Bocah Kecil yang Melihat Peluru

 
suasana Gaza

ANAK itu terbangun di pagi hari. Namanya Bashar Al Anshar. Ia lalu membasuh tangan dan kaki lalu salat dua rakaat. Salatnya belum usai ketika langit tiba-tiba memerah dan suara berdentuman. Bukan memerah karena fajar menyingsing, namun memerah karena bom yang berdenyar dengan suara yang memekakan telinga.

Bashar tak lantas berlari ke dalam sebuah bungker, sebagaimana pernah dilakukan pemimpin Irak, Saddam Husein. Bashar tetap melanjutkan shalat. Ia menengadah ke langit dengan mata yang menetskan air mata satu demi satu. Ia berharap bahwa langit akan memuntahkan bala kepada pihak yang sedang membom kawasan Gaza. Bashar berdoa dengan mata berlinang.

“Duhai Dirimu yang berdiam di langit sana. Kumohon agar engkau mendatangkan burung yang membawa batu panas, sebagaimana pernah kau kriimkan pada tentara Abrahah yang hendak menyerah Mekah. Turunkanlah azab kepada mereka, sebagaimana kau turunkan pada mereka yang pernah mengingkari-Mu.”

Hari-hari terakhir ini, Gaza adalah lautan api. Kawasan itu menjelma menjadi ladang api yang dipenuhi jerit tangis manusia. Bom berjatuhan dan tanpa ampun meluluhlantakkan tempat itu. Malaikat maut seakan hadir dalam sosok bengis yang berkuda sambil mengayunkan kampak demi memenggal manusia-manusia tak berdosa.

Namun, di tengah dentuman bom dan isak tangis manusia yang menyayat, Bashar tetap berdoa dengan nada lirih, dengan suara yang seakan berbisik-bisik.

“Duhai Engkau Yang Maha Lembut. Bukankah Engkau mengasihi kami yang selalu membasahi lidah demi menyebut nama-Mu? Bukankah Kau sedemikian menyayangi kami sehingga tak ikhlas membiarkan kulit kami disentuh peluru-peluru itu, sebagaimana diri-Mu pernah menyelamatkan Ibrahim dari api yang menyala-nyala?”

Bashar lalu membuka mata. Usai berdoa, Bashar lalu memanggul senjata. Ia ingin mempertahankan satu-satunya yang dimilikinya. Ia akan bertarung sehebat-hebatnya. Ia akan mempertahankan selapis kehidupan yang digenggamnya saat ini. Ia juga ingin melindungi beberapa orang yang dikasihinya.

Bashar adalah si kecil yang bertarung nyawa. Usianya baru 15 tahun. Mungkin di masa depan, ia bisa menjadi insinyur atau dokter yang bermakna bagi kemanusiaan. Namun ia tak ingin berlarut-larut demi memikirkan masa depan. Yang ada adalah hari ini. Gaza mencatat satu tragedi tentang semangat juang yang tak kunjung padam. Namun manusia-manusia di sana bukanlah mereka yang mudah jatuh hanya karena peluru. Tak mudah kalah hanya karena pecahan bom.

Bashar lalu menatap lurus ke depan. Ia lalu keluar rumah dengan senjata. Tak lama kemudian, sebuah bunyi keras menyentak kesadarannya. Ia seakan melihat sebuah peluru yang melesat lurus lalu menembus sesuatu. Tiba-tiba dadanya basah. Hiks! Peluru itu telah menembus dadanya sendiri. Sayup-sayup, ia masih mendengar tangisan bayi yang melengking di ujung sana.



Athens, 20 November 2012
Saat membayangkan Gaza

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Bakar bendera profilnya abang....

Posting Komentar