kampung Bajo di Wakatobi (foto: indovasi.or.id) |
DI balik kisah tentang keindahan bawah
laut Wakatobi yang tersohor, terdapat kisah-kisah tentang manusia-manusia laut
yang berkarib dengan laut. Mereka tak hanya piawai memahami bahasa laut dan
samudera, namun juga berkawan dengan setan-setan laut yang seringkali
membisikkan pesan-pesan untuk menjaga lingkungan. Mereka adalah warga suku Bajo
yang berumah di atas laut.
***
DI tepi Laut Buton, Baubau, lelaki itu
berdiri sambil menatap lurus. Ia memandang kapal kecil dengan layar yang
tergulung rapi di ujung sana. Tiba-tiba ia melambaikan tangan ke arah kapal
itu. Tak lama kemudian, sebuah koli-koli
atau perahu kecil meluncur mendekati lelaki tua itu. Ketika perahu mendekat,
lelaki itu dengan sigap meloncat ke perahu dan bergegas menuju kapal.
“Dia
nakhoda paling disegani di sini. Dia dari suku Bajo Mola,” kata seorang sahabat yang memperhatikanku
sedang menatap lelaki itu. Selama beberapa hari, aku memang sering memperhatikan
lelaki tua legam yang janggutnya memutih itu. Hampir semua pelaut dan nelayan
di pesisir Buton segan dengannya. Ia menjadi tempat bertanya tentang banyak
hal. Mulai dari kapan hari baik untuk melempar jala, hingga kapan ombak akan
mengaduk samudera. Lelaki itu tak pernah pelit menyimpan ilmu.
Suku Bajo Mola berumah di pesisir Pulau
Wanci, yang kini menjadi ibukota Wakatobi. Beberapa waktu lalu, saat berkunjung
ke pulau ini, aku menyaksikan perkampungan Bajo Mola yang sudah mengalami
modernisasi. Meski tetap berumah di atas laut, warga suku Bajo mulai membangun
tembok untuk dinding rumah. Rumah mereka sudah agak modern. Tapi warga suku
Bajo masih saja melakukan banyak ritual-ritual yang bercirikan animisme. Mereka
beberapa kali melepas sesajen ke laut sebagai simbol sedang memberi makan
lautan dan seluruh penghuninya.
Menurut beberapa peneliti, Suku Bajo
berasal dari Laut Cina Selatan. Ada pula yang mengatakan bahwa leluhur mereka
berasal dari Johor, Malaysia, atau keturunan Suku Sameng di Malaka yang pernah
diperintahkan raja untuk mencari putrinya. Mereka lalu mengarungi lautan hingga
ke perairan Sulawesi. Konon, sang putri menikah dengan pangeran Bugis yang
tinggal pada wilayah bernama BajoE. Mereka enggan balik ke Malaysia dan memilih
tinggal di perahunya. Sejak abad ke-16, mereka digolongkan sebagai suku laut
nomaden, atau sering pula disebut manusia perahu (seanomad). Namun kini, mereka
tinggal di dekat pulau, pada rumah yang didirikan di atas lautan.
seorang ibu mengayuh sampan |
suasana perkampungan |
Pertemuan dengan nakhoda Bajo itu
menggoreskan kesan mendalam. Suatu hari, aku mengikuti perjalanan lelaki itu di
sekitar Pulau Wanci, yang kini menjadi ibukota Wakatobi. Kapal kecil yang kami
tumpangi beberapa kali hendak menabak karang. Di tepi pulau-pulau kecil,
seorang nakhoda mesti sigap. Maklumlah, tak anyak mercusuar yang dibangun
sebagai panduan bagi nelayan. Tapi lelaki itu tetap tenang. Ketika melintasi
satu kawasan, ia lalu meminta agar kapal menjauh. Walaupun awak kapal memprotes
sebab kawasan itu adalah jalan pintas, ia tetap kukuh. Ia hanya berkata singkat
dalam bahasa Bajo, “Di situ ada setan.”
Sebagai penumpang, aku terheran-heran.
Mengapa pula harus menghindari jalan pintas, hanya karena hantu? Aku menganggap
setan dan hantu itu hanyalah mitos. Di zaman ketika manusia menggunakan rasio
sebagai penuntun akal dan pengetahuan, kata setan lebih pada kata untuk
menakut-nakuti anak kecil. Namun di kampung Bajo, setan dan hantu dianggap
sebagai sesuatu yang eksis dan menempati satu kawasan. Para hantu itu punya
ruang sendiri, seringkali mengalami kontak dengan masyarakat Bajo, yang
memiliki banyak pantangan atau pamali, agar tidak mengganggu eksistensi mereka.
