parade saat Halloween |
MALAM
itu, semua orang datang dengan mengenakan kostum. Ada yang memakai kostum
drakula, penyihir, dan mayat hidup atau zombie yang berjalan dengan tubuh
dibalsem. Semua berusaha tampil dengan dandanan yang menakutkan. Namun, ada
juga yang datang dengan pakaian unik-unik, meniru superhero atau tokoh-tokoh
kartun. Malam Halloween menjadi malam ritual yang menandai berakhirnya musim
panas ke musim dingin.
Aku
tak pernah bisa merasakan spirit Halloween. Bagiku, malam ini identik dengan
pesta kostum yang aneh-aneh. Sebatas itu. Namun bagi para mahasiswa Amerika, malam
ini adalah malam yang penuh kegembiraan. Mereka akan membentuk tim, lalu
mengenakan pakaian aneh dengan tema tertentu. Mereka mengusung semangat untuk
tampil beda dan membuat kagum semua orang.
Aku
pun ikut larut dalam pesta kostum itu. Apalagi, Dwi dan bayi Ara telah membeli
kostum Halloween sejak beberapa hari sebelumnya. Dwi membeli topi sihir dengan
rambut palsu sebagaimana topi yang dikenakan Albus Dumbledore dalam serial Harry Potter. Ara telah
dibelikannya baju peniyihir cilik lengkap dengan topi serta tongkat sihir yang
di ujungnya terdapat kupu-kupu. Malam ini, kami ingin menjadi bagian dari
mereka yang membuat kota ini jadi semarak dengan pesta kostum.
topeng iblis |
Dw dan Ara bersama Mario Bros |
bersama Putri Salju |
Karena
tak punya kostum, aku lalu singgah di satu tokoh kecil. Kubeli topi beruang
putih yang lengkap dengan kupingnya. Kupikir, topi ini tidak hanya dipakai saat
Halloween. Topi ini akan sangat berguna untuk menghadapi musim dingin. Maka
jadilah aku seekor beruang putih yang bisa mengaum demi menakutkan mangsa.
Aumm!
Di
Court Street, Athens, aku melihat parade. Banyak yang memakai pakaian ala
iblis. Namun, ada juga yang hanya melihat-lihat. Aku lalu mengambil gambar Dwi
dan Ara dengan Putri Salju yang sedang melintas. Sempat pula kuambil gambar
beberapa orang dengan dandanan aneh. Nampaknya, semua orang dengan senang hati
untuk difoto. Maklumlah. Mereka sedang tampil gaya.
Di
persimpangan dekat gereja, ada beberapa orang yang memikul salib. Mereka juga
menempel beberapa poster yang berisikan pesan-pesan keagamaan. Aku lalu singgah
ke situ. Mereka datang berjabat tangan sambil mengagumi topeng beruang putih
yang kuekanakan. Setelah mengambil gambar, aku lalu berbincang dengan seorang
bapak tua yang berjengoot putih.
“Apa maksud tulisan-tulisan ini?”“Saya ingin mengingatkan semua orang untuk mengingat Jesus,”“Kenapa dilakukan saat Halloween?”“Semua mesti mengingat Tuhan pada saat apapun,” katanya.
Setelah
itu ia balik bertanya padaku. “Siapa Tuhanmu? Apa tujuan hidup di dunia?” Ia
menanyakan banyak hal. Aku memlih tak menjawab. Demi tak mengecewakannya, aku
lalu menjawab singkat, “I’m sorry. I can’t speak English.” Diskusi selesai.
Mana mungkinlah dia menceramahi seseorang yang tak paham bahasanya. Hmm. Ini
strategi bagus.
Mengapa harus ada Halloween? Seorang sahabat asal Kolombia
menjelaskan kalau Halloween adalah tradisi dari bangsa Kelt, penduduk Eropa
Tengah, yang kemudian terbawa ke Amerika. Bangsa Kelt, yang menganut pagan atau
animism, mengadakan festival untuk menyambut musim dingin. Mereka menyembelih
ternak dan menyimpan daging untuk persediaan musim dingin.
salib di tengah jalan |
pesan religius di jalan raya |
Selanjutnya,
bangsa Galia kuno (terletak di Irlandia) meyakini bahwa setiap tanggal 31
Oktober, mesti ada perayaan untuk menandai berakhirnya musim panas (sering disebut
musim terang) dan masuknya musim dingin (sering disebut musim gelap). Pada
perayaan itu, diadakanlah makan bersama atau pesta shamain. Mereka mengjndang
arwah nenek moyang. Nah, seringkali arwah mahluk jahat ikut hadir. Demi
mengusir arwah jahat, mereka lalu berpakaian seseram mungkin, sehingga arwah
itu ketakutan.
Konon, pada
masa itu, pihak gereja lalu berusaha menghentikan tradisi ini, Gereja mengadopsi perayaan Samhain menjadi Hari Para Orang Suci atau
yang disebut All Hallows Evening,
dengan harapan para penduduk Galia di masa itu akan meninggalkan perayaan
tersebut. Dari nama All Hallows Evening, penduduk menyingkatnya menjadi
Hallow’s Even, dan semakin lama nama tersebut disingkat sehingga menjadi
Halloween.
Memang, perayaan ini bermula dari sebuah mitologi, yang kemudian menjadi
ritual tahunan pada masyarakat modern. Makanya makin hilang, namun perayaan ini
kian menegaskan bahwa batas antara abad modern dan abad mitos hanyalah setipis
kulit bawang. Tradisi silam bisa hadir di masa kini, dengan kemasan beda, namun
telah lama kehilangan ruh atau substansi.
Aku bukan termasuk mereka yang merayakan Halloween dengan meriah. Bukan
juga bagian dari kelompok gereja yang mencoba untuk mengingatkan pesan
spiritual di tengah perayaan. Aku hanya seorang penyaksi yang datang berkunjung
ke jantung kebudayaan barat sembari belajar sesuatu.
penyihir cilik dan beruang putih |
bersama Minion, tokoh dalam film Despicable Me |
Mario cantik |
Satu hal yang kusenangi adalah kemeriahan serta tradisi yang menyentuh
banyak orang. Bahkan anak-anak kecil sekalipun berdandan dengan selucu mungkin.
Beberapa hari sebelum Halloween, mereka akan berkeliling rumah-rumah sambil
berteriak “Trick or Treat!.” Mereka meminta permen atau coklat. Jika kamu tak
memberinya, maka mereka akan mengotori depan rumah dengan tisu atau melempar
sabun cair.
Sekarang, mereka tak lagi mengotori. Mereka hanya bercanda sambil
meminta permen. Aku suka melihat kemeriahan itu. Bahkan si kecil Ara juga
senang dnegan pakaian peyihir yang unik itu. Mungkin pakaian itu bermaksud agar
dirinya Nampak seram. Namun bagaimana mungkin aku ketakutan pada wajah yang
jika tersenyum, langsung memenuhkan bahagia di hati ini. Mana mungkin aku takut
pada wajah lucu itu?
Sayang, aku hanya sejam di Court Street. Dingin mulai membekukan tulang.
Konon, Halloween bisa membekukan rasa. Bisakah Halloween membekukan rasa rindu
yang terus gemuruh memenuhi dada ini?
Athens, 31 Oktober 2012
0 komentar:
Posting Komentar