Hanya Ada Satu Resolusi



DI setiap momen tahun baru, orang-orang akan membuat resolusi. Mereka akan mengumandangkan harapan-harapan demi meraih sesuatu di tahun yang baru. Saya tak ingin latah dengan berbagai resolusi. Saya tak ingin terjebak untuk menyampaikan resolusi yang sama dari tahun ke tahun. Seolah-olah, kehidupan ini stagnan dan jalan di tempat, tanpa ada pembaharuan.

Di media sosial, saya menyaksikan banyak pengharapan. Ada pula refleksi. Malah, pernah sekali saya melihat sebuah status di jejaring facebook dari seornag kawan alumnus sebuah sekolah agama. Ia menulis, “Terimakasih Tuhan karena tahun kemarin, Engkau mewisudaku di sekolah agama.” Saya langsung nyelutuk, “Sejak kapan Tuhan berperan jadi rektor yang bisa mewisuda seseorang?”

Jika harapan berwujud seperti asap yang terbang menggapai udara, maka malam tahun baru adalah malam di mana semua asap meruap ke angkasa. Di satu sisi, harapan itu senantiaa positif. Namun, harapan itu menjadi tak bermakna ketika disampaikan secara terus-menerus, pada banyak kesempatan, tanpa memberikan ruang leba bagi sebuah refleksi. Yup. Refleksi adalah sesuatu yang nyaris hilang di tahun baru. Padahal, Januari seharusnya menjadi momen untuk melihat ulang masa lalu, lalu melangkah ke masa depan.

Januari selalu identik dengan Dewa Janus. Dalam mitologi Yunani, ia digambarkan memiliki dua wajah, satu menghadap ke belakang, dan satu menghadap ke depan. Ini bermakna bahwa dewa ini selalu berpijak di tengah-tengah, di antara masa silam dan masa kini. Ia melihat masa silam demi untuk membuat satu refleksi tentang apa-apa yang sudah dicapai, dan apa saja yang belum dicapai. Ia lalu melihat ke masa depan demi untuk menyongsong berbagai pengharapan serta visi baru.

Sayang, tak semua orang meniru Dewa Janus di setiap Januari. Tahun baru selalu identik dengan terompet, teriak dan pekik di angkasa, serta musik yang berdentam-dentam. Pernah, saya menyaksikan tahun baru di satu diskotik. Semua orang histeris, meniup terompet, lalu saling berangkulan. Tahun baru dirayakan dengan mengangkat gelas berisi alkohol, lalu saling menyapa dalam keadaan sama-sama mabuk, lalu berteriak histeris. “Happy New Year.”

Saya tak ingin larut dalam pesta-pesta. Saya ingin mencatat satu hal. Bahwa di tahun-tahun kemarin, terlampau banyak kekurangan dan kelemahan yang mendera hari-hari. Terlampau banyak kekurangan yang memberati langkah-langkah kaki ini. Terlampau banyak hal-hal yang membuat saya malu untuk sekadar berdiri tegak dan menghadapi banyak orang.

Saya menyadari bahwa diri ini bukanlah sesuatu yang lahir dan membawa kesempurnaan. Diri ini terlampau penuh dengan ketidaksempurnaan serta kesalahan-kesalahan yang terus diulangi dari tahun ke tahun. Akan tetapi, ketidaksempurnaan itu justru kian mempertegas satu hal; bahwa diri ini hanyalah seorang manusia biasa, setitik noktah dalam debu semesta dan sejarah yang mudah tersaput angin dan terlempar debu-debu peradaban. Diri ini hanya kepingan amat kecil dari kebesaran dan kemaharajaan Pemilik Semesta. Diri ini bergelimang dosa, namun memendam niat kecil untuk bisa membenahi diri setapak demi setapak yang barangkali amat jauh dari pencapaian manusia-manusia besar yang pernah melangkahkan kaki di pasir perjalanan waktu.

Jikapun dipaksa membuat resolusi, maka saya akan membuat satu kalimat saja: bahwa saya ingin melangkah setapak lebih baik dari tahun sebelumnya. Itu saja.


Jakarta, 3 Januari 2013

0 komentar:

Posting Komentar