Andi Mallarangeng di Perpustakaan Freedom


Dua buku yang ditulis Andi Mallarangeng selama di penjara

SEBUAH undangan terkirim melalui whatsapp. Isinya adalah undangan untuk menghadiri peresmian perpustakaan Freedom Institute di Wisma Bakrie, Selasa 15 Agustus 2017 silam. Tak jelas benar siapa yang mengirimkan undangan. Seorang kawan mengirim pesan kalau undangan itu pertama kali dikirimkan oleh Andi Alifian Mallarangeng.

Kawan itu bertemu Andi di perpustakaan yang letaknya berhadapan dengan Gedung KPK lama. Rupanya, Andi ikut mempersiapkan perpustakaan tersebut. Ia ikut menata meja, kursi, mengatur buku-buku, serta ikut menyiapkan perangkat wifi demi koneksi internet. Andi tak hendak menyerahkan pada pekerja. Ia ikut bekerja dan menata buku demi buku.

“Saya ikut menata meja kursi serta buku-buku. Juga memasang wifi. Itulah yang saya kerjakan dalam beberapa hari ini, ” kata Andi kepada kawan itu. Ia lega karena perpustakaan itu akan segera dibuka untuk umum. Orang-orang bakal kembali menekuni aksara demi aksara, mencari jawab dalam pengetahuan yang tersimpan sejak manusia memasuki era baca-tulis, menemukan pencerahan demi hidup yang lebih beradab.

Sejatinya, sebagai doktor jebolan Northern Illinois University, Andi adalah seorang pembaca dan penulis yang produktif. Habitatnya adalah dunia akademisi dan kebudayaan. Apa daya, ia tergoda untuk memasuki arena politik. Mungkin saja ia tergerak untuk membumikan banyak ide-ide dunia kampus ke arena praktis. Apa daya, ia berada dalam satu pusaran arus yang menyeretnya masuk ke lembah bahaya. Ia memang sempat menjadi menteri, tapi namanya tercemar karena dugaan korupsi. Ia pun menghuni penjara.

Saya menilai Andi sebagai salah satu akademisi yang cemerlang. Biarpun dipenjara, saya berharap dirinya tak lantas tenggelam begitu saja. Saya berharap penjara bisa seperti kawah candradimuka yang membasuh dirinya hingga menjadi sosok baru. Dia bukan lagi Andi yang dahulu fasih membahas politik, tapi Andi yang menemukan pencerahan melalui kontemplasi di sela tembok penjara.

Ia bisa menjadi Antonio Gramsci yang melahirkan buku Prisoner Notebook yang menjadi salah satu buku wajib para pengkaji politik. Atau bisa menjadi seperti Tan Malaka yang menulis Dari Penjara ke Penjara. Bisa pula meniru jejak Pramoedya Ananta Toer yang melahirkan karya-karya terbaiknya di penjara Pulau Buru.

Andi sepertinya meniti ke jalan itu. Bedanya, ia justru menulis renungan-renungan yang ringan dari dalam penjara. Saat persidangannya, ia pernah membagi-bagikan bukunya berjudul “INFERNO Neraka di Bumi, Betulkah? Kumpulan Kolom Kuningan tentang Masyarakat, Kekuasaan, dan Cinta.” Buku ini berisikan renungan dan kolom yang ditulis Andi selama di tahanan KPK. Ia menulis dengan menggunakan pulpen dan kertas, sebab lembaga anti korupsi itu tidak mengijinkan untuk memakai laptop dan ponsel. Buku lain yang dibuatnya adalah “Spekulasi KPK: Sebuah Eksepsi Andi Mallarangeng.” Kedua buku ini dibagikan kepada semua pengunjung sidang. Ia tak hendak mencari simpati. Ia hendak mendudukkan persoalan sejernih mungkin, dalam perspektif sebagai orang yang pernah duduk di pusaran kekuasaan.

sujud syukur saat dinyatakan bebas

Selama di tahanan, Andi juga menyampaikan obsesinya untuk menulis buku tentang permainan gaple. Katanya, buku tentang gaple belum pernah dibuat. Lebih banyak buku tentang catur. Ia memang kerap bermain gaple bersama sejumlah tahanan lain. Sepertinya, ia sering menang sampai-sampai cukup percaya diri untuk menyusun buku mengenai strategi permainan itu.

Sejak dia bebas, saya berharap dia tidak lantas menghilang begitu saja. Saya malah ingin dia tetap berkiprah di ranah politik demi menunjukkan apa yang keliru dan apa yang benar dari bekerjanya mesin kekuasaan. Pengalamannya sebagai menteri yang tersandera lalu mundur harusnya menjadi pelajaran berharga baginya untuk bisa lebih jernih dalam memahami setiap remah-remah kenyataan. Boleh jadi, ia realistis. Akan sulit bagi seorang yang pernah divonis bersalah dalam kasus korupsi untuk kembali ke panggung politik. Tak banyak narapidana yang sukses kembali ke panggung politik.

Kini, Andi kembali menekuni buku demi buku di Perpustakaan Freedom, yang dipimpin adiknya Rizal Mallarangeng. Saya berharap dirinya bisa mendialogkan kembali semua pengalamannya dengan berbagai teori-teori yang dipelajarinya di bangku akademis. Mungkin saja ada banyak celah dalam banyak kajian yang dipelajarinya selama ini. Di atas kertas, semuanya bisa diprediksi, dianalisis, serta dipelajari dengan ketelitian para ilmuwan menghadapi data. Tapi di lapangan realitas, ada banyak kenyataan yang justru terus membiak dan tak bisa dijejalkan dalam satu atau dua kunyahan teori.



Dahulu, saya beberapa kali mengunjungi Perpustakaan Freedom, yang merupakan tempat paling favorit bagi para mahasiswa program doktor luar negeri yang hendak datang meneliti. Selain koleksinya yang lengkap, perpustakaan ini juga menyediakan ruang kerja bagi para peneliti yang membutuhkan tempat untuk membaca, menulis, dan mengolah data.

Jika Andi memilih jadi pustakawan, ia memilih untuk merawat peradaban. Bekerja dengan buku-buku adalah bekerja untuk menjaga napas ilmu pengetahuan yang menghembus di seluruh rentang peradaban. Melalui buku, lembaran-lembaran yang mencatat perjalanan akal budi manusia dalam menafsirkan kenyataan di sekitarnya bisa dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi. Bekerja dengan buku adalah ikhtiar merawat semua pencapaian manusia dan menyelamatkannya dalam aksara demi aksara.

“Perpustakaan ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan politik. Ini murni bertujuan untuk mencerdaskan bangsa,” katanya seusai menitip salam kepada banyak sahabat. Saya berharap dirinya selalu betah menjadi pustakawan di situ. Saya berharap senyuman akan selalu tersungging di wajahnya yang dihiasi kumis tipis itu. Semoga senyuman itu akan menyambut semua orang yang memasuki perpustakaan itu.

Semoga.




0 komentar:

Posting Komentar