kopi Mandailing di kedai kopi Ranin, Bogor |
SUASANA kedai itu berwarna merah. Di pintu
masuk tertera tulisan Rumah Kopi Ranin. Di Kota Bogor, Jawa Barat, seorang
sahabat mengajakku singgah ke kedai itu. Kupikir suasananya sama saja dengan
kedai kopi yang menjamur di kota Makassar. Ternyata tidak. Kedai itu tak
sekadar menawarkan kopi, namun juga kisah, sejarah, petualangan, serta kearifan
lokal yang dipupuk hingga kini.
Terletak di Jalan Ahmad Sobana, kedai itu
senantiasa membuka pintunya. Mereka yang datang bisa singgah untuk sekadar
menyeruput kopi, lalu berbincang-bincang dengan banyak orang. Di kedai itu,
semua orang punya posisi sama. Tak ada yang dominan. Semua orang bisa saling
sapa, berkenalan, dan berbincang tentang hal yang remeh-temeh. Aku mencium
aroma egalitarianisme yang kuat di situ.
Bersama kawan-kawan, aku duduk di sudut
kedai. Seorang pria yang tampak tenang dan selalu tersenyum datang bergabung.
Ia lalu menyodorkan menu serta mengajak kami dialog. Menu yang disodorkannya
bukanlah menu biasa. Menu itu tak hanya menampilkan nama minuman serta harga.
Tapi juga ada gambar, serta kisah-kisah di balik kopi itu. Ada narasi singkat
tentang sejarah kopi yang unik.
Selagi kami membaca menu serta sejarah
singkat kopi, ia lalu bertanya tentang kopi yang kami sukai. Aku lalu bertanya
tentang kopi dengan rasa unik di kafe itu. Lelaki itu lalu memintaku untuk
mencoba kopi Wamena, Papua. Aku mengingat beberapa sahabatku asal Papua yang
selalu rang gembira dengan banyolan khas Papua. Tanpa ragu, aku mengangguk. “Satu kopi Wamena,” teriak lelaki itu ke
seorang penyeduh kopi yang berdiri tak jauh dari situ.
Sementara kawan di sebelahku lalu
menggeleng. Ia tak hendak minum kopi. Mengapa? “Kalau minum kopi, saya bisa
sakit mag,” katanya. Pria itu tersenyum. Ia lalu menjawab singkat, “Justru kopi
adalah obat sakit mag. Tak percaya? Saya bisa buktikan.”
Ia lalu ke belakang, kemudian kembali
dengan wadah kaca serupa gelas besar. Di atas wadah itu, ada saringan kain
berwarna putih. Ia meracik kopi di gelas berbeda, kemudian menumpahkannya di
atas saringan wadah. “Ini namanya kopi
Mandailing, yang merupakan nama daerah di Sumatera Utara. Kopi ini cocok untuk
mereka yang terkena sakit mag,” katanya.
Ia lalu mempersilakan sahabatku untuk
meminumnya. Ternyata rasanya agak pahit. Ia lalu menyodorkan gula. Ketika
temanku tak menyentuh gula dan terus meminum kopi, ia tersenyum lalu berkata, “Pilihanmu tepat. Rasa pahit adalah bagian
dari kopi. Lewat rasa pahit itu, kita bisa tahu banyak hal, misalnya tentang
kondisi tanaman kopi di daerah asalnya, hingga rasa kopi yang sesungguhnya.”
hmm..nikmatnya |
suasana di dalam kafe |
tampak luar |
Ia lalu bercerita tentang Mandailing sebagai
sebuah tempat di Sumatera Utara. Ia juga menjelaskan tentang jenis-jenis vegetasi tanaman, serta kondisi geografis mengapa kopi
Mandailing memiliki rasa yang unik. Sebelum perang dunia kedua, Kopi Mandailing
telah tersohor. Di luar negeri, kopi ini lebih dikenal dengan nama Mandheling
Coffee. Kopi ini dijual dalam bentuk bubuk maupun biji. Sejarah mencatat bahwa
Belanda membawa kopi ke wilayah Mandailing yang kemudian dijadikan sebagai
pusat penanaman dan pengembangan kopi arabika.
***
PRIA itu bernama Tejo. Lengkapnya Tejo
Pramono. Ia adalah salah satu pemilik Rumah Kopi Ranin. Melalui brosur, aku
membaca kepanjangan Ranin sebagai “Rakyat Tani Indonesia.” Bersama sahabatnya
Uji, ia mengelola kedai kopi tersebut dengan memelihara ide yang unik. Mereka
tidak saja menyajikan kopi, namun juga pengetahuan tentang kopi, serta kekayaan
sosial budaya yang menjadi lahan tempat kopi tumbuh.
