Duel JOKOWI Versus PRABOWO di Media Sosial

ilustrasi

DAHULU, media sosial hanya dipandang sebelah mata. Kini, media sosial mulai diperhitungkan sebagai arena yang bisa melejitkan sekaligus menenggelamkan seseorang hanya dalam hitungan detik. Dengan pengguna media sosial hingga miliaran manusia di planet ini, kekuatannya tak bisa dipandang remeh lagi. Perlahan, media sosial mulai mengalahkan media konvensional dalam mempengaruhi orang-orang.

Di Indonesia, penggguna Facebook bertambah hingga 106 juta orang, sementara jumlah pemilih di ajang pemilu legislatif tahun 2014 adalah 185 juta orang. Para politisi dan pengambil kebijakan publik mulai memanfaatkannya untuk menjangkau audience. Mengapa media sosial harus menjadi arsenal utama dalam memenangkan pemilihan manapun? Bagaimana memenangkan pemilihan umum dengan cara memaksimalkan media sosial?

***

ANAK muda itu bernama Chris Hughes. Pada usia 23 tahun, ia memasuki dunia politik. Bukan sebagai salah satu kontestan. Bukan juga sebagai juru kampanye yang setiap saat mesti tampil ke panggung. Ia diminta seorang senator sebagai konsultan politik, yang mengkoordinir kampanye melalui media sosial. Ia yakin bahwa sang senator bisa menjadi orang besar yang akan mengendalikan Amerika Serikat. Senator asal Illinois, yang didampinginya itu, bernama Barrack Obama.

Pada musim dingin tahun 2007, Obama belumlah siapa-siapa. Lelaki berkulit hitam itu belum diunggulkan. Ia malah kalah pamor dengan Hillary Clinton yang jauh lebih siap dari sisi apapun. Chris tahu bahwa Obama masih jauh dari kemenangan. Chris lalu merancang satu model kampanye yang bisa menyentuh banyak orang, berbiaya minim, serta sangat efektif. Ia lalu berpaling ke teknologi internet. “Tak ada cara lain. Hanya melalui internet, saya bisa menyapa banyak orang secepat mungkin,” katanya, sebagaimana dicatat dalam buku Grown Up Digital yang ditulis Don Tapscott.

Ia tahu bahwa ia tak punya banyak waktu utuk mengetuk rumah setiap orang. Semasa kuliah di Harvard, ia sekamar dengan Mark Zuckerberg, pendiri Facebook. Di masa awal, Chris ikut mengembangkan Facebook. Ia tahu persis bagaimana jejaring sosial seperti Facebook telah mengubah kehidupan mahasiswa di kampus-kampus, yang membuat mereka cepat terkoneksi dan terhubung satu sama lain. Ia ingin menggunakan kekuatan media sosial untuk mengorganisir kampanye, “mengetuk” jutaan rumah warga Amerika, lalu membentuk citra dan karakter kuat untuk Obama.

Ia lalu merancang website, komunitas online yang beranggotakan jutaan orang. Ia mengadaptasi model kerja organisasi baru di internet. Terkait pesan kampanye, ia tidak membuat satu markas besar, yang lalu berhak mengeluarkan semua pesan kampanye untuk disebar ke mana-mana. Ia tak merancang keseragaman semua pesan kampanye, sebagaimana dilakukan oleh berbagai organ kampanye. Ia memberikan piranti kebebasan bagi semua individu untuk berkreasi di dunia digital, melalui kampanye, pesan berantai, hingga penggalangan dana.

Sejarah tercipta. Hanya dalam hitungan bulan, popularitas Obama terkerek tinggi. Media sosial memainkan peran yang signifikan di lanskap politik Amerika Serikat. Eksperimen Chris tidak sia-sia. Chris sukses mengemas Barrack Obama sebagai harapan baru bagi lanskap politik amerika Serikat. Ia tidak melakukannya dengan cara tradisional, yakni kampanye, pengerahan massa, ataupun aksi memasang baliho. Ia melakukannya melalui media sosial. Ia melakukannya di Facebook, Twitter, dan berbagai kanal media sosial lainnya.

