di depan kuil Wat Chalong di Phuket, Thailand |
DI tengah alam Thailand yang dijejaki
gajah putih dan kisah kerajaan, terselip kisah tentang keperkasaan orang-orang
Makassar. Seorang sejarawan Perancis mencatat bahwa pasukan Makassar pernah
bertarung melawan pasukan gabungan Perancis dan Siam dalam satu
pertempuran yang mengerikan. Hingga kini, kisah keberanian orang-orang Makassar
terus dituturkan hingga kini di tanah Thailand.
***
DI satu perahu kecil yang membawaku ke
laut Andaman, pria Thailand itu banyak bercerita tentang sejarah negerinya.
Pria itu, yang sering kusapa Mr Ming, menjelaskan tentang Thailand yang tenang
dan damai pada akhir perang dunia kedua. Ia bukan sejarawan. Ia adalah seorang tour guide yang hari itu kebagian tugas
menemani turis-turis Indonesia di Phuket. Di akhir kisahnya, ia lalu bertanya
tentang asal daerahku. Ketika kusebut Makassar, ia langsung terkesiap. “Apa
kamu benar berasal dari Makassar? Apa kamu tahu sejarah Makassar yang hebat di tanah
Siam ini?
Saat itu aku menggeleng. Mr Ming lalu
menjelaskan tentang sebuah lokasi di rerimbunan kota Bangkok yang bernama MAKASSAN.
“Tempat itu adalah saksi sejarah orang-orang Makassar di Thailand. Kamu mesti
mencari tahu tentang kisah itu. Kisah orang Makassar memiliki tempat istimewa
di tanah ini,” katanya.
Thailand memang menyimpan banyak pertalian
dengan Nusantara. Sehari sebelumnya, Mr Ming mengajakku mengunjungi satu
perkampungan terapung di laut Andaman. Di situ, aku mendapat penjelasan kalau
warga kampung terapung itu dahulu adalah orang-orang Melayu yang kemudian
bermigrasi ke Thailand. Meskipun mereka diwajibkan untuk berbicara dalam bahasa
Thailand, banyak dari mereka yang hingga kini masih bisa berbahasa Melayu.
Pernah pula, Mr Ming mengajakku
mengunjungi kuil Wat Chalong. Di dekat kuil itu, aku menyaksikan rumah
tradisional masyarakat Phuket. Rumah itu berbentuk rumah kayu dengan
tangga-tangga. Konstruksi rumah itu sangat mirip dengan rumah-rumah kayu di
Indonesia. Saat melihat rumah di dekat kuil itu, aku teringat pada balla kayua, rumah tradisional orang
Makassar. Apakah memang ada pertalian sejarah antara Thailand dan Makassar?
rumah kayu khas Thailand |
foto raja yang bisa ditemukan di mana-mana |
Sayangnya, Mr Ming tak menjelaskan leih
jauh tentang pertalian sejarah itu. Aku lalu mengontak seorang kawan bernama
Suthitemorang. Ia adalah sejarawan muda Thailand yang tengah menempuh
studi di Amerika Serikat. Suthi menjelaskan tentang kampung Makassan yang
kini menjadi satu wilayah elite di
Bangkok. Ketika kutanya sejarah kampung itu, ia berkisah bahwa di
situ pernah ada satu kisah kengerian dan kisah keberanian yang dituturkan
hingga kini.
Penjelasan itu tak membuatku puas.
Akhirnya kutemukan jawabannya pada buku yang ditulis sejarawan Perancis Bernard
Dorleans. Buku yang telah diterjemahkan oleh KPG dan diberi judul Orang Indonesia dan Orang Perancis itu
memuat kesaksian seorang prajurit Perancis bernama Claude de Forbin yang
dikirim ke Siam oleh Raja Louis XIV bersama 6 kapal dan satu detasemen militer
yang beranggotakan 636 orang.
Meskipun labelnya adalah kerjasama, Claude
de Forbin dan pasukannya didatangkan sebagai serdadu untuk membela kehormatan
Raja Siam Phra Narai, yang saat itu berkedudukan di Ayuthaya. Pada masa itu,
keadaan di Siam penuh dengan intrik. Banyak perselisihan serta ancaman kudeta
yang dihadapi Raja Siam yang menyadari betul bahwa kekuasaannya tak mengakar
kuat. Sang raja lalu meminta pasukan Perancis untuk memperkuat pertahanan.
