Butuh Studi Kritis Atas Buton


seorang gadis Buton

DALAM setiap diskusi, anak muda itu selalu bercerita tentang tanah Buton yang akan menaklukan dunia. Ia mengutip ajaran nenek moyang Buton bahwa pada masanya kelak akan ada banyak bendera asing yang berkibar di tanah ini, akan ada rahasia-rahasia yang terbuka di tanah ini, akan ada satu mukjizat yang jatuh dari langit tentang betapa hebatnya tanah Buton.

Dua bulan terakhir ini, aku kerap berinteraksi dengan para mahasiswa di Kota Baubau. Kami serng bertemu dan mendiskusikan banyak hal. Kepada mereka, kukisahkan tentang beberapa pandangan baru dalam teori sosial yang pernah kubaca. Mereka menyenangi diskusi tentang banyak topik. Kesukaan mereka adalah ketika diskusi tentang budaya, khususnya budaya Buton. Ketika membahas budaya, mata mereka akan berbinar-binar. Mereka akan sanggup diskusi hingga berjam-jam demi membahas banyak hal tentang budaya.

Hanya saja....

Kulihat mereka terjebak pada pandangan bahwa kebudayaan Buton yang paling unggul. Mereka benar-benar percaya bahwa kebudayaannya adalah nomor satu dan menjadi kunci-kunci pembuka rahasia dunia. Mereka meyakini sesuatu yang tidak punya data valid dalam berbagai teks sejarah. Mereka suka mengutip kalimat seorang orientalis yang pernah berkata bahwa sistem pemerintahan Kesultanan Buton adalah sistem terbaik di dunia. Mereka amat setuju dengan kalimat seorang antropolog bahwa orang Buton salah satu manusia jenius di dunia.

Sebenarnya hal ini tidak masalah. Bukankah tanpa harapan-harapan mengenai masa depan manusia hari ini tak akan sanggup membangun masa kini yang gemilang? Bukankah tanpa visi masa depan, yang digali dari khasanah masa silam, manusia hari ini tak akan sanggup menentukan arah dan gerak peradaban?

Hanya saja, pemikiran ini bisa menempatkan mereka dalam satu tempurung yang selalu menganggap realitas sosial sebagaimana apa yang mereka saksikan. Ketika suatu saat mereka keluar dari tempurung itu, maka terkejutlah mereka ketika mengetahui bahwa di tempat lain, apa yang mereka yakini justru dilihat kecil, atau malah tidak dikenali sama sekali.

Yang kurasakan setiap kali berdiskusi adalah cengkeraman yang sangat kuat dari pemikiran yang selalu meromantisir atau mengidealisasi sesuatu. Berpikir dalam term seperti itu membuat seseorang kehilangan daya kritis, seringkali gagap ketika disodorkan data-data dan cuplikan realitas, atau malah serngkali tak percaya ketika diajak berpikir realistis dengan melihat berbagai indikator di masa kini.

Dalam banyak diskusi dengan anak-anak muda itu, saya lebih suka mendengarkan. Sesekali saya mengajukan beberapa pertanyaan kritis mengenai apa yang harus dilakukan untuk bisa memimpin dunia, atau di manakah posisi manusia Buton di tengah percaturan politik dan intelektual, baik di ranah global maupun di ranah lokal. Apakah orang lain mengenali kita? Ataukah cerita kehebatan diri kita adalah sesuatu yang kita reproduksi sendiri, kemudian kita ulang-ulang?

Aku teringat pada tulisan Tania Murray Li tentang elemen nostalgik yang sering mengaburkan pandangan peneliti. Kata Li, semua peneliti seringkali meromantisir masyarakat yang ditelitinya sehingga menganggap segala yang dilihatnya sebagai hal yang eksotik dan ideal. Celakanya, seringkali, daya-daya kritis kerap tumpul sehingga analisis yang muncul justru amat kering dari fakta-fakta obyektif.

Jika Li menyampaikannya dalam konteks penelitian, maka aku melihat ujaran itu juga hidup dalam satu masyarakat. Seringkali kebudayaan menghadirkan rasa bangga yang berlipat-lipat sehingga penganut satu kebudayaan menganggap kebudayaannya sebagai yang terhebat, teragung, dan kelak akan memimpin dunia.

Makanya, pandangan-pandangan kritis sangat diperlukan demi tetap menjaga agar sebuah pemikiran tetap membumi dan tidak keasyikan tinggal di langit imajinasi. Yang perlu dilakukan adalah melakukan pengayaan pengetahuan. Beberapa kali aku menyarankan mereka untuk membaca beberapa catatan metodologis tentang sejarah. Mereka mesti memahami studi-studi kritis yang kelak akan bisa membuat mereka melihat sisi lain dari setiap reproduksi pengetahuan.

Memahami konsep berpikir serta logika dalam melihat sejarah akan selalu membuat mereka lebih hati-hati dalam membuat setiap pernyataan. Belajar metodologi juga membuat mereka akan lebih kreatif dalam mencari berbagai sumber-sumber pengetahuan baru untuk didialogkan dengan pengetahuan yang sebelumnya telah mereka ketahui.

Mereka yang muda itu adalah mereka yang sedang belajar memahami satu bentang kenyataan. Aku yakin kelak mereka akan menemukan sendiri langkah-langkah kakinya di jalan lurus ilmu pengetahuan. Kelak mereka akan mewarnai zamannya dengan berbagai pemikiran-pemikiran baru. Semoga mereka menjadi intelektual masa depan.



0 komentar:

Posting Komentar