Chris membuat semua orang berpaling ke media sosial. Para konsultan dan praktisi politik mulai melihat pentingnya mengorganisir semua orang melalui media sosial. Media baru ini tak hanya digunakan untuk berkampanye, di beberapa tempat, media ini juga digunakan untuk mengonsolidasikan kekuatan demi menumbangkan rezim. Sebagaimana dicatat Whael Ghonim dalam buku Revolution 2.0, media sosial menjadi awal sekaligus medium tempat bertemunya para aktivis yang menumbangkan beberapa rezim otoriter di Timur Tengah.

Laksana jamur yang tumbuh di musim hujan, strategi kampanye melalui media sosial ini terus menyebar ke mana-mana. Hampir semua konsultan politik mulai menggunakan strategi ini untuk memebangkan kandidat. Yang hendak dicapai dengan strategi ini adalah terbntuknya citra diri serta branding yang kuat, yang diharapkan bisa mempengaruhi prilaku

***

ERIC SCHMIDT, salah seorang CEO Google, pernah mengatakan bahwa di era kekinian, terdapat dua dunia yang menjadi tempat bernaung. Pertama adalah dunia nyata, yang lalu menjadi tempat berdiam serta menerima siapapun tamu yang datang. Kedua adalah dunia maya, yang menjadi etalase diri seseorang. Dalam penjelasannya, dua rumah ini saling mempengaruhi. Rumah di dunia maya bisa mempengaruhi apa yang terjadi di dunia nyata.

Pada tanggal 26 Januari 2017, perusahaan riset We Are Social kembali mengumumkan laporan terbaru mereka terkait perkembangan penggunaan internet di seluruh dunia. Hasilnya, mereka menyebut Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan jumlah pengguna internet terbesar di dunia.

Hanya mempunyai sekitar 88,1 juta pengguna internet pada awal tahun 2016, jumlah pengguna internet di tanah air telah naik sebesar 51 persen ke angka 132,7 juta pengguna pada awal 2017 ini. Namun dari sisi perangkat yang digunakan untuk mengakses internet, tidak ada perubahan yang berarti. Sebanyak 69 persen masyarakat Indonesia masih mengakses internet melalui perangkat mobile, dan sisanya melalui desktop dan tablet.

Statistik Internet di Indonesia

Pertumbuhan jumlah pengguna internet ini turut diiringi oleh meningkatnya jumlah pengguna layanan media sosial. Hanya berjumlah 79 juta pada tahun lalu, angka tersebut kini telah naik menjadi 106 juta pengguna. Para pengguna yang secara aktif menggunakan media sosial di perangkat mobile pun naik dari angka 66 juta menjadi 92 juta.

Dari segi pertambahan jumlah pengguna di layanan media sosial tersebut, Indonesia bahkan menempati posisi ketiga di dunia. Kita berhasil mengalahkan negara-negara seperti Brazil dan Amerika Serikat, dan hanya kalah dari Cina dan India. Khusus untuk jumlah pengguna Facebook, We Are Social mengklaim kalau Indonesia masih menempati posisi keempat dalam daftar negara dengan pengguna Facebook terbanyak, dengan jumlah seratus enam juta pengguna. Indonesia hanya kalah dari Amerika Serikat, India, dan Brazil.

Para politisi pun telah lama memanfaatkan media sosial. Intentitas pemanfaatan itu semakin tinggi saat kampanye pemilihan legislatif tahun 2014 lalu. Puncaknya adalah saat kampanye pemilihan presiden (pilpres) tahun 2014 silam, di mana media sosial tidak hanya digunakan untuk menampilkan kebaikan-kebaikan seorang calon presiden, melainkan juga dijadikan sebagai sarana untuk memublikasikan kebencian atau atau fitnah tentang seseorang.

