Tafsir Gladwell atas Daud versus Goliat




JIKA sedang tak ada pekerjaan, saya suka mengamati presentasi dari sejumlah pesohor di Ted Talk melalui kanal Youtube. Ted Talk memilih orang-orang hebat di bidangnya untuk menyebarkan inspirasi. Saya cukup menyukai beberapa presentasi yang membahas topik-topik mengejutkan serta penuh inspirasi.

Semalam, saya menonton presentasi dari Malcolm Gladwell, seorang penulis tema-tema sains, manajemen, dan budaya di The New Yorker. Saya mengoleksi beberapa buku Gladwell. Di antaranya adalah The Tipping Point dan Outlier. Dalam presentasi itu, Gladwell menafsirkan ulang kisah Daud versus Goliat. 

Kisah tentang Daud versus Goliat ini ada dalam agama-agama besar yakni Islam, Kristen ataupun Yahudi. Kisah ini sering dibahas demi menggambarkan kemenangan yang tak diduga, dari seseorang yang kecil dan dianggap tak berdaya melawan raksasa petarung yang diprediksi akan menang. Gladwell punya interpretasi lain. Justru anak kecil itu lebih kuat, sedang raksasa itulah titik paling lemah. Hah?

Gladwell meyakini kisah ini memang pernah terjadi di Israel pada masa 3.000 tahun silam. Lokasinya di Sefela, dataran tinggi Israel. Pada masa silam, wilayah yang kini terdiri atas Israel dan Palestina terdiri atas dua wilayah pemukiman yakni pantai dan pegunungan. Kawasan pantai di sepanjang Mediterania, kini menjadi lokasi kota Tel Aviv, dan pegunungan yang menjadi tempat kota-kota seperti Yerussalem, Hebron, Betlehem, dan Hebron.

Sefela menjadi jalur strategis bagi tentara musuh dari pantai yang naik ke pegunungan dan mengancam. Itulah yang terjadi saat musuh Israel naik ke pegunungan dan mengancam penduduk kawasan itu. Musuh itu datang dari Kreta, wilayah Yunani. Israel yang dipimpin Raja Saul datang dengan bala tentara untuk mempertahankan diri. Keduanya berada di pegunungan terpisah, yang dibatasi Lembah Tarbantin. Kedua pasukan itu hanya saling pandang, sebab untuk menyerang lawan, harus turun lembah, lalu naik gunung. Itu saja cukup menguras tenaga, sehingga mudah dikalahkan lawan. Mudah pula lawan menjatuhkan batu besar yang akan membunuh pasukan satunya.

Dalam situasi itu, pasukan musuh mengirim salah satu prajurit terkuat untuk menantang lawan. Di masa itu, cara ini dilakukan untuk segera mengakhiri pertempuran. Cukup dua orang berkelahi sampai mati. Pemenangnya akan menjadi pemenang peperangan. Prajurit terkuat yang dikirim lawan Israel itu adalah seseorang bertubuh raksasa, berbaju zirah, membawa perisai dan tombak. Kekuatannya seperti legenda. Namanya Goliat.

Melihat lawan, prajurit Israel mulai ketakutan. Raja Saul lalu meminta siapapun di antara pasukannya yang berani agar tampil ke depan. Namun tak ada yang maju. Hingga akhirnya, datang seorang anak kecil yang berpakaian gembala. Anak itu berniat untuk melawan Goliat. Raja Saul memandang remeh anak itu, dan memintanya mundur. Tapi anak itu tetap ingin maju. Anak itu bernama Daud.

Hampir semua kitab membahas peristiwa ini dengan memosisikan Daud, dalam Alkitab disebut David, sebagai sosok lemah, anak kecil, tak berdaya. Sementara Goliat, dalam Islam disapa Jaluth, digambarkan seorang lelaki bertubuh raksasa, kuat berkelahi, petarung yang membuat takut semua orang. Kita semua tahu siapa pemenang duel yang digambarkan tak seimbang itu.

Marilah kita melihat ulang kisah ini berdasarkan Injil dan Taurat, sebagaimana dikatakan Gladwell.

Melihat gembala itu, Saul mengatakan, "Kau tak bisa melawannya. Tidak mungkin. Kau masih kecil. Ini prajurit terkuat." Namun, gembala itu bersikukuh. Ia berkilah, "Tidak, Paduka tidak mengerti, aku sudah mempertahankan hewan ternak dari serangan singa dan serigala selama bertahun-tahun. Aku bisa."

