Rapuhnya Generasi Strawberry




DARI kampung halaman, saya mendengar kisah yang cukup menyedihkan. Tetangga sebelah rumah, seorang ibu yang memiliki beberapa anak, dinyatakan hilang selama beberapa waktu. Ternyata dia ditemukan tewas di kampung sebelah. Jasadnya dibuang di tepi hutan. Tak butuh waktu lama, polisi segera menemukan pelakunya yakni seorang anak kos yang disuruh oleh kakak ibu itu sendiri. Hah?

Saya mengenal mereka, meskipun tidak terlalu akrab. Saya sibuk mencari-cari tahu apakah gerangan motif yang menyebabkan peristiwa pembunuhan itu terjadi. Saya mendapat banyak cerita tentang perebutan warisan, tentang kemiskinan si kakak dan kemewahan si adik yang hendak mengakuisisi semua warisan.

Si kakak pernah datang meminta bagian di rumah orang tuanya, yang dikuasai si adik, namun dirinya justru dihardik keluar. Tubuhnya dilempar bagai sampah disertai serapah yang meluncur bak mercon disulut api. Dalam kemiskinan dan kesusahan hidup, si kakak nekad meminta seseorang menghabisi adiknya dengan imbalan uang 20 juta rupiah, yang akan dibayarkan kalau harta warisan telah di tangan. Misi itu sukses dilakukan.

Sayang, mereka tak pandai menutupi semua jejak. Dengan mudahnya polisi meringkus pelaku, kemudian menggelandang si kakak. Sebelum dijebloskan, si kakak mengakui semua perbuatannya. “Bagi saya, kehidupan di dalam dan di luar penjara sama susahnya,” katanya.

Saya paham bahwa dalam situasi yang serba tertekan, orang bisa saja nekad dan melakukan segala cara. Di tengah rasa lapar, malu, dan tekanan ekonomi, orang bisa melakukan apapun untuk membalikkan situasi. Tapi tetap saja ada pertanyaan, mengapa harus sampai pada titik segelap mata itu?

Hal pertama yang saya pikirkan adalah mendiang ayah dan ibunya. Sewaktu saya masih bocah, beberapa kali saya melihat ayah dan ibu tetangga itu. Mereka adalah tipikal pedagang sukses yang punya banyak harta. Rumah besar mereka di kampung kami hanya secuil dari harta yang dimiliki pasangan itu. Sewaktu kecil, saya melihat mereka hidup mewah dan berkecukupan. Para tetangga termasuk saya, menjadi saksi kemakmuran ekonomi keluarga itu.

Rupanya zaman punya skenario lain. Peristiwa pembunuhan itu membuat saya terhenyak beberapa saat. Saya mencari jawabannya dalam ingatan yang serba terbatas. Mengapa kakak dan adik itu miskin sampai harus ada yang mati demi warisan? Ke mana semua kemewahan yang dirasakan keduanya saat masih kecil? Mengapa mereka tak memanfaatkan kekayaan orang tuanya untuk sekolah setinggi mungkin atau berdagang semakmur-makmurnya dan jauh mengalahkan orangtuanya?

***

HARI ini saya membaca artikel The New York Times mengenai fenomena Strawberry Generation. Istilah ini menggambarkan generasi Taiwan yang lahir tahun 1980-an, pada masa pasca-perang, memiliki orang tua mapan dan kaya, serta kehidupan yang serba menyenangkan. Generasi ini amat dimanjakan orang tuanya yang dahulu miskin. Orang tua tak ingin masa kelam mereka yang berada dalam ekonomi sulit karena peperangan menimpa anak mereka. Orang tua ini lalu melimpahi anaknya dengan semua fasilitas.

Generasi Strawberry digambarkan sebagai: “grew up in an environment without war and political persecution, with less poverty and easy access to information. This generation feels free to abandon tradition and takes education and freedom for granted.” Tumbuh dalam lingkungan tanpa perang dan penahanan politik, tidak miskin, dan akses pada informasi. Generasi ini bebas untuk abai pada tradisi, berpendidikan, dan berkehendak bebas.


Generasi Strawberry digambarkan serupa buah strawberry, yang mudah koyak hanya karena sedikit benturan. Generasi ini digambarkan nampak mewah, ranum, indah, akan tetapi tidak siap menghadapi benturan. Orang tuanya memberinya semua fasilitas dan kemewahan namun lupa menanamkan sikap kemandirian, daya tahan, serta karakter beradaptasi di segala sesuatu. 

Ternyata, keberlimpahan fasilitas bisa menjadi sesuatu yang negatif. Seorang anak jadi serba manja dan kehilangan daya juang serta semangat bertarung menghadapi situasi yang serba sulit. Saat dihadapkan dengan tantangan, seorang anak dari Generasi Strawberry ini gampang menyerah dan rapuh, sebagaimana strawberry.