Pada mulanya, banyak politisi yang serius membenahi rumah di dunia maya. Seiring dengan perkembangan piranti teknoogi komunikasi, keberadaan rumah di dunia maya tak bisa diabaikan begitu saja. Tapi seiring waktu, banyak yang kemudian tidak lagi membenahi rumah itu. Banyak yang hanya membangunnya, kemudian meninggalkannya begitu saja. Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan.

Pertama, boleh jadi orientasinya adalah jangka pendek. Setelah seseorang terpilih, maka kampanye dan proses engagement dengan warga tidak dianggap penting lagi. Dalam jangka pendek, media sosial dianggap sukses mengelola citra, setelah itu dianggap tidak penting. Politisi yang hanya menjadikan media sosial sebagai kunci untuk membuka satu ruang politik lalu meninggalkannya, adalah politisi yang tidak melihat masa depan. Dipikirnya, orang akan terus memilihnya. Politisi ini tidak paham bahwa politisi itu selalu dinamis. Apa yang menjadi pilihan hari ini, belum tentu akan selalu menjadi pilihan pada esok hari.

Kedua, seringkali seorang politisi merasa tak punya waktu cukup untuk merawat pertemanan melalui media sosial. Media sosial meniscayakan proses interaksi, di mana seseorang memosting sesuatu, kemudian memancng reaksi publik. Semakin baik interaksi dengan orang lain, maka semakin ramailah kanal media sosial tersebut. Semakin tidak baik interaksi, maka seseorang bisa di-bully, diblokir, terakhir ditinggalkan. Neraka bagi politisi di media sosial adalah ketika keberadaannya tidak dipedulikan. Sebab orang-orang tak merasa ada perubahan substansial yang dibawanya.

Ketiga, banyak politisi yang menganggap akun pribadi di media sosial hanyalah menjadi “sasaran tembak” bagi warga biasa yang tak siap untuk menghadapi perdebatan di media sisial. Biasanya, politisi jenis ini menghindari diskusi terfokus, serta cenderung curiga kepada siapapun yang berinteraksi dengannya. Padahal, kalau saja ia bisa mengelola berbagai perbedaan pendapat di media sosial untuk menguatkan daya bargaining-nya, ia bisa mendapatkan berbagai manfaat di situ.

Tak heran maka banyak politisi yang berusaha memanfaatkan secara maksimal peluang media online tersebut. Pengguna media sosial adalah kaum muda  produktif di mana mereka memiliki pendidikan yang tinggi yang aktif dan mencari informasi bagaimana sosok kandidat politisi yang akan dipilihnya.  Bagi politisi yang ingin memenangkan masa kini dan masa depan, keberadaan media sosial menjadi penting sebagai penyedia basis informasi, sebagai penyebar sikap politik, serta sebagai wadah yang menampung beragam suara yang ada di masyarakat kita.

***

MARILAH kita belajar pada bagaimana Jokowi dan Prabowo mengelola media sosial. Keduanya sama-sama membangun Fanpage di Facebook. Presiden Jokowi memiliki pengikut (follower) hingga 7,3 juta orang, sementara Prabowo Subianto memiliki pengikut hingga 9,5 juta orang. Di atas kertas, Prabowo lebih unggul ketimbang Jokowi.

Tapi dari segi pengayaan konten, sangat terlihat kalau Fanpage milik Prabowo kedodoran. Postingan terakhir Prabowo adalah tanggal 21 Juli 2017, sementara sebelumnya lagi adalah tanggal 25 Juni 2017 saat melaksanakan salat Idul Fitri. Dua postingan itu hanya di-share sebanyak 6.000 orang dan 900 orang. Situasi ini sangat beda jauh dengan Fanpage milik Presiden Jokowi yang ter-update setiap hari, serta selalu di-share ribuan orang.

Kita bisa katakan bahwa Fanpage milik Presiden Jokowi jauh lebih sering tampil di media sosial, serta lebih banyak dibagikan oleh publik. Tim media sosial Jokowi bekerja lebih spartan dan terorganisir. Mereka bisa mengelola semua informasi dan kegiatan sehari-hari tim Jokowi sehingga dengan segara bisa ter-update di media sosial.