Ketika aku menanyakannya, nakhoda Bajo
yang sudah kenyang asam garam dunia pelayaran itu hanya tersenyum. Ia lalu
menjelaskan bahwa ketika setan diganggu, maka malapetaka akan datang. Kapal
bisa bocor lalu karam. Setan bisa pula menyebabkan banjir bandang yang kemudian
mnghancurkan perkampungan. “Kalian orang muda yang sekolah pasti akan sulit
percaya. Tapi kita orang Bajo percaya kalau melanggar pantangan, maka pasti ada
bahaya,” kata lelaki tua itu.
Dunia orang Bajo memang penuh dengan
pamali. Sebagai suku laut yang terbiasa menjelajah dan berpindah-pindah, mereka
mengenal banyak pamali yang hingga kini diwariskan kepada generasi yang lebih
muda. Di antara pamali tersebut adalah larangan membuang sampah di laut,
seperti kulit jeruk nipis, sisa-sisa bumbu, dan sampah lainnya. Bahkan orang
Bajo pun dilarang untuk meludah di laut atau menangkap ikan yang masih kecil.
Jika pantangan itu dilanggar, maka kampung mereka akan dilanda bencana.
Sepulang dari ikut berlayar bersama lelaki
itu, aku lalu bertemu seorang sahabat yang bekerja sebagai peneliti di satu
lembaga internasional. Ketika kuceritakan kisah tentang setan-setan di perairan
Wakatobi, sahabat itu langsung tersenyum. Ia mengajakku ke dalam ruang tamu
tempatnya berkantor di Pulau Wanci. Ia lalu menghamparkan peta Wanci yang lebih
detail. Ia memintaku menunjuk lokasi-lokasi yang disebut nakhoda Bajo itu
sebagai lokasi tempat setan bersemayam.
Sahabat itu membuatku tercengang. Ternyata
pada lokasi yang disebut tempat setan itu tinggal, terdapat great barrier atau
karang-karang besar yang bisa membahayakan keselamatan pelayaran. Jika saja
saat itu kami memaksakan kapal untuk melintas, maka pastilah kapal kami akan
karam. Jika saja para anak buah kapal tak mendengarkan apa kata nakhoda, maka
pastilah kapal kami sudah lama menghantam karang, dan boleh jadi, kami semua
tinggal nama.
Nakhoda Bajo itu membuatu terkagum-kagum.
Tak hanya diriku, sejumlah turis asal Australia yang singgah ke Wakatobi mengungkapkan
keheranannya saat mengetahui bahwa tak ada satupun alat modern di kapal yang
dikemudikan nakhoda Bajo tersebut. Tanpa perangkat seperti Kompas atau Global
Positioning System (GPS), nakhoda bisa menentukan arah hanya dengan mengamati
lautan, angin, ketebalan awan, bintang-gemintang, hingga posisi burung.
di depan satu rumah |
Nakhoda suku Bajo itu membuatku merenung
tentang indahnya kearifan lokal. Bahwa melalui pengetahuan yang diwariskan
secara turun-temurun, orang Bajo bisa mengenali lautan, serta mengenali tempat-tempat
yang tak boleh dijamah. Memang, mereka tak punya penjelasan ilmiah tentang
karang-karang yang bisa merobek lambung kapal, tapi melalui pengetahuan lokal,
mereka bisa mengenali semua petaka serta bagaimana menghindarinya.
Pantas saja jika mereka melarang untuk
membuang sampah di laut, serta ada larangan menangkap ikan kecil. Pamali itu
mengandung satu hidden rationality
yakni rasionalitas tersembunyi yang memberikan panduan untuk menjaga
kelestarian lingkungan, serta memberikan kesempatan pada alam untuk
memperbaharui dirinya. Pengetahuan lokal itu menjadi kompas yang memandu
perjalanan mereka, sekaligus menempatkan Suku Bajo sebagai suku yang paling
memahami lautan di Nusantara. Mereka tak hendak menaklukan lautan, namun mereka
hidup mengalir bersama lautan dengan segala kisah dan mitos yang bersemayam di
baliknya.(*)
5 komentar:
Mengapa yah para org tua dlu atau leluhur kita hnya mnegur/mlarang kita dgan menakut-nakuti (pamali) pdahal apa yg dilrangnya bsa djlaskan scra rasional dan ilmiah?
Mengapa yah para org tua dlu atau leluhur kita hnya mnegur/mlarang kita dgan menakut-nakuti (pamali) pdahal apa yg dilrangnya bsa djlaskan scra rasional dan ilmiah?
bajo syakep, di labuhan bajo juga hampir mirip hampir serupa..
butoh pak hang
haha,,,wakatobi i love u
Posting Komentar