Pelajaran yang bisa dipetik di sini adalah segala tantangan, ketidaknyamanan, dan kesulitan ekonomi adalah bagian dari lahan gembur yang menyuburkan karakter seorang petarung. Ketika melimpahi anak dengan semua fasilitas, anak akan kehilangan daya juang serta daya survival, sesuatu yang dahulu dimiliki orangtuanya dan bisa membawanya pada kemakmuran. 

Ternyata, orang tua sering tidak menyadari bahwa sikap over-protective dan pemberian semua fasilitas tidak selalu bagus buat anak. Kelak, anak itu kehilangan passion dan motivasi kuat untuk menggapai keinginannya.

Kita bisa lihat fenomena Generasi Strawberry di sekitar kita. Saya bertemu banyak orang tua yang berpikir ketika menyekolahkan anaknya di tempat paling mewah, maka dianggapnya satu prestasi. Sekolah malah tak selalu bisa jadi jaminan kesuksesan seorang anak. 

Sekolah mahal menyediakan banyak hal, tapi tak bisa mengajarkan daya tahan menghadapi kesulitan serta bagaimana menumbuhkan tekad kuat untuk menggapai mimpi. Hanya dalam keterbatasan, situasi terjepit, dan tantangan seorang anak akan punya semangat baja untuk mengubah keadaannya menjadi lebih baik.

***

SAYA merenungi Generasi Strawberry ini saat mendengar kisah tentang tetangga sebelah rumah. Boleh jadi, orang tuanya terlampau memanjakan anaknya dengan penuh fasilitas dan lupa mengajarkan mereka langkah demi langkah untuk menjadi pribadi yang kuat. 

Boleh jadi, orang tuanya hanya sibuk mengejar kemakmuran, sampai-sampai lupa menata kepingan jiwa anaknya agar kelak jadi figur yang mandirim tanpa harus berebut warisan orang tuanya di masa depan.

Boleh jadi, dalam situasi yang serba berlimpah, anak-anak itu terlena dengan fasilitas orang tuanya sampai-sampai lupa untuk menata ulang semua ritme napasnya untuk menghadapi persaingan yang kian ketat. Fasilitas mewah akan membuat anak itu seindah dan secantik strawberry, namun rapuh dan mudah koyak karena ketiadaan tantangan dan motivasi.

Entahlah. Saya hanya bisa menduga-duga. Saya hanya melihat dari kejauhan, tanpa tahu apa yang sebetulnya terjadi di keluarga yang dahulu sempat membuat saya di masa kecil sering ke situ dan berharap dikasih sebungkus Milo, minuman yang cukup mewah di masa itu. Kini, saya hanya bisa sedih mendengar apa yang terjadi di sana.



Hari ini, Ara anak saya yang tertua, sedang berulang tahun. Perlahan saya berrefleksi apakah saya melimpahinya dengan fasilitas ataukah tidak. Tapi kalau melihat kehidupan kami yang biasa-biasa, sepertinya semuanya baik-baik saja. Setidaknya, kekhawatiran akan adanya Generasi Strawberry membuat saya punya alasan untuk tidak terlalu memanjakannya. Bukan karena tak mau, tapi karena tak mampu. Hehehe.

Selamat ulang tahun Ara.



Bogor, 2 Agustus 2017


BACA JUGA:




9 komentar:

Imron Fhatoni mengatakan...

Sekamat ulang tahun putri manis Ara. Saat renggang, berkunjunglah ke Sumbawa, om sediakan madu buatmu.

Simpet Soge mengatakan...

Tulisan Mas Yusran selalu menarik dan menginspirasi. Terasa sayang kalau dilewatkan

intanohana mengatakan...

Selamat ulang tahun adik Ara yang cantik,
Tumbuhlah dengan ranum dan sekuat baja ya dek :)

Salam sama bapak kamu ya..


Btw mas, ini juga diulas di buku outlier, mau dong ulas juga mas hehe

Salam,
Intan

Yusran Darmawan mengatakan...

makasih om. salam.

Yusran Darmawan mengatakan...

makasih om. mudah2an bisa tetap menjaga asa menulis.

Yusran Darmawan mengatakan...

iya sih. sy udah baca outlier. itu buku penting dari malcolm galdwell. mudah2an bisa mengulasnya.

gromyco mengatakan...

Menceritakan lebar dan mengerucut pada generasi bung yus berikutnya,alurnyo bgs bgt...

SUBEKTI TANGERANG mengatakan...

setuju pak...saya produk kemiskinan dan ketidakberdayaan

Onix Octarina mengatakan...

Satu tulisan bisa mengemas lebih dari 2 pelajaran hidup. NICE POSTING! terus berkarya, mas. Saya penggemar barumu yang sudah lama mengikuti blogmu tapi hanya diam saja hehe

Posting Komentar