Namun, duel ini masih panjang. Dalam dunia politik, pemenangnya adalah siapa yang bisa menjaga napas dan ritme dalam setiap ayunan kaki di marathon politik yang cukup panjang. Jika Prabowo Subianto mengelola akun Facebook-nya dnegan baik, diorganisir oleh tim yang hebat, serta membagikan hal-hal yang disukai publik, lambat laun, akun Fanpage-nya bisa meninggalkan Jokowi.

Biarpun pengelolaan media sosial Jokowi lebih baik, bukan berarti tanpa cacat. Yang saya lihat, (1) media sosial milik Jokowi belum bisa mengombinasikan dengan baik bagaimana strategi online dan offline dengan tepat. Kesannya, media sosial hanya sekadar wadah untuk menginformasikan kepada publik apa saja aktivitas presiden, (2) media sosial milik Jokowi terkesan satu arah. Belum ada upaya untuk merancangnya secara interaktif, yang bisa melibatkan dialog dua arah dengan para audience, (3) belum dikembangkan sebagai platform politik untuk menampung semua persoalan yang dihadapi masyarakat, (4) belum bisa menjadi sarana advokasi atas semua kepentingan publik, (5) terkesan sengaja di-manage oleh tim sukses, sehingga kurang alami, kurang mengikuti langgam tutur Presiden Jokowi.

Seiring dengan kian dekatnya pemilihan presiden, maka duel itu akan kembali sengit. Sebagai warga biasa, saya berharap agar media sosial menciptakan ruang di mana aktornya dapat terkoneksi satu sama lain dan dapat mengeksepresikan apa saja pada wadah tersebut. Media sosial bisa memberi ruang dialogis partisipatif antara masing masing anggota sehingga tercipta ruang publik sebagaimana yang dicita-citakan filsuf Juergen Habermas.

Saya rasa, salah satu implikasi nyata kehadiran social media adalah di ranah politik dan demokrasi. Politik secara sederhana dapat dipahami sebagai alat untuk mencapai kekuasaan. Kekuasaan tentu saja tidak berada pada ruang hampa. Kekuasaan melibatkan orang yang berkuasa (suprastruktur politik) dan masyarakat (infrastruktur politik).

Masing-masing unsur itu tentu saja berjumpa pada sistem politik. Dalam konteks demokrasi relasi suprastruktur dan infrastruktur lebih cair dan egaliter. Setiap orang dapat mengekspresikan sikap politiknya secara bebas. Melalu media sosial, seorang politisi bisa menyapa pemilihnya, berdialog, lalu bersama-sama menari formula terbaik. Relasinya setara dan sejajar. Kedua belah pihak bisa saling mengisi, lalu bersama menentukan wajah politik Indonesia masa depan.

***

CATATAN ini sifatnya hanya sebagai pengantar. Saya hanya ingin menekankan betapa pentingnya pengelolaan media sosial bagi seorang politisi. Idealnya saya melakukan analisis pada setiap postingan dari dua politisi itu, khususnya pada isu-isu yang kontroversial. Saya melihat hampir semua politisi dan kandidat kepala daerah mulai menyadari kekuatan ini. Hanya saja, kebanyakan hanya menguatkan aspek IT saja, tanpa membangun pengelolaan konten yang efektif dalam menyampaikan pesan.

Pengelolaan konten yang kreatif adalah urat nadi utama membangun media sosial yang hebat bagi soernag politisi. Tanpa itu, semua akun media sosial hanya nampak mewah di luaran, tapi tanpa isi dan substansi. Tak ada wajah ramah yang akan tersenyum sehingga memikat orang-orang untuk bersimpati pada seorang politisi. Bagaimanakah mengelola akun media sosial yang efektif bagi seorang politisi?


Mudah-mudahan saya bisa menjawabnya dalam tulisan lain.


Bogor, 1 Agustus 2017

BACA JUGA:







0 komentar:

Posting Komentar