Angel Lelga (foto: tribunnews.com) |
DI acara Mata Najwa, artis Angel Lelga beberapa
kali terdiam dan tak tahu hendak menjawab apa. Ia tergagap ketika pembaca acara
mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan menyangkut substansi syariat Islam
serta dunia politik yang akan dimasukinya. Sang presenter, Najwa Shihab, seakan
tidak mempedulikan kegugupan Angel. Najwa seakan menegaskan kecerdasannya,
serta menunjukkan kebodohan Angel. Ia menghujani Angel dengan pertanyaan yang
tak sanggup dijawabnya.
Angel Lelga,
perempuan yang pernah menikah dengan raja dangdut Rhoma Irama, laksana
pesakitan di acara tersebut. Pihak televisi menghadirkannya bukan untuk didengarkan
visi-visinya, namun untuk dijadikan lelucon dan olok-olok. Terbukti, tayangan
itu sontak disaksikan banyak orang. Ia juga sukses dijadikan bahan lelucon
tentang politik kita.
Nyaris sepekan,
publik menyaksikan kegugupan bintang film Pocong Anak Perawan di acara
tersebut. Video wawancara Angel lalu di-upload
di media sosial, kemudian menjadi bahan tertawaan banyak orang. Di satu situs,
saya melihat komentar seorang warga, “Ngakak
liat Angel sampai guling-guling.” Ada pula yang berkomentar bahwa Angel
lebih pas untuk jualan tas ketimbang menjadi anggota legislatif. Tak hanya masyarakat
awam, beberapa akademisi ikut pula dalam aksi menertawakan Angel. Pengamat
psikologi sosial, Hamdi Muluk berkomentar, “Ini
menghina kita, menghina demokrasi," ujarnya di Jakarta. "Kita dihinakan Angel
Lelga,”
lanjutnya.
Pertanyaan
kritis yang muncul di benak saya adalah mengapa harus Angel yang dihakimi
seperti itu? Mengapa tak menghakimi politisi kita yang selalu tampil di media
massa dan rajin memberikan komentar ‘asbun’? Ketika mendengar seorang presiden
yang selalu curhat, atau rektor yang gelarnya lebih panjang dari pikirannya,
apakah para pengamat juga akan ikut-ikut menertawakannya?
Mereka yang
menertawakan Angel seolah-olah mengamini pendapat bahwa ruang legislatif kita
diisi oleh orang-orang hebat yang komentarnya terukur. Mereka beranggapan bahwa
parlemen kita diisi banyak orang-orang yang memikirkan kemaslahatan ornag
banyak, dan senantiasa menggelar diskusi konstruktif. Orang-orang tak membuka
mata lebih lebar. Bahwa gedung parlemen ibarat sebuah pasar yang di dalamnya
ada banyak orang dengan berbagai kepentingan. Dari ratusan anggota dewan, berapa
banyakkah mereka yang hebat dan memiliki komentar cerdas itu?
Angel Lelga
menunjukkan pada kita betapa jauhnya teks-teks ilmu politik dengan praktik
politik yang ada di masyarakat kita. Dalam berbagai teks akademik, politik
adalah arena untuk merangkum suara publik, kemudian mengejawantahkannya dalam
kebijakan yang memihak orang banyak. Namun melalui Angel, kita jadi tahu betapa
panjangnya jalan untuk menggapai dunia ideal ilmu politik. Angel menjadi
representasi dari mereka yang hendak masuk ke dunia politik. Ia adalah satu
dari barisan orang yang berbondong-bondong hendak masuk parlemen. Di dunia
politik beredar anggapan bahwa kecerdasan adalah nomor paling kesekian Yang
penting adalah bagaimana mendapatkan massa sebanyak-banyaknya. Partai politik
kita berusaha mengumpulkan massa sebanyak mungkin. Segala strategi ditempuh
demi mendapatkan angka pemilih signifikan yang kemudian melesatkan kader partai
ke gedung dewan.
Angel telah membantu
kita untuk memetakan bahwa dunia politik kita laksana sebuh gerbong yang diisi
oleh berbagai kalangan. Partai politik tidak pernah serius menyeleksi siapapun
yang hendak membawa nama partainya. Partai kita hanya berpikir bagaimana meraup
suara sebanyak mungkin, kemudian berhasil memasukkan sebanyak mungkin orang ke
dalam gedung parlemen.
