SETIAP kali membaca catatan tentang
pencarian ilmu pengetahuan, hasrat saya selalu meluap-luap. Saya merasakan
kerja keras, ikhtiar yang tak pernah mau dikalahkan kemalasan, serta
mimpi-mimpi sebagai cahaya terang yang memandu perjalanan. Melalui catatan itu,
saya tak sekadar berkaca tentang betapa banyaknya tantangan, yang segera
dikalahkan oleh semangat baja, tapi juga betapa banyaknya pelajaran hidup yang segera
bisa dipetik untuk memperkaya langkah demi langkah.
Hampir semua pencari pengetahuan merasakan
betapa banyaknya onak dan duri di perjalanan. Tapi mereka tetap bergerak ke
depan. Yang tetap menjaga ritme langkah mereka adalah harapan untuk menemukan
cahaya di akhir perjalanan. Harapan ini merasuk dalam semangat untuk terus
bergerak, sembari bergerak menjawab berbagai persoalan di sekitarnya. Memang,
tak semua akan menggapai akhir perjalanan yang diharapkan. Tapi perjalanan itu
sendiri telah memperkaya hidupnya dengan warna-warni pengalaman.
Di periode awal kemerdekaan Indonesia,
penyair Chairil Anwar mencatat, “Aku suka
dengan mereka yang muda. Aku suka dengan mereka yang masuk menemui malam.”
Baginya, kemudaan adalah kekuatan untuk menjebol banyak hal. Anak-anak muda
ditakdirkan untuk melakukan hal-hal hebat berpikir sampai batas yang paling
bisa dijangkau, mendiskusikan bangsa sampai pada titik paling revolusioner.
Melalui perjalanan pemikiran itu mereka belajar lalu mencari di mana letak
koordinat berpikirnya, sekaligus menetapkan satu posisi pijak.
Sayangnya, tak semua anak muda menyadari
kemudaannya. Banyak di antara mereka yang justru ‘berkhianat” pada kemudaannya.
Banyak yang terjebak dengan rutinitas lalu mengejar hal-hal simbolik, berusaha
untuk hidup yang makmur, mengikuti arus dinamika sosial yang menghamba pada
materialisme. Hidup seolah perlombaan untuk menjadi yang terdepan, terhebat,
terbanyak mengumpulkan pundi-pundi. Mereka yang di jalur ini adalah mereka yang
mainstream, menyerahkan diri pada arus dominan. Mereka yang hidup serupa
sinetron.
Namun selalu saja ada anak-anak muda yang
menantang arus. Selalu saja ada kekuatan-kekuatan yang mendesak dalam diri
untuk lepas dan menelusuri titik paling jauh yang bisa digapai. Anak-anak muda
ini tak hendak menyerah pada tabiat masyarakat. Mereka mengalir mengikuti panggilan-panggilan
lirih dalam batinnya yang menyuruhnya untuk melihat dunia. Mereka lalu
dipertemukan semangat kuat tentang masa depan yang lebih ramah kepada siapa
saja. Demi tujuan itu, mereka menceburkan diri dalam danau pembelajaran agar
kelak bisa menepi dan membawa air pencerahan itu ke banyak orang.
Mereka menantang arus. Ini bukan lagi era
di mana anak muda hanya bisa belajar ke kampus, lalu belajar, dan kembali ke
rumah. Ini juga bukan eranya duduk di rumah dan mengetahui sesuatu hanya melalui
browsing atau bertanya ke Google. Ini
adalah eranya berpetualang, menyatu dengan semesta, dan menemukan berbagai
jawaban. Anak-anak muda tak hanya belajar, tapi juga menyaksikan alam,
menelusuri setiap helai daun kehidupan, merasakan bagaimana kehidupan menjalar
melalui kulit pohon hingga cabang, reranting, lalu dedaunan.
Pada anak-anak muda ini kita menemukan
semangat dan kekuatan bangsa kita.
***
Di hadapan saya terletak naskah buku
berjudul Pijar Hingga Terang menyajikan
kepingan-kepingan pembelajaran yang akan selalu abadi. Buku ini bukanlah jenis
buku yang sekali terbit, lalu dilupakan begitu saja. Buku ini akan selalu abadi
dan menjadi saksi dari pergulatan anak-anak muda yang hendak menemukan
dunianya. Kekuatannya terletak pada spirit kaum muda yang hendak memecahkan
persoalan bangsanya, sembari mencari satu ikhtiar atau jalan keluar melalui
pendidikan. Buku ini menyajikan mimpi yang serupa bintang di langit, namun juga
menyimpan kearifan yang serupa intan di dasar samudera. Bahwa impian memang
harus dikerek tinggi-tinggi, hanya saja setiap orang harus menyadarinya bahwa
kakinya masih memijak ke bumi.