Pada masa itu, orang Makassar dipimpin
oleh Daeng Mangalle yang tiba pada 1664 sebagai pelarian bersama 250 pengikut.
Raja Phra Narai menampung Daeng Mangalle, seperti umumnya para bangsawan asal
Bugis-Makassar, mereka membuktikan kepiawaian sebagai prajurit profesional di
Asia Tenggara. Kala itu banyak prajurit Bugis-Makassar bertugas di kerajaan
ataupun kongsi dagang barat, termasuk Serikat Dagang Hindia Timur Belanda
(VOC).
Sayang, Daeng Mangalle terlibat konflik dengan
Konstantin Hierarchy (ada yang menyebut sebagai Konstantin Fhaulkon), seorang
warga Yunani, mantan pegawai Serikat Dagang Hindia Timur Inggris (EIC) yang
menjadi penasihat Raja Phra Narai. Terjadilah pemberontakan Makassar pada akhir
1686 antara koalisi Daeng Mangalle, pangeran lokal, pemukim Champa, Melayu, dan
Persia melawan pasukan Kerajaan Siam yang dibantu serdadu Eropa.
Para pemberontak itu khawatir akan
diperbudak oleh raja yang merasa semakin kuat dengan datangnya pasukan baru.
Pada masa itu, perbudakan menjadi sesuatu yang dilegalkan. Ketika menjadi
budak, maka seseorang akan kehilangan kebebasan dan kehormatannya. Raja Phra Narai
mengetahui persekongkolan itu. Ia lalu meminta Daeng Mangalle agar meminta
maaf. Namun permintaan itu ditolak Daeng Mangalle.
Raja lalu memerintahkan Claude de Corbin
untuk mengepung orang Makassar. Pertempuran pertama dimulai ketika 40 orang
Makassar menghadapi ratusan serdadu Perancis dan Portugis. Corbin mencatat
bahwa orang Makassar tak mau kalah. Mereka menyerang dan mengejar pasukan
Perancis dan Portugis yang saat itu juga hendak
membantai perempuan dan anak-anak. Orang Makassar bertarung dengan
keberanian tiada tara. Enam orang Makassar menyerang pagoda dan membunuh beberapa
prajurit serta biarawan di sana. Sebanyak 366 orang prajurit Perancis
ditewaskan oleh enam orang Makassar.
seorang biksu sedang melintas |
plang kampung Makassan di Bangkok |
buku bergambar orang Perancis dan Makassar karya Bernard Dorleans |
Masih dalam catatan Corbin, pada tanggal
23 September 1686, Raja Siam memerintahkan serangan besar ke perkampungan orang
Makassar. Mereka hendak membumihanguskan kampung dan membunuh mereka. Warga
Makassar menghadapinya dengan semangat siri,
keyakinan untuk membela kehormatan sampai titik darah penghabisan. Pasukan
Makassar akhirnya takluk. Daeng Mangalle sendiri terluka lalu tewas akibat lima
tusukan tombak, setelah membunuh seorang menteri kerajaan, serta beberapa orang
Inggris.
Penduduk Siam sangat mengagumi keberanian
orang Makassar yang menghadapi ribuan tentara. Dengan hanya 250 orang, orang
Makassar telah menewaskan tentara sebanyak 1000 orang Siam dan 17 warga asing.
Orang-orang Siam mencatat peristiwa itu sebagai peristiwa heroik yang pernah
mereka saksikan. Daeng Mangalle dikenang sebagai orang hebat yang bertarung
untuk membela kehormatan. Warga Siam lalu mengabadikan Makassar sebagai nama
salah satu distrik di Bangkok, kawasan yang dahulu bernama Krung Thep.