Saul tak punya pilihan. Tak ada orang lain yang maju. Maka ia menyerah, "Baiklah." Kemudian ia berkata, "Tapi kau harus memakai zirah ini. Kau tak bisa pergi tanpa ini." Maka Saul memberikan zirahnya pada gembala itu, dan si gembala menolak. Ia menampik, "Aku tak bisa memakai ini." 

Dalam Injil, sebagaimana dikatakan Gladwell, tertulis, "Aku tak bisa memakai ini karena aku belum mencobanya." Ini berarti, "Aku belum pernah memakai zirah." Gembala itu malah membungkuk ke tanah dan memungut lima batu lalu menyimpannya dalam kantung dan mulai berjalan menuruni sisi gunung untuk mendatangi raksasa itu. 

Sang raksasa melihat sosok ini mendekat, dan berteriak, "Datanglah padaku agar aku bisa memberi dagingmu pada burung-burung di udara dan hewan-hewan di padang." Ia melontarkan cemooh seperti ini kepada orang yang datang untuk menantangnya. Gembala itu datang semakin dekat, lalu raksasa itu melihat gembala membawa tongkat. Hanya itu yang dia bawa. Bukan senjata, hanya tongkat gembala, dan raksasa berkata -- merasa terhina -- "Apa aku ini anjing sehingga kau datang padaku dengan tongkat-tongkat?"

Anak gembala itu mengeluarkan batu dari sakunya, memasangnya di ketapel, memutar dan kemudian melontarkannya. Batu itu mendarat tepat di antara kedua mata raksasa -- tepat di tempat paling rentan-- dan raksasa terjatuh. Entah mati atau tak sadarkan diri,  anak gembala mendekat dan mengambil pedangnya kemudian memenggal kepalanya. Musuh Israel berbalik dan lari bergitu saja.

Dalam kisah ini, Daud dianggap sebagai anak bawang, anak kemarin sore. Bahkan, ungkapan "Seperti Daud melawan Goliat," masuk dalam bahasa kita sebagai metafora untuk kemenangan yang meragukan oleh pihak yang lemah atas sosok yang jauh lebih kuat. Mengapa Daud diangap anak bawang? Ya, kita menganggapnya anak bawang karena dia seorang bocah, anak kecil, dan Goliat adalah raksasa besar yang kuat. Kita juga menganggap Daud anak kemarin sore, karena Goliat adalah prajurit berpengalaman, dan Daud hanya gembala.

Namun, yang paling penting, kita menganggapnya anak bawang karena dia hanya punya batu dan ketapel, sementara Goliat dilengkapi dengan semua senjata modern, baju zirah yang mengkilat, pedang, lembing, dan tombak.

Interpretasi Gladwell

Gladwell mulai menginterpretasi kisah ini. Frase "Daud hanya punya ketapel," adalah kesalahan pertama yang kita buat dalam memahami kisah ini. Dalam perang kuno, ada tiga jenis prajurit. Ada kavaleri, pasukan berkuda, dan berkereta. Ada infanteri berat, pasukan jalan kaki,  serdadu bersenjata pedang dan tameng serta semacam zirah. Kemudian ada artileri yakni para pemanah. Yang lebih penting lagi, pelontar atau pembawa ketapel. Pelontar adalah orang yang punya kantung kulit yang dipasangi dua tali panjang. Mereka menaruh proyektil, entah batu atau bola timbal, di dalam kantung itu, lalu memutarnya, kemudian melontarkannya ke depan. Itulah yang dimiliki Daud.

Bahkan, pelontar adalah senjata yang luar biasa ampuh. Ketika Daud menggulirnya seperti ini, ia memutar pelontar mungkin sekitar 6 atau 7 putaran per detik, dan itu berarti saat dilepaskan, batu akan melaju ke depan sangat cepat, berkisar 35 meter per detik. Jauh lebih cepat daripada bola bisbol yang dilempar pengumpan bisbol terbaik. 

Selain itu, bebatuan di Lembah Tarbantin bukan batu biasa, melainkan barium sulfat, dengan kepadatan dua kali batu biasa. Jika kita melakukan perhitungan balistik, pada daya penetrasi batu yang terlontar dari pelontar Daud, kurang lebih sama dengan daya penetrasi dari pistol kaliber 45.  Senjata yang mematikan. Kata Gladwell, catatan sejarah menunjukkan bahwa pelontar yang berpengalaman mampu membidik dan melukai bahkan membunuh sasaran pada jarak hingga 180 meter. 