Mereka adalah alumnus Institut Pertanian
Bogor (IPB). Jika Uji belajar di Teknologi Pangan, maka Tejo di Mekanisasi
Pertanian. Keduanya dahulu tinggal di asrama yang sama. Ketika ada gagasan
untuk membuat kedai kopi bersama, mereka sangat antusias. Mereka adalah
penikmat kopi yang berusaha memahami segala hal tentang kopi.
Tejo sangat bersemangat ketika ditanya
tentang teknik penyajian kopi. Katanya, kedai Ranin memang sengaja menggunakan
alat manual. Kedai kopi ini berani melakukan inovasi dengan manual brewing untuk bersaing dengan
kafe-kafe lain yang menggunakan mesin espresso sebagai alat untuk membuat milk base coffee. Justru dengan
peralatan serba manual itu, kedai kopi ini menjadi unik. Yang ditawarkan adalah
orisinalitas serta sensasi menikmati rasa kopi sebagaimana di tempat asalnya.
“Pengunjung
di sini tak akan menemukan mesin espresso, karena kami tetap bertahan dengan
cara seduh menuang air panas langsung atau manual brewing” katanya. Aku lalu memperhatikan tempat penyajian kopi. Ternyata para
penikmat kopi bisa memilih alat seduh favorit mereka yang tersedia di situ
yakni french press, pour over, atau syphon dengan
harga hingga belasan ribu rupiah per cangkir.
Yang membuatku tercengang adalah kopi yang
disajikan di sini berasal dari banyak tempat di tanah air. Bahkan kopi Toraja
dan kopi Enrekang juga ada di sini. Dahulu, kopi ini sering kubeli dari penduduk
desa di kaki Gunung Bawakaraeng, puncak tertinggi Sulawesi Selatan, saat hendak
mendaki, kemudian menghirup aroma kopi itu sambil memandangi lembah yang
pemandangannya tak akan pernah kulupakan seumur hidup.
Tak hanya Toraja dan Enrekang. Di situ ada
juga kopi dari Bener Meriah, Gayo, Kotanopan Mandheling, Baraka (Enrekang,
Sulsel), Kintamani (Bali), Java Preangr, Humbang Hasundutan Linthong, Kepahyang
(Bengkulu), Java Preanger, Kalibendho (Banyuwangi), Toraja (Sulsel), hingga
Wamena (Papua).
Tejo, sang profesor kopi |
Kata Tejo, niat untuk mengumpulkan
berbagai kopi eksotik itu sama sekali bukan untuk bisnis. Dalam perbincangan
itu, ia menyebut sesuatu yang lebih substansial ketimbang sekadar kelangsungan
rumah kopi. Ia memiliki obsesi untuk membantu kehidupan petani kopi. Ia ingin mengangkat
suara-suara mereka yang selama ini terabaikan sehingga kelak bisa didengarkan
banyak orang. Bagiku, Tejo bukan saja profesor yang paham seluk-beluk kopi,
namun juga memelihara idealisme untuk melihat petani lebih sejahtera dan tidak
terjebak dalam kemiskinan yang disebabkan oleh mata rantai perdagangan kopi
yang tak adil.
Tejo mengingatkanku pada lelaki bernama
Chris Pine, pemilik Donkey Cafe, di Athens, Ohio, Amerika Serikat (AS). Setahun
silam, Chris mengajariku tentang bagaimana mengembangkan sebuah rumah kopi yang
didirikan di atas gagasan tentang perdagangan yang adil serta memihak bagi
kepentingan petani kopi di berbagai negara. Gerakan yang digagas Chris didukung
oleh banyak lembaga sosial, yang secara berjejaring sama-sama menolak
kapitalisasi kopi yang harganya ditentukan secara semena-mena oleh lembaga
eksportir kopi internasional.
***
“Bung,
silakan dicicipi kopinya,” kalimat Tejo membuyarkan lamunanku. Di hadapanku ada kopi Wamena yang
baunya amat harum menggoda. Aku melihat asap mengepul di kopi itu. Tiba-tiba
saja, ingatan tentang alam Papua langsung memenuhi kesadaranku. Kopi ini ibarat
portal yang membawaku untuk menelusuri indahnya Papua, hutan-hutan lebat, serta
fauna yang memenuhi bumi di kawasan timur Nusantara itu. Aku lalu mengangkat
cangkir itu, merasakan aromanya, lalu mendekatkannya ke bibirku.
Srrupp...!
0 komentar:
Posting Komentar