Antropolog Perancis Christian Pelras dalam majalah Archipel pada
tahun 1997, menuturkan kisah lain seusai pembantaian orang Makassar. Katanya,
dua bangsawan muda Makassar yang tersisa di Siam lalu dibawa ke Perancis pada
masa pemerintahan Louis XIV. Dua orang itu lalu menjadi anggota legiun
pasukan Perancis. Mereka menjadi prajurit hebat. Seorang diantaranya menjadi
pasukan angkatan laut Perancis yang diberi gelar Louis Dauphin Makassar. Ketika
tewas, Raja Louis XIV memerintahkan agar ia dimakamkan di tempat terhormat
dalam Gereja Saint-Louis de Brest, barat laut Prancis. (kisahnya akan saya tulis pada artikel lain).
***
Usai membaca kisah sejarah itu, aku kembali
bertemu Mr Ming, tour guide di
Phuket. Ia masih saja mengagumi peristiwa masa silam itu. Hanya saja, saat itu
aku lebih banyak diam. Aku baru saja membaca berita tentang tawuran serta
penikaman seorang mahasiswa. Ah, setiap zaman memang punya dinamika
masing-masing. Dahulu Daeng Mangalle bertarung untuk sesuatu yang prinsipil
yakni kebebasan. Kini, anak-anak muda Makassar berkelahi demi gelar jagoan serta
rasa bangga karena sukses membakar kampus sendiri.
9 komentar:
Hehehe.. Endingnya mantap.. Smoga mahasiswa sedaerah ku makassar mmbaca tulisan ini..
Hehehe.. Endingnya mantap.. Smoga mahasiswa sedaerah ku makassar mmbaca tulisan ini..
Hadoooohhhhhh...
Kisah sejarah yang perlu saya baca dan simpan., baru ngerti soalnya., hehe
Berdasarkan catatan La mare, seorang petualang Prancis yang turut serta memadamkan pemberontakan Makassar di thailand, pemberontakan tersebut terbagi menjadi 2 babak, pertama di sekitar Bangkok saat sebuah kapal Makassar yang bersenjata dicegat oleh Kapten Perancis Beauregard dan Corbin serta Constantin Phaulkon dan tiba-tiba 50 awak kapal Makassar mengamuk, membunuh cukup banyak orang pasukan Perancis, Inggris, dan Siam yang diperintahkan untuk mengepung dan membujuk para awak kapal Makassar tersebut untuk menyerah sebelum akhirnya par awak tersebut berhasil dibunuh seluruhnya. kemudian babak kedua adalah penyerbuan kamp makassar di Ayutthaya yang dipertahankan 200an orang makassar, dimana seluruh orang makassar dibunuhi dengan keji termasuk anak-anak dan wanita karena menolak meneyrah, dimana yang selamat hanya sekitar 55 tawanan, 30an orang yang bersembunyi di masjid dan sisanya merupakan prajurit makassar yang terluka, termasuk diantara 55 tawanan ini ada 2 putra Daeng Mangalle yang kemudian dibaptis menjadi Kristen dan dibawa ke Prancis, salah satu diantaranya Daeng Ruru. total korban dari pasukan Siam dan asing dalam pembantaian ini adalah 17 prajurit Siam dan 6 orang Inggris dan Prancis. nasib 55 tawanan makassar tersebut sangat tragis karena sebagian besar dari mereka dibawa ke Siam untuk dieksekusi di hadapan publik Melayu dan Siam dengan cara yang keji, seperti dimasukkan ke kandang harimau.
Jika tidak salah... Daeng mangalle adalah salah satu anak dari Raja Gowa yg tidak mau menyerah pada VOC. Bagi mereka kematian tidaklah penting atau ditakuti. Tetapi yang penting adalah cara kita melewati kehidupan ini. yaitu harus memiliki harga diri, lebih khusus lagi harus ada Siri'. Mereka tidak mengakui perjanjian Bungayya karena itulah mereka lari meninggalkan Makassar menuju Thailand.
Itu masalahnya... filosofi siri tidak begitu kuat mengakar dikalangan genrasi muda bugis makassar... dampaknya pemuda bugis makassar mendapat stigma yang kurang baik ... berbeda dengan para pendahulu kita yang gagah berani diatas kebenaran dan harga diri. salam hormat kamal dari Malimpung Pinrang.
Terimakasih Baru membaca tentang sejarah ini, bisa menjadikan refrensi untuk menceritakan pada anak cucu kita kelak
Posting Komentar