Perginya Seorang Gadis Jepang

saat bersama Yukina

AKU baru mengenalnya setahun. Namanya Yukina Hino. Ia seorang gadis Jepang yang sangat ceria. Entah kenapa, keceriaan tak pernah bergeser pada gadis-gadis Jepang yang kukenal. Selain Yukina, aku juga mengenal Shino. Keduanya bak rembulan yang senantiasa tersenyum. Keduanya menjalin persahabatan dengan semua orang, tanpa memilih-milih siapa yang jadi sahabatnya.

Yukina serupa sakura di musim semi. Wajahnya senantiasa berseri-seri. Pada tahun pertama perkuliahan, aku beberapa kali duduk di dekatnya. Aku menikmati saat-saat ketika dirinya tersentak saat aku menyebutkan sejumlah komik Jepang yang populer di Indonesia. Kepadanya kusebutkan Astro Boy karya Osamu Tezuka, Dragon Ball, Sailor Moon, hingga serial yang paling kusukai yakni petualangan samurai bernama Kenshin Himura dalam kisah Samurai X.

Saat kusebutkan semua serial itu, Yukina menatapku dengan pandangan seolah tak percaya. Makanya, dengan berani kusimpulkan, kalau tak semua orang Jepang memahami bahwa kebudayaannya menyebar ke seluruh dunia melalui produk-produk kebudayaan pop semisal komik, kartun, atau animasi.

Tak semua generasi muda Jepang paham bahwa seluruh dunia mengenali mereka lewat kisah-kisah animasi yang kadang menegangkan seperti Dragon Ball, atau kisah komik yang amat filosofis sebagaimana serial Buddha yang dilukis Osamu Tezuka.

saat bersama Shino

Selain Yukina dan Shino, aku juga akrab dengan seorang mahasiswa Jepang yakni Kentaro. Ia juga tipe yang amat periang. Katanya, ia tak nyaman kuliah di Cultural Studies. Ia lebih suka belajar di program linguistik. Saat mengambil kelas filsafat, aku bisa merasakan kalau ia tak nyaman membahas filsafat dan pemikiran manusia di rimba filosofis.

Ada kesamaan pada sahabat-sahabat Jepang yang kukenal. Mereka tak begitu suka dengan tradisi ilmu sosial dan humaniora. Mereka tak suka dengan refleksi mendalam serta menjelajah dan menginterpretasi prilaku manusia. Mereka suka dengan sains yang positivistik. Mereka suka matematika serta analisis dengan formula atau rumus-rumus matematika.

Makanya, saat kami disuruh memilih jenis riset, Yukina dengan yakin memilih kuantitatif, pada saat sebagian sahabat memilih kualitatif. Saat itulah aku sering melihat Yukina menghabiskan waktu hingga berjam-jam di kafe Donkey. Ia menulis, mencatat, serta menghitung dengan kalkulatornya.

Untuk soal disiplin, aku amat mengaguminya. Ia tipe petarung yang menghadapi ujian serupa samurai yang bersiap menghadapi peperangan. Hari-harina diisi dengan membaca dan menulis di perpustakaan. Tak hanya Yunina, Shino pun demikian. Untuk soal disiplin, aku mengangkat jempol kepada mereka.

bersama gadis Jepang saat International Fair
gadis manis berkimono

Hari ini, aku dan beberapa sahabat menerima email dari Yukina. Setelah kembali dari Jepang, ia akahirnya tiba pada putusan untuk meninggalkan kampus. Menurutnya, ini adalah jalan terbaik, yang sudah dipikirkannya sejak lama. Kami semua bertanya ada apa gerangan. Ia hanya bercerita singkat kalau ia ada masalah dengan kesehatan, serta ingin bersama keluarganya.

Keputusan ini terlampau cepat. Namun, aku yakin kalau ia telah memperhitungkannya dengan matang. Aku yakin ia bukan tipe yang tergesa-gesa dalam membuat keputusan. Apapun yang dipilihnya, maka itu lahir dari pertimbangan yang matang, serta kejernihan berpikir yang muncul dari proses menimbang-nimbang pilihan terbaik.

Pada titik inilah aku mengapresiasi Yukina. Sungguh amat sayang karena dirinya meninggalkan kampus di musim gugur in. Aku amat berharap agar ia masih lebih lama di sini. Setidaknya, hingga musim semi tiba, dan sakura-sakura di tepi sungai Athens akan bersemi. Sakura yang seindah senyumnya.(*)


Athens, 2 September 2012

0 komentar:

Posting Komentar