Wayang Bali Terbang Hingga Ohio

-->
Dr William Condee saat sedang mendalang

JIKA di Bali, pagelaran wayang dilangsungkan dalam bahasa Bali, maka di Amerika Serikat (AS), saya menyaksikan pagelaran wayang Bali yang dipentaskan dalam bahasa Inggris. Suasananya sangat menarik, menghibur, serta penuh dengan makna. Dalangnya adalah pengajar teater yang pernah menimba ilmu di Bali. Ia paham filosofi wayang Bali serta memahami makna kisah-kisah pewayangan. Dalang itu adalah Prof William Condee.

Seminggu silam, saya menyaksikan pagelaran wayang kulit di Alden Library, kampus Ohio University at Athens, di negara bagian Ohio, Amerika Serikat (AS). Di situlah pertama kali saya menyaksikan William Condee, seorang bule asli Amerika yang amat fasih menjelaskan wayang Bali dengan segala kisah dan filosofinya. Menariknya, sebelum mulai mendalang, ia bercerita tentang filosofi serta mengapa dirinya tertarik dengan wayang Bali.

Hari itu, saya menyaksikan Condee mempresentasikan wayang dengan mengenakan batik serta sarung khas Bali. Ia juga menampilkan layar untuk pagelaran wayang yang telah dimodifikasinya sendiri. Ia mengatakan bahwa di Bali, wayang ditancapkan di batang pisang, sebab memiliki karakter self healing atau penyembuhan sendiri. Usai ditancap lalu dicabut, batang pisang itu akan menutup kembali. Dikarenakan tak ada batang pisang di Ohio, maka ia menggantinya dengan styrofoam.

Acara ini disaksikan oleh puluhan mahasiswa dan pengajar di Ohio University. Di kampus ini, terdapat program kajian Asia Tenggara, yang sukses menelurkan beberapa peneliti yang kemudian mewarnai kancah kajian tentang Asia Tenggara, termasuk Condee.

Melihat dirinya menjelaskan wayang, saya seolah melihat seorang maestro kesenian Bali yang menjadikan seni sebagai darah yang mengalir di tubuhnya. Cara bertuturnya amat halus, seolah telah lama berguru di satu padepokan, dan kemudian turun gunung untuk berbagi pengetahuan. Sebagai professor yang bertahun-tahun mengajar teater, ia memahami dengan amat baik tentang berbagai jenis teater kontemporer di berbagai negara. Namun uniknya, ia justru jatuh cinta pada pagelaran wayang kulit di Bali.

“Sebelum ke Bali, saya mengajar teater di Amerika selama lebih 15 tahun. Namun saat ke Bali dan melihat wayang kulit, saya baru sadar kalau ternyata saya belum paham teater. Semua yang saya lihat di Bali telah meruntuhkan semua konsep yang saya ketahui tentang dunia pertunjukan. Saya akhirnya belajar ulang tentang seni bertutur dan bercerita. Luar biasa!” katanya saat berdiskusi.

William Condee mendapatkan gelar doctor pada Columbia University, salah satu universitas bergengsi Amerika. Ia dikenal sebagai penulis buku Theatrical Space: A guide for Directors and Designers (Scarecrow Press, 1995), serta buku Coal and Culture: The Opera House in Appalachia (Ohio University Press). Ia juga seorang penulis jurnal yang sangat produktif, serta telah mempresentasikan paper di banyak negara. Sebagai dosen, ia pernah mengajar di Leipzig (Jerman), Inggris, hingga beberapa kampus di Amerