satu sudut di kuil Wat Chalong |
SELALU saja ada magnit berbeda atas benda
atau sesuatu yang terkait dengan seorang manusia suci. Di Kuil Wat Chalong yang
terletak di Phuket, Thailand, aku tergetar ketika menyaksikan sekeping tulang
Sidharta Gautama. Aku juga terkenang dengan seorang perempuan yang
menunjukkanku makna empat perjalanan Budha.
***
BUNYI petasan bersahut-sahutan ketika aku
memasuki kawasan Wat Chalong. Bagi umat Budha, bunyi petasan memiliki makna
spiritual tentang doa-doa yang dilepaskan ke langit. Bunyi petasan itu
terdengar dari sebuah tungku di dekat kuil utama, tempat umat Budha berdoa di
hadapan patung tiga biksu. Dari 29 wihara, atau sering disebut wat, di Phuket,
Wat Chalong adalah yang terbesar.
Wat Chalong ini terdiri atas tiga bangunan
utama. Bangunan pertama adalah kuil tempat berdoa, bangunan kedua adalah kuil
berlantai tiga yang menyimpan banyak patung Budha serta tulang sang Budha,
sedang kuil ketiga berfungsi sebagai tempat penahbisan para biksu. Ada lagi
satu bangunan kecil yang serupa aula bagi pengunjung kuil.
Hampir semua bangunan berwarna keemasan
dengan ukir-ukiran yang unik dan khas Thailand. Selain warna emas, warna merah
juga nampak dominan. Di kuil itu, banyak biksu berdatangan untuk berdoa. Banyak
pula turis yang datang untuk beribadah. Namun, masih lebih banyak turis yang
datang untuk melihat-lihat sekeliling, kemudian memotret.
Aku lalu memasuki kuil utama. Di tengah
bunyi petasan yang keras terdengar, aku mencium bau hio atau dupa yang khas. Sejumlah
orang datang berdoa. Mereka terlebih dahulu mengambil hio di depan pintu,
membakarnya, lalu masuk ke dalam untuk berdoa. Beberapa wanita muda bermata
sipit kulihat memasukkan sejumlah kayu ke dalam wada kecil, lalu menggoyangnya
hingga terlepas. Setelah itu, mereka lalu mendekati patung biksu yang seolah
sedang memberikan pemberkatan.
tampak luar |
atap gedung |
berpose di dekat Budha tidur |
Di tengah suasana sakral itu, aku melihat
seorang perempuan berambut pirang yang memotret semua kejadian. Rambutnya
dikepang satu. Ia memakai baju tak berlengan, serta celana pendek. Ia nampak seksi.
Ia juga membawa kamera jenis Nikon, sama dengan yang kutenteng. Ketika
kudekati, ia tersenyum lalu mengajakku keluar ruangan. Ia lalu bercerita
tentang perjalanannya menelusuri pantai-pantai di Phuket hingga akhirnya
menemukan kedamaian ketika berada di Wat Chalong.
“Aku
bukan seorang pemeluk Budha. Tapi entah kenapa, setiap kali aku berada di
tempat ini aku menemukan kedamaian,” katanya. Ia menyebut dirinya berasal dari satu negara di Eropa. Ia datang
ke Phuket seorang diri demi mencari kedamaian. Ia mengingatkanku pada penulis
Elizabeth Gilbert yang melakukan perjalanan ke Italia, India, dan Indonesia
demi mencari kedamaian hati.
Kami berbincang akrab. Ia lalu mengajakku
masuk ke gedung kuil berlantai tiga. Kuperhatikan sekeliling. Ternyata ada
aturan tak tertulis agar pengunjung harus sopan di ruangan itu. Meski panas
terik, warga asing dilarang unuk memakai pakaian yang terlampau seksi. Semua
orang mesti respek dan menghormati makna wihara sebagai oase spiritualitas.
Tanpa kuminta, ia menjelaskan sejarah Wat
Chalong yang penuh misteri. Tahun pasti pendirian kuil ini tak diketahui
persis. Sejarawan lokal meyakini bahwa konstruksi dasarnya dibangun pada masa
Raja Rama II (1809-1842). Pada tahun 1876, di bawah Raja Rama V, kuil ini
menjadi tempat pengungsian wara lokal akibat kerusuhan. Biksu Luang Pho Chaem
memberikan kekuatan bagi warga yang ketakutan, sehingga patungnya lalu
diabadikan warga setempat, bersamaan dengan pendirian bangunan utama kuil.