Diskusi tentang
ideologi dan visi partai tidaklah penting. Diskusi itu hanya untuk sebagian
orang yang kelak jadi juru bicara partai. Sungguh ironis, sebagaimana saya
saksikan di banyak daerah, banyak partai Islam yang menggelar kampanye dengan
membagikan minuman keras. Mereka tak peduli bahwa tindakan itu justru
menciderai partai. Yang penting, suara bisa diraih, kemudian banyak anggota
masuk parlemen, dan setelah itu bisa bermain dalam penentuan proyek. Politik
kita menjadi ruang untuk tarik-menarik kepentingan, dan posisi kader partai
seperti Angel Lelga hanya untuk melicinkan jalan bagi partai untuk menapak ke
tangga kuasa.
Angel Lelga (foto: lovelytoday.com) |
Siapa bilang
Angel sendirian? Di ruang-ruang parlemen dan birokrasi kita, bisa ditemukan
banyak yang serupa Angel di sana. Hampir setiap hari, kita menyaksikan debat
remeh-temeh di ruang parlemen. Kita menyaksikan opera sabun partai politik yang
kader-kadernya saling berebut jabatan atau mengincar posisi penting di
pemerintahan. Dunia politik kita laksana panggung tempat segala pertarungan
ditampilkan dalam skenario ala sinetron.
Di banyak
daerah, para kepala daerah justru sibuk membangun dinasti politik. Mereka
membangun kekayaan yang berlipat-lipat, dengan menilep uang proyek dan anggaran
belanja daerah, yang seharusnya dialokasikan untuk orang banyak. Para kepala
daerah membangun kerajaan, yang diisi oleh orang-orang loyal kepadanya.
Kapasitas dan kemampuan menjadi tidak penting. Ada banyak cerita tentang mereka
yang berkualitas, namun akhirnya terbuang karena dianggap bukan bagian dari tim
sukses atau tim pemenangan. Dalam dunia politik lokal, kontribusi bagi
kemenangan seorang calon adalah jaminan bagi napas yang lebih panjang di
pemerintahan atau birokrasi. Bagi penguasaha, itu juga jaminan bagi napas
keberlanjutan proyek-proyek di daerah.
Mengapa harus
menertawakan Angel ketika di mana-mana kita menemukan sosok sepertinya di
gedung-gedung dewan dan kantor-kantor birokrasi di daerah? Mengapa kita tak
menertawakan semua orang yang jelas-jelas menumpuk kekayaan kemudian menjadi
rakyat sebagai perah yang setiap saat dibohongi demi memperbesar pundi-pundi
kekayaan pribadi?
Dunia politik
kita menjadi dunia yang serba dangkal sebab mereka yang bertarung di dalamnya
bukanlah mereka yang memiliki naluri dan jiwa pengabdian bagi kepentingan orang
banyak. Politik menjadi arena yang mempertontonkan banalitas di mana kelihaian
dan kemampuan meraih simpati publik adalah jantung utama bagi proses menuju
ruang parlemen. Ketika politik menjadi arena untuk meneguhkan kepentingan, maka
para pemain politik akan menjadi pion-pion pengejar kepentingan itu.
Mengapa harus
menertawakan Angel ketika kita tak siap memasuki arena politik dan hanya
memilih menjadi pemerhati? Mereka yang menertawakan Angel adalah mereka yang
menganggap diri lebih pandai dalam hal politik. Jika demikian halnya, maka
mengapa pula kita tak ramai-ramai masuk ke dunia politik? Di saat orang-orang
baik menjauhi politik, maka parlemen kita akan diisi dengan para pedagang yang
menjual kecap demi satu kursi parlemen. Di saat orang cerdas menjauhi politik,
jangan salahkan ketika parlemen dipenuhi banyak orang asal bunyi, berusaha
nampak cerdas, sembari merahasiakan segala permainan politik di belakang layar.
Wajah lugu Angel
Lelga adalah wajah kita semua. Ia adalah puncak dari gunung es dunia politik
kita yang sesungguhnya. Jauh lebih baik jika energi kritik kita arahkan pada para
politisi busuk, sistem politik kita yang amburadul, serta pada mereka-mereka
yang mencari rente pada dunia ini. Angel hanyalah sosok kecil dari lusinan
pemain besar yang tak tersentuh oleh kritik kita, para pelanggar HAM, para
pengusaha hitam, atau militer haus kuasa. Maka kepada Angel, selayaknya kita
bercermin dan melihat potret politik kita yang sejati.
1 komentar:
Dengan kondisi seperti ini apakah salah ketika banyak rakyat memilih sikap golput???
Posting Komentar