Dengan memakai metafor pijar, buku ini
hendak meniatkan perjalanan dan pengetahuan serupa pijar cahaya yang menerangi.
Kalimat “Pija Hingga Terang” ini mengisyaratkan satu proses yang selalu
bergeral. Pengetahuan bermula setitik, setelah itu membesar, hingga akhirnya
menerangi dunia. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang diam, melainkan sesuatu yang
harus dicari, harus ditemukan, harus dipetik, harus dibagikan kepada pihak lain
agar pengetahuan itu terus berpijar dan terus menerangi.
Mereka yang menulis di buku ini
dipersatukan oleh semangat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Mereka bukanlah tipe
anak HMI yang mudah anarkis dan tersulut emosinya, lalu menggedor kekuasaan
dengan ketapel kecilnya. Mereka yang menulis di sini adalah mereka yang setia
pada jalan pedang pengetahuan. Mereka meneropong bangsa dari berbagai titik
yang tidak biasa. Penjelajahan mereka adalah upaya untuk keluar dari kekusutan
persoalan bangsa. Mereka tetap menggedor kuasa, tapi dengan cara memahami
realitas dengan jernih. Tulisan adalah cahaya terang bagi mereka untuk
mengatasi kegelapan pengetahuan.
Makanya, setiap lembar dalam buku ini
memberikan banyak pelajaran. Saya tak henti bercermin pada anak muda yang
menulis di sini. Saya tak saja menemukan alur pikir yang logis dalam menemukan
jawab atas banyak kata tanya, saya merasakan guratan emosi dan hasrat kuat
untuk bangsa ini. Beberapa tulisan di buku ini menyediakan spasi untuk sejenak
merenung. Bahwa bangsa ini telah jauh berjalan, akan tetapi masih banyak hal
yang harus segera diatasi dan diselesaikan.
Mereka yang menulis di buku ini bukanlah
mereka yang merasakan bagaimana tarikan-tarikan politik kepentingan dan hasrat
berkuasa sedang bekerja. Bukan pula anak muda yang menghamba pada
kekuatan-kekuatan politik yang sesekali melacurkan semangat mudanya dengan
segepok materi. Di sini, saya menemukan ‘jiwa murni’ yang semata-mata ingin
melihat bangsa ini lebih baik. Di sinilah saya menemukan orisinalitas buku ini
yang membedakannya dengan buku lain. Orisinalitas itu terletak pada kekhasan
cara pandang yang belum dicemari oleh tarikan politik dan faksi atau kelompok.
Orisinalitas itu ada pada ketulusan menilai sejauh mana coreng-moreng di wajah
bangsa demi menghapusnya dengan segenap energi terbaik.
Beberapa tulisan di buku ini sesaat
membuat saya merenung. Dahulu saya berpikir bahwa cahaya terang pengetahuan
terletak di ujung. Dahulu saya beranggapan bahwa yang terpenting dari setiap
kisah penemuan cahaya adalah episode paling akhir, di mana orang-orang menebarkan
benih cahaya itu ke mana-mana. Belakangan saya merasa pandangan itu keliru.
Yang tak kalah penting adalah memulai perjalanan serta ikhtiar menemukan
cahaya. Perjalanan itu sendiri menyimpan banyak cahaya kisah yang selalu
menarik untuk dikisahkan. Perjalanan itu sendiri menyimpan banyak cahaya yang
pantas untuk ditebarkan ke mana-mana.
Anak muda di buku ini disebut penulis
Paolo Coelho sebagai ksatria cahaya, the warrior of light. Coelho sendiri punya
satu rumusan sederhana tentang para ksatria cahaya. Seorang ksatria tidak
menghabiskan hari-harinya untuk memainkan peran yang dipilihkan orang lain. Dia
mencari, menemukan jalan, lalu membagikan pengetahuan itu ke banyak orang. Kata
Coelho, “A warrior does not spend his
days trying to play the role that others have chosen for him.”
Selamat membaca!
CATATAN:
Tulisan ini dibuat sebagai pengantar atas buku
Pijar Hingga Terang: Kumpulan Gagasan Kebangsaan Awardee YIB 2016. Sebuah
kehormatan diminta untuk menulis pengantar.
0 komentar:
Posting Komentar