Sophie Lester (7), bocah kecil yang menginspirasi |
Di tanah kanguru itu, terselip kisah
tentang imajinasi seorang anak, serta orang-orang dewasa yang menghargai
imajinasi. Kisah itu tercermin pada surat-menyurat antara seorang anak kecil
kepada lembaga ilmu pengetahuan Australia yang meminta agar dibuatkan naga. Tak
disangka, kisah kasih itu tersebar luas hingga memikat hati banyak orang di
mana-mana. Bahkan surat itu juga memikat hari seorang sutradara Hollywood.
***
EMBUN masih basah ketika gadis kecil itu
mulai menulis surat. Sebelum berangkat sekolah, Sophie Lester (7), bocah manis
asal Queensland, memberanikan diri untuk menulis kalimat demi kalimat yang
demikian memikat. Ia menulis:
Hallo Ilmuwan tersayangNamaku Sophie. Aku berumur 7 tahun. Ayahku bercerita tentang para ilmuwan di CSIRO. Apakah mungkin jika kalian membuat seekor naga untukku? Aku akan sangat menyukainya jika kalian sanggup. Tapi jika kalian tak sanggup, tak apa-apa. Aku akan menamainya Toothless jika betina, namun jika naga itu jantan, aku akan menamainya Stuart.Aku akan menyimpannya di lapangan hijau di mana ada ruang yang cukup lebar. Aku akan memberinya ikan segar. Jika ia terluka, aku akan membalutnya sendiri. Aku akan bermain dengannya setiap minggu, ketika sekolah libur.Salam cintaSophie Lester
Menurut ibunya, Sophie memang menginginkan
sebuah naga sebagai hadiah untuk Natal. Sophie memang menggemari sosok naga
dalam film How to Train Your Dragon.
Makanya, ia ingin memberi nama naga itu Toothless, sosok naga dalam film
animasi itu. Ia telah beberapa kali merengek pada orangtuanya untuk meminta
naga. Dikarenakan orangtuanya merasa tidak sanggup memenuhinya, mereka lalu
menyarankan sang anak untuk mengirim surat ke SCIRO, lembaga riset milik
pemerintah Australia.
Surat itu pun sampai ke para ilmuwan
CSIRO. Jika di banyak tempat, surat seorang anak dianggap sebagai lelucon yang
tidak pernah diperhatikan, para ilmuwan CSIRO lalu membalas surat itu dengan
kalimat yang juga menenteramkan hati.
Dear SophieKami telah melakukan riset sejak tahun 1926, dan kami bangga atas apa yang telah kami capai. Kami mencapai banyak hal. Tapi kami lupa sesuatu. Kami belum pernah membuat naga. Selama lebih 87 tahun, kami belum pernah membuat naga ataupun telut naga. Kami pernah melihat naga jenggot timur melalui teleskop, juga pernah mengamati capung (dragonflies), dan pernah mengukur panas tubuhnya. Tapi kami belum pernah mengambil risiko untuk membuat naga sebagaimana terlihat dalam berbagai mitos, khususnya jenis yang mengeluarkan api.Kami minta maaf.
Surat itu demikian simpatik. Para ilmuwan
itu menghargai keinginan Sophie, lalu meminta maaf karena mereka tak sanggup
memenuhinya. Melalui blognya, para ilmuwan itu berkata, “Kami tak bisa duduk
diam. Kami telah berjanji pada Sophie untuk memenuhi keinginannya.” Tak hendak
mengecewakan Sophie, para ilmuwan itu lalu membuat sebuah mainan naga berwarna
biru dari bahan titanium di laboratorium mereka. Mainan itu diharapkan menjadi
penawar agar Sophie tidak kecewa.
naga dari titanium yang dihadiahkan kepada Sophie |
Apakah Sophie kecewa? Kata ibunya tidak. Anak itu malah sangat terinspirasi untuk jadi ilmuwan. “Semua teman-temannya juga berkeinginan kadi ilmuwan. Sophie bilang kalau mereka ingin bekerja di CSIRO sebab ilmuwan bisa melakukan banyak hal, “ kata ibunya kepada Canberra Times.
Surat menyurat itu menginspirasi banyak
orang. Situs The Hufftington Post
yang bermarkas di Amerika melaporkan bahwa berita tentang Sophie telah di-share
hingga ribuan kali. Banyak orang yang tersentuh oleh pelajaran kasih tentang
seorang anak yang memelihara imajinasinya, dan para ilmuwan yang merawat
imajinasi sang anak.
Surat itu juga terbaca oleh sutradara
Hollywood, Chris Sanders, yang menyutradarai film How to Train Your Dragon. Ia lalu menelepon ibu Sophie dan
menyampaikan kekagumannya atas surat itu. Ia juga meminta agar tim produksi
film itu mendiskusikan gagasan sang anak tentang Toothless yang berjenis
kelamin betina pada sekuel film itu. “Dia ingin tahu mengapa anak itu
menganggap Toothless adalah betina” kata ibu Sophie.
***
KISAH ini membuatku tersentuh. Pelajaran
penting yang bisa dipetik dari kisah ini adalah semua imajinasi anak, bahkan
seliar apapun, mesti diapresiasi. Jangan pernah mengabaikannya, apalagi
membentak lalu mengatakan anak itu bodoh. Sebab semua penemuan hebat selalu
lahir dari imajinasi seorang anak, yang kemudian setapak demi setapak
diwujudkan lewat kemajuan ilmu pengetahuan.
Aku teringat pada peristiwa yang
kusaksikan minggu lalu. Di dekat rumahku, ada seorang anak yang bertanya pada
orangtuanya tentang bisakah kita membuat tangga dan mendaki hingga ke langit.
Orang tuanya tak tahu hendak menjawab apa. Ketika anak itu bertanya terus, ia
lalu menampar anaknya sambil berkata, “Bodoh!”
surat Sophie yang menginspirasi |
Apa yang kusaksikan itu sangat kontras
dengan pengalaman bocah Australia itu. Bahwa kebudayaan kita seringkali
menempatkan seorang anak pada posisi yang dianggap tidak tahu apa-apa. Kita
sering tidak menyadari bahwa setiap rasa ingin tahu adalah tangga awal untuk
melesat maju di ranah ilmu pengetahuan. Tanpa menyuburkan rasa ingin tahu serta
menyiraminya dengan ilmu pengetahuan, tak akan pernah ada penemuan hebat dalam
sejarah kita hari ini.
Aku teringat pada studi yang dilakukan
Lise Gliot. Katanya, dalam kepala setiap anak terdapat lebih 10 triliun sel
otak yang tumbuh. Satu ketidakpercayaan serta bentakan bisa membunuh lebih 1
miliar sel otak. Sebaiknya, satu pujian atau pelukan akan membangun kecerdasan
lebih dari 1 triliun sel otak, saat itu juga.
Kata Gliot, pada diri seorang anak yang masih dalam
pertumbuhan otaknya yakni pada masa golden age (2-3 tahun pertama kehidupan),
suara keras dan membentak yang keluar dari orang tua dapat menggugurkan sel
otak yang sedang tumbuh. Sedangkan pada saat ibu sedang memberikan belaian
lembut sambil menyusui, rangkaian otak akan terbentuk dengan amat indah.
Pernyataan Gliot selaras dengan ungkapan penulis
Malcolm Galdwell bahwa sosok-sosok hebat sellau lahir dari kultur keluarga yang
selalu memberikan dorongan dan motivasi. Di balik sosok hebat, ada pelajaran
penting yang diberikan lingkungan sosial tentang bagaimana menumbuhkan semangat
untuk bekerja dan berprestasi.
Pertanyaan kritis yang kemudian muncul
adalah sudahkah kita memberikan apresiasi, dorongan besar, serta pelukan hangat
kepada anak-anak di sekitar kita? Sudahkah kita mengasihi dan berusaha menjawab
semua rasa ingin tahu yang mereka pancarkan dan memandang setiap pertanyaan
mereka adalah dorongan besar untuk tumbuh dan kelak memberi warna bagi zaman?
0 komentar:
Posting Komentar