ilustrasi |
DAHULU, aku amat percaya kalimat bahwa
keajaiban tak perlu ditunggu. Ia harus dijemput, bagaimanapun caranya. Di
berbagai training motivasi sering diajarkan bahwa mimpi harus digenggam
erat-erat, kemudian digapai. Segala rintangan haruslah disingkirkan. Semua
orang harus bekerja keras demi mimpi dan keajaiban itu.
Belakangan ini, aku mulai ragu dengan
pendapat itu. Ternyata, keajaiban tak perlu dikejar-kejar dengan upaya setinggi
langit. Ia cukup ditunggu. Ia pasti akan datang sendiri ketika kita menyiapkan
diri untuk itu. Benarkah demikian?
Kehidupan menyimpan banyak misteri yang
amat sukar ditebak. Salah satu misteri itu adalah pertemuanku dengan seorang
pebisnis Liem Khoen Hian saat berkunjung ke Phuket, Thailand. Kami sama-sama
ikut dalam rombongan yang menjelajah negeri gajah putih. Lelaki itu menjelaskan
kepadaku tentang keajaiban. Ia memberi mantra sederhana, “Lakukan sesuatu
secara konsisten. Maka pastilah keajaiban akan datang sendiri. Ia akan mengetuk
pintu rumahmu.”
Mungkin Liem adalah seorang pembual. Akan
tetapi, berkat bualannya itu, ia kini memiliki sekitar 17 anak perusahaan yang
bergerak di bidang media dan publikasi. Bisnisnya merambah ke mana-mana.
Ternyata rahasia keberuntungannya di dunia bisnis tu simpel yakni lakukan
sesuatu secara konsisten. Tak perlu promosi. Tak perlu jual kecap ke mana-mana.
Yakinlah, keberuntungan itu akan datang sendiri, sepanjang kita konsisten.
Pertanyaannya, apakah yang dimaksud dengan
konsistensi? Aku punya definisi sederhana. Konsisten adalah kemampuan untuk
selalu bertahan di atas satu titian lurus yang setiap saat diterjang ombak-ombak
besar. Konsistensi adalah keikhlasan untuk selalu belajar dan meyempurnakan
diri sehingga langkah kaki menjadi mantap dan terbiasa. Lupakan tujuan. Jalani
hari ini dengan konsisten. Maka keajaiban akan datang. Tak percaya?
Dua minggu setelah kembali dari Thailand,
aku merasakan langsung makna dari konsistensi. Tanpa direncanakan, seorang sahabat memperkenalkanku
dengan seorang akademisi di Bogor. Kami lalu berbincang-bincang, sesuai menonton sebuah
film di satu bioskop besar. Tanpa pernah kubayangkan, akademisi itu lalu menawariku
untuk bergabung di kampusnya, sehari setelah menonton film. Ia tak perlu
mewawancarai atau menanyakan kecakapanku. Ia tia-tiba saja mengenaliku dan
langsung membawakan keajaiban. Ia melihat konsistensi pada berbagai kalimat-kalimat yang pernah kutuliskan.
Ajaib! Sejak pertama kuliah, aku meyakini
bahwa bekerja di perguruan tinggi adalah keajaiban. Sungguh menyenangkan bisa
menjadi bagian dari proses penemuan diri dan proses mengasah ilmu pengetahuan
demi zaman yang lebih baik. Perguruan tinggi aalah rahim tempat bersemai dan
tumbuhnya berbagai gagasan-gagasan. Perguruan tinggi adalah tempat merancang masa depan, tak saja masa depan mahasiswa, namun juga gagasan-gagasan serta masa depan bangsa.
Aku memendam lama impian untuk bekerja di
dunia kampus. Ketika lulus kuliah, jalan ke arah impian itu amatlah berliku. Di satu kampus, aku mesti menjadi asisten yang tak digaji demi satu kursi akademisi. Itupun tak ada jaminan. Ada seorang senior yang menjadi asisten selama lebih 11 tahun. Aku tak ingin menjadi dirinya. Aku lalu banting str menjadi jurnalis, peneliti, ataupun pekerja sosial. Terakhir, aku jadi bagian dari birokrasi pemerintahan di kampung halamanku sendiri, tempat yang jauh dari hiruk-pikuk dan dinamika banyak orang.
Tapi aku tak pernah patah arang. Aku meyakini bahwa seringkali ada banyak jalan memutar untuk menggapai tujuan kita. Seringkali ada banyak persimpangan tempat kita berteduh, lalu pelahan-lahan menguatkan langkah ke arah tujuan.