Dari sejarah abad pertengahan, kita tahu bahwa pelontar mampu membidik burung yang terbang. Mereka luar biasa akurat. Ketika Daud berjalan mendekat -- ia bukan berjarak 180 meter dari Goliat, ia cukup dekat dengan Goliat -- saat ia segaris dan melontar batu pada Goliat, ia memang berniat dan berharap dapat mengenai Goliat pada titik yang paling rentan di antara kedua matanya. Jika Anda ingat lagi sejarah perang kuno, Anda akan menemukan bahwa seringkali pelontar adalah faktor penentu melawan infanteri dalam berbagai jenis pertempuran.


Siapakah Goliat? Ia adalah anggota infanteri berat. Ekspektasinya ketika menantang bangsa Israel untuk duel adalah ia akan melawan anggota infanteri berat juga. Ia berkata, "Datanglah padaku agar aku bisa memberi dagingmu pada burung di udara dan hewan di padang." Frasa kuncinya adalah "Datanglah padaku." Datanglah padaku karena kita akan bertarung, satu lawan satu, seperti ini. 

Saul berekspektasi sama. Daud berkata, "Aku ingin melawan Goliat," dan Saul memberikan zirahnya karena Saul berpikir, "Saat kau bilang 'melawan Goliat,' maksudnya 'bertarung satu lawan satu,' infanteri lawan infanteri."

Namun, Daud tidak memiliki ekspektasi apa pun. Ia tidak akan melawan Goliat seperti itu. Untuk apa? Ia seorang gembala. Sepanjang karirnya ia menggunakan pelontar untuk mempertahankan ternak dari serangan singa dan serigala. Di situlah letak kekuatannya. 

Ia adalah gembala yang berpengalaman dalam menggunakan senjata mematikan ini berhadapan dengan raksasa lamban ini yang dibebani zirah seberat puluhan kilogram. Senjata yang sangat berat yang hanya berguna dalam pertempuran jarak dekat. Goliat adalah mangsa empuk. Ia tak punya kesempatan. Jadi, mengapa kita terus menganggap Daud anak bawang? Mengapa kita terus menganggap kemenangannya meragukan?

Bagian kedua inilah yang penting. Kita bukan saja salah memahami Daud dan senjata pilihannya. Namun, kita juga sangat keliru memahami Goliat. Goliat bukan seperti kesan yang ditampilkan. Ada segala macam petunjuk tentang ini dalam berbagai kitab, hal-hal yang cukup membingungkan saat diingat lagi dan tidak cocok dengan gambarannya sebagai prajurit terkuat. 

Pertama, Alkitab mengatakan bahwa Goliat dituntun seorang pengawal ke dasar lembah. Aneh, bukan? Prajurit terkuat yang menantang bangsa Israel untuk bertarung satu lawan satu. Mengapa ia dituntun oleh oleh seorang pemuda ke medan tempur? Kedua, Alkitab membuat catatan khusus mengenai betapa lambannya Goliat bergerak, hal aneh lain saat menggambarkan prajurit terkuat yang terkenal kala itu. 

Kemudian ada hal yang sangat aneh tentang berapa lama Goliat bereaksi saat melihat Daud. Jadi, Daud turun dari gunung, dan ia jelas tidak bersiap-siap untuk bertarung satu lawan satu. Tak disebutkan bahwa dia berkata, "Aku akan melawanmu seperti ini." Ia bahkan tidak membawa pedang. Mengapa Goliat tidak bereaksi terhadap hal itu? Seolah-olah ia tidak sadar apa yang akan terjadi hari itu. Lalu ada komentar aneh untuk Daud: "Apa aku ini anjing sehingga kau datang padaku dengan tongkat-tongkat?" Tongkat-tongkat? Daud hanya punya satu tongkat.

Ya, ternyata ada banyak spekulasi dalam komunitas medis selama bertahun-tahun tentang apakah ada sesuatu yang salah secara fundamental dengan Goliat, sebuah upaya untuk memahami segala anomali yang nyata. Banyak artikel ditulis. Artikel pertama pada tahun 1960 dalam Indiana Medical Journal, yang mengawali rantai spekulasi yang bermula dengan penjelasan untuk tinggi Goliat. 

Jadi, Goliat tiga kali lebih tinggi di atas semua rekannya pada masa itu, dan biasanya jika seseorang sangat jauh dari kelaziman, ada penjelasan untuk itu. Jadi, bentuk paling umum dari gigantisme adalah kondisi yang disebut akromegali, dan akromegali disebabkan tumor jinak pada kelenjar pituitari yang berakibat kelebihan produksi hormon pertumbuhan. Sepanjang sejarah, sebagian besar raksasa terkenal pernah menderita akromegali. Orang tertinggi sepanjang masa ialah pria bernama Robert Wadlow yang masih tumbuh saat meninggal pada umur 24 dan tingginya 272 cm. Ia menderita akromegali. 

