Ia tak boleh berhenti saat memulai. Ia harus menyelesaikan
pekerjaannya, sembari meyakini bahwa proses penulisan itu bekerja karena adanya
faktor di luar sana.
Saya teringat seorang guru di masa kuliah.
Ia mengajarkan, saat membaca satu buku, bacakanlah doa untuk penulisnya, juga
berdoa kepada Yang Maha Membaca agar semua bacaan bisa tersingkap maknanya dan
mengendal di pikiran. Hanya dengan cara menghormati dan mengapresiasi
penulisnya, maka apa yang ditulis seseorang akan mengalir deras menjadi
pengetahuan kita. Saya sih memaknainya sebagai tanda untuk tetap fokus sehinga
pengetahuan lebih mudah terserap.
Atas keyakinan tentang kerja kepenulisan
yang dibantu oleh roh jenius, Gilbert tak lagi merasa ketakutan. Ia berpikir
untuk selalu menuntaskan setiap pekerjaannya. Baik dan buruk pekerjaannya tak
selalu disebabkan oleh dirinya. Ia punya apologi kalau penyebabnya adalah
kekuatan di luar sana, yang menggerakkan tangannya untuk menulis sesuatu. Ia
hanya menyelesaikan apa yang menjadi bagiannya, sisanya akan diserahkan pada
roh kreativitas. Ia percaya, setiap tulisan punya takdir masing-masing.
Kembali ke pertanyaan awal, bagaimana kiat
agar selalu kreatif dan produktif dalam hal menulis? Mengacu pada Gilbert,
jawabannya adalah lakukan saja. Menulislah dengan tanpa beban. Menulislah
sebagai aktivitas untuk melepaskan gagasan yang memasuki tubuhmu. Menulislah
dengan tujuan untuk mengabarkan keping-keping realitas. Menulislah sebagai
wadah untuk berbicara dan mencerahkan orang lain. Menulislah dengan harapan
agar orang lain tercerahkan. Soal tercapai atau tidak, itu bukan urusanmu. Biarkan
roh jenius dan takdir yang bekerja.
Namun selagi ada yang tersenyum saat
bertemu denganmu lalu mendiskusikan tulisanmu yang menyentuh hatinya, setapak
demi setapak kamu telah mencapai tujuanmu.
Bogor, 14 Agustus 2017
BACA JUGA:
0 komentar:
Posting Komentar