Perempuan seksi itu lalu bercerita tentang
bangunan berlantai tiga yang kami masuki. Katanya, bangunan itu adalah pagoda yang
berukuran 61,4 meter. Bangunan itu menyimpan Phra Borom Sareerikatat atau
sepotong tulang Budha yang dibawa dari Sri Lanka pada tahun 1999. Potongan
tulang itu dibawa dan disimpan di dalam pagoda pada tahun 2002 dalam upacara
kehormatan yang dipimpin oleh Putra Mahkota Maha Vajiralongkorn.
Tulang itu disimpan dalam kotak kaca yang dikelilingi
oleh patung-patung Budha berwarna keemasan. Ia terletak di lantai tiga Wat
Chalong Chedi atau kuil Budha terbesar di Phuket. Dalam bangunan yang penuh
dengan hiasan tersebut, kisah hidup Sang Budha digambarkan secara singkat.
Tulang Sang Budha itu membuatku tergetar.
Aku langsung merasakan sebuah aura seorang manusia yang mendedikasikan hidupnya
untuk kedamaian dan keterangan batin. Aku teringat tulisan Annemarie Schimmel
yang menyebutkan adanya makna yang hadir pada benda-benda yang pernah disentuh
atau bagian dari seorang besar. Kata Schimmel, di balik setiap benda material,
selalu ada aspek mistik yang merupakan endapan energi dari seorang manusia
besar.
hio yang dipakai seusai berdoa |
patung biksu yang berjejer |
Perempuan itu lalu menunjukkanku dinding
yang dipenuhi lukisan kisah hidup sang Budha. Ia lalu menjelaskan satu per satu
makna setiap gambar. Pernah aku membaca delapan jilid komik Buddha yang
digambar oleh dewa komik Jepang Osamu Tezuka. Dalam jilid kedua, ada kisah yang
amat menyentuh hati tentang empat perjumpaan. Kisahnya bermula ketika Pangeran
Sidharta keluar dari istananya. Ia kemudian bertemu dengan empat kenyataan yang
membuat hatinya teriris-iris.
Mulanya, Sidharta menyaksikan orang tua
yang jalannya tertatih-tatih. Selanjutnya, ia melihat perempuan yang dilanda
sakit parah, setelah itu ia melihat tulang belulang. Terakhir ia bertemu
pertapa. Empat perjumpaan itu membuat Sidharta merenungi tentang hakikat hidup.
Bahwa manusia adalah mahluk yang amat rapuh, bisa terserang penyakit, pasti
mengalami ketuaan, hingga akhirnya menjadi tulang-belulang. Lantas, jika
kehidupan sedemikian fana, mengapa pula manusia harus meletakkan kehidupan
sebagai segala-galanya?
Sidharta lalu memilih hidup sebagai
pertapa yang melepaskan segala nikmat dunia. Ia menghadirkan cahaya terang yang
menyelusup ke hati banyak orang, bahkan di zaman yang jauh ketika dirinya telah
wafat. Ia mewariskan sesuatu yang tidak kecil, sebab menjadi suluh terang bagi
banyak orang yang hendak menemukan kedamaian. Sidharta adalah seorang yang
meninggalkan kemewahan dunia. Ia menyebut kemewahan serta rasa kemelekatan atas
dunia sebagai penjara-penjara yang menghalang manusia untuk menemukan
kedamaian.
Aku bukan seorang penganut Budha. Tapi aku
bisa merasakan bahwa cinta yang dahsyat dari banyak orang tersebut pastilah
memiliki argumentasi sendiri. Di balik
kesederhanaan Budha terselip satu kekuatan besar tentang dunia yang lebih baik.
Jika saja manusia bisa memasangi kekang pada hawa nafsunya, maka dunia masa
depan akan menjadi dunia yang amat indah, sebab semua orang akan saling respek,
saling menghargai persaudaraan, dan menemukan pertautan jiwa.
Wat Chalong yang permai |
Sayang, seusai batinku basah oleh gambaran
tentang Budha, aku kehilangan jejak perempuan yang menemaniku itu. Mungkin ia
lebih dulu turun ke lantai dasar tanpa sempat memberitahuku. Bahkan ketika
kucari ke lantai dasar, bayangan perempuan itu telah lenyap.
Keesokan harinya, saat di bandara dan
hendak memasuki pesawat yang akan membawaku ke tanah air, aku melihat sosok itu
di kejauhan. Duh, aku sudah depan
pintu pesawat. Mustahil untuk turun dan sekadar menanyakan namanya.
0 komentar:
Posting Komentar