Duber RI untuk AS, ino Patti Djalal, saat meluncurkan buku Life Stories |
DI
tengah sunyi senyap kota Athens, karena penduduknya pergi merayakan thanksgiving, aku menuntaskan buku berjudul Life Stories: Resep Sukses dan Etos
Hidup Diaspora Indonesia di Negeri Orang. Buku ini memuat kisah tentang para
perantau Indonesia di Amerika, yang kemudian sukses menjadi ‘orang’ ketika tiba
di tanah air.
Buku
yang dieditori Dubes Indonesia untuk Amerika Serikat (AS) Dino Patti Djalal ini
adalah bunga rampai yang isinya adalah pengalaman mereka yang merantau, lalu
kembali ke tanah air demi menerapkan pengetahuan. Mereka yang kembali kemudian
sukses menjadi pejabat atau pesohor.
Buku
ini cukup menarik. Namun setelah membaca pengalaman beberapa tokoh, aku
tiba-tiba menemukan satu hal yang janggal. Nampaknya, mereka yang pengalamannya
ditulis di buku ini cenderung seragam. Maksudku, rata-rata mereka adalah mereka
yang cerdas, atau mereka yang kaya, sehingga mendapatkan kesempaan mudah untuk
ke Amerika.
Banyak
yang memang terlahir dari keluarga kaya, sehingga mudah saja mendapatkan tiket
dari orangtuanya untuk ke Amerika. Memang, mereka jelas bekerjakeras untuk
mencaai impiannya, akan tetapi mereka memulai starting point yang berbeda
dengan orang kebanyakan. Wajar saja jika mereka kemudian sukses dan unggul
ketika kembali ke tanah air.
Rata-rata
yang ditulis di buku ini adalah mereka yang cerdas. Tak punya kendala berbahasa
Inggris, serta mudah beradaptasi. Kisah dari tokoh-tokoh di sini jadi agak
monoton. Semua bercerita tentang prestasi. Semua bercerita tentang hal yang
baik-baik saja. Kehidupan menjadi amat simple. Anda datang, anda berusaha, lalu
anda menang.
Sebagai
pembaca, buku ini jadi hambar. Aku hanya membaca separuh, kemudian memutuskan
untuk berhenti membacanya. Sejujurnya aku berharap lebih. Aku berharap agar
mereka yang dimuat kisahnya bukan cuma mereka yang menempati titik puncak dari
karier-karier di tanah air. Aku berharap ada sedikit variasi dengan profil
mereka yang merindu Indonesia, bertarung dengan nasib di negeri orang, hingga
akirnya hidup lalu menempatkannya di satu titik.
Kita
tak harus membahas sukses atau kisah hebat. Tapi kita ingin menangkap denyut
nadi dari banyak rupa-rupa manusia yang secara nekad berangkat ke luar negeri
demi menebar jejaring harapan. Bukankah skenario kehidupan ini amat beragam?
Mengapa pula kita hanya mengangkat satu keping kenyataan?
Aku jauh lebih suka membaca buku Impian Amerika yang ditulis Kuntowijoyo. Buku ini
memotret kisah-kisah orang Indonesia, baik yang sengaja datang, tidak sengaja
terdampar atau mereka-mereka yang nekad untuk ke luar negeri. Melalui buku
Impian Amerika itu, Kunto hendak memapar banyak potret atau gambaran tentang
warga Indonesia yang berdiaspora ke negeri asing. Mereka tak selalu sukses,
malah banyak yang kemudian berjibaku di jalan-jalan sebagai warga biasa atau
mungkin sebagai pengangguran, namun memelihara semangat serta kecintaan yang
dahsyat kepada tanah air.
Maafkan
atas pengakuan ini. Ibarat makanan, buku Life Stories kehilangan gizi sebuah kisah yakni daya tahan
manusia yang berusaha untuk menemukan jalan nasibnya. Tak semua sukses. Tak
semua seindah kisah-kisah dongeng.
Namun
lewat pergumulan mereka dengan nasib, kita bisa belajar banyak tentang watak
dunia serta manusia-manusia yang berdialektika di dalamnya. Kita bisa belajar
banyak tentang manusia dan kemanusiaan, lalu mencari posisi kita di tengah peta
besar bernama kemanusiaan itu.(*)
Athens, 22 November
2012
2 komentar:
makanya Yus, lebih baik tulis buku sendiri tentang Orang Miskin Belajar di Amrik..hehe.. kalau mau edit, nanti saya ikut nyumbang tulisan juga..
Saat di Athens, dapat buku Life Stories ini darimana Mas Yus? Versi e-book atau hard copy?
Posting Komentar