Anda ingat pegulat André the Giant? Terkenal. Juga menderita akromegali. Abraham Lincoln pun diduga menderita akromegali. Siapa pun bertubuh tinggi di luar kelaziman, begitulah penjelasan pertama yang muncul. Akromegali memiliki sekumpulan efek samping sangat khasyang terkait dengannya, utamanya terkait dengan penglihatan. Tumor pada kelenjar pituitari, saat tumbuh, kerap mulai menekan syaraf visual dalam otak yang berakibat penderita akromegali mengalami penglihatan ganda atau rabun jauh yang parah.

Maka ketika orang-orang mulai berspekulasi tentang masalah yang mungkin dialami Goliat, mereka bilang, "Tunggu dulu, dia kelihatan dan terdengar seperti penderita akromegali." Hal itu juga akan menjelaskan begitu banyak keanehan tentang perilakunya hari itu. Mengapa ia bergerak begitu lamban dan harus diantar turun ke dasar lembah oleh seorang pengawal? Karena ia tak bisa berjalan sendiri. Mengapa dia begitu tidak sadar sehingga ia tak mengerti bahwa Daud tidak akan bertarung sampai saat paling terakhir? Karena Goliat tak bisa melihat Daud. Ketika ia berkata, "Datanglah padaku agar aku bisa memberi dagingmu pada burung-burung di langit dan hewan-hewan di padang." Frasa "Datanglah padaku" adalah petunjuk atas kerentanannya juga. Datanglah padaku, karena aku tak bisa melihatmu. Lalu ada pernyataan, "Apa aku ini anjing sehingga kau datang padaku dengan tongkat-tongkat?" Ia melihat dua tongkat padahal Daud hanya punya satu.

Jadi bangsa Israel di atas gunung melihat ke bawah dan mengira dia adalah musuh yang luar biasa tangguh. Mereka tidak mengerti bahwa sumber kekuatannya yang nyata adalah juga sumber kelemahannya yang terbesar. Di sinilah, kata Gladwell, ada pelajaran yang sangat penting bagi kita semua. Raksasa tidak sekuat dan setangguh penampilan mereka. Kadang-kadang anak gembala menyimpan pelontar di sakunya.

Banyak Pelajaran

KISAH Daud versus Goliat yang diinterpretasi Gladwell ini sering dikutip dalam berbagai training manajemen dan motivasi. Seorang yang nampak biasa-biasa, boleh jadi memiliki kekuatan yang tak terduga. Profesor Yohannes Surya menyimpuljan tiga pelajaran dari kisah ini.

Pertama, Daud tahu kekuatan yg dimilikinya (intelektual, skill dan spiritual). Ia berpengalaman dan mahir menggunakan senjata hebat yaitu pelontar batu yang mampu meluncurkan batu dengan kecepatan tinggi tapi sangat akurat seperti sebuah pistol.

Kedua, Daud tahu kekuatan musuh. Goliath tinggi besar, punya kekuatan hebat, sulit dikalahkan kalau bertarung jarak dekat. Jadi Daud memilih pertarungan jarak jauh. Sama seperti seorang berpistol akan menang kalau bertarung jarak jauh lawan pendekar hebat bersenjatakan pedang.

Ketiga, Daud  tahu suasana medan perang. Ia tahu pertarungan berlangsung di lembah dan suasana saat itu tidak ada angin kencang. Kalau saja angin sangat kencang, mungkin sulit bagi Daud menggunakan pelontar itu.

Kita pun bisa menggunakan kisah ini untuk menjelaskan banyak hal. Kesimpulan sederhana, seperti yang dikatakan ahli strategi perang Sun Tzu. “Kalau kita tahu kekuatan diri, tahu kekuatan musuh, tahu medan perang maka 1000 kali perang 1000 kali menang.” Inilah mantra yang banyak dipakai para CEO untuk membawa perusahaannya memenangkan persaingan.


Bogor, 27 Agustus 2017






1 komentar:

Maria Etha mengatakan...

Mas Yusran, ini persis dengan khotbah di gereja tadi pagi. Entah apakah pak pendeta pagi tadi baca buku yang sama dengan mas Yusran, atau beliau juga fans mas Yusran.

Posting Komentar