DI
sore hari, lelaki ini tiba-tiba saja menghubungi. Baru sampai dari Jayapura, Umar Werfete,
lelaki asal Kaimana, Papua, datang untuk satu urusan. Dengan senang hati saya
menemuinya. Di tahun 2010-2011, saya dan Umar (demikian ia disapa) adalah rekan
seperjuangan bersama puluhan sahabat lain yang hendak memperdalam bahasa
Inggris. Umar adalah sahabat yang selalu bisa menghangatkan suasana.
Bersamanya, kami selalu menemukan banyolan dan kisah-kisah lucu yang bisa
menjadi oase di tengah sumpeknya proses belajar.
Di
Papua, Umar punya dua nama. Selain nama Umar, kawan-kawannya yang Kristiani
memanggilnya Marthen. Dia tipe orang yang menentang arus. Di saat orang lain
sibuk belajar, ia justru memilih santai dan jalan-jalan. Dia tak mau
ikut-ikutan stres memikirkan tantangan yang dihadapi. Bersamanya, saya punya
banyak kegilaan saat nongkrong di seputaran Salemba hingga Monas.
Biarpun
santai dan cuek, pemikiran Umar selalu orisinil. Saya tak terkejut ketika
dirinya akhirnya belajar di bidang Cultural Studies di University of
Birmingham, Inggris. Dia pun bisa keliling Eropa dan lulus dengan nilai baik,
sesuatu yang ajaib mengingat dirinya yang cuek dan santai. Di balik sikap
santai itu, pemikirannya selalu cemerlang dan mengejutkan. Hingga akhirnya, dia
kembali ke tanah Papua untuk mengabdi di tanah kelahirannya.
Hari
ini saya dan dia bertemu, setelah sekian tahun berpisah. Dia bercerita banyak
hal, mulai dari perjalanannya ke Suku Asmat, keinginannya untuk menulis
etnografi Papua, serta beberapa topik yang keren-keren, misalnya bagaimana
persepsi warga Papua terhadap Kota Injil, radikalisme agama di sana, juga
tentang bagaimana anatomi gerakan orang-orang yang ingin Papua segera merdeka.
Ia bercerita tentang para profesor yang menawarkan diri untuk membimbingnya.
Terakhir, dia bercerita dirinya akan lanjut studi di Australia. Demi studi itu,
dia harus segera mengambil tes IELTS untuk melihat kemampuan berbahasa
Inggrisnya.
Saya
membayangkan, beberapa tahun mendatang, dia akan kembali ke Indonesia dengan
wajah berbeda. Barangkali ia akan menjadi ilmuwan dan peneliti hebat yang tekun
membaca kenyataan. Saya berharap dia akan menjadi jendela untuk tahu banyak hal
tentang tanah Papua yang permai, tanah yang disebut penyanyi Edo Kondologit
sebagai "kepingan surga yang jatuh ke bumi".
Pada
Umar, kita bisa banyak berharap tentang generasi baru Papua yang tercerahkan.
Namun, saya berharap ia tetap menjadi Umar seperti yang saya kenali. Umar yang
penuh kisah menghibur, dan selalu tahu cara membuat sahabatnya bahagia. Umar
yang pandai dan tidak sombong.
0 komentar:
Posting Komentar