Tapi aku tak pernah patah arang. Aku meyakini bahwa seringkali ada banyak jalan memutar untuk menggapai tujuan kita. Seringkali ada banyak persimpangan tempat kita berteduh, lalu pelahan-lahan menguatkan langkah ke arah tujuan.
Meskipun berkarier jauh dari dunia
akademisi, aku tak henti menganyam mimpi. Secara konsisten aku masuk ke dalam
dunia gagasan-gagasan, mereproduksinya lewat catatan sederhana, serta
menghadiri beberapa konferensi ilmiah. Tak hanya itu, aku juga mengasah diri
dengan cara belajar di satu perguruan tingi besar Amerika Serikat (AS). Aku
belajar untuk konsisten untuk mengasah diri sebab aku menyukai hal-hal tersebut.
Konsistensi sering meminta sejumlah
prasyarat. Yang paling sulit adalah menjawab pertanyaan orang mengapa kita
melakukan sesuatu yang tak biasa. Dalam dunia karier birokrasi yang kutempuh,
melakukan aktivitas seperti menulis dan membaca adalah sesuatu yang tak
lazim. Banyak orang yang hanya ingn
melakukan tugasnya, tanpa melakukan sesuatu yang menjadi hobi.
Seperti kata Liem, keajaiban memang
datang. Aku tak perlu menjemputnya ke mana-mana. Beberapa karyaku terpilih
sebagai juara. Sebuah lembaga lingkungan internasional mengganjar tulisanku
sebagai pemenang kompetisi. Portal social blog terbesar di tanah air
menganugerahiku penghargaan sebagai penulis terbaik. Tak hanya itu, sebuah kementerian
juga memberikan hadiah sebagai penulis esai terbaik. Di beberapa ajang lainnya,
namaku banyak disebut.
Puncaknya adalah undangan bekerja di
sebuah perguruan tinggi besar yang datang secara tiba-tiba, sesuai menonton
film. Inilah mimpi yang lama kuanyam. Inilah profesi yang paling kuidam-idamkan selama bertahun-tahun. Aku tak sanggup melukiskan betapa inginnya aku bekerja di perguruan tinggi, bekerja dengan gagasan-gagasan, menghadapi rasa ingin tahu yang terus menggelegak dari hari ke hari. Sungguh bahagia ketika impian itu terwujud tanpa harus bekerja keras menggapainya. Keajaiban itu datang sendiri ketika aku menjadi pribadi yang menyiapkan diri ke arah itu.
Kawan akademisi itu amat serius dengan tawarannya. Ia lalu memberikan sepucuk surat dari kampusnya sebagai tanda diterima, yang harus kubawa ke daerah demi untuk diproses. Kini, aku sedang membenahi beberapa berkas yang akan kubawa ke tempat kerja yang baru. Jika tak ada halangan, dalam waktu beberapa minggu lagi, aku akan tinggal di kota yang nyaris sama dengan kota yang sebelumnya ingin kutinggai, yakni kota di pinggiran, tak seberapa ramai, ada banyak pegunungan, serta tak begitu jauh dari urat nadi informasi di kota-kota besar.
Kawan akademisi itu amat serius dengan tawarannya. Ia lalu memberikan sepucuk surat dari kampusnya sebagai tanda diterima, yang harus kubawa ke daerah demi untuk diproses. Kini, aku sedang membenahi beberapa berkas yang akan kubawa ke tempat kerja yang baru. Jika tak ada halangan, dalam waktu beberapa minggu lagi, aku akan tinggal di kota yang nyaris sama dengan kota yang sebelumnya ingin kutinggai, yakni kota di pinggiran, tak seberapa ramai, ada banyak pegunungan, serta tak begitu jauh dari urat nadi informasi di kota-kota besar.
Selangkah lagi, aku akan menjemput impian
yang lama kupendam. Aku akan menggapai dunia yang kuidam-idamkan. Aku akan
bekerja keras agar berhasil di dunia itu. Aku akan mewarnai hariku dengan
segala tantangan kerja baru, serta menggapai kebahagiaan di manapun kakiku
memijak.
Semoga Yang Maha Menggenggam tak akan
pernah melepaskan genggaman tangannya kepadaku.
2 komentar:
Selamat dan sukses selalu
Tulisannya selalu mengispirasi "Semoga yang Maha Menggenggam tak akan pernah melepaskan genggaman tangannya padaku"...Sukses slalu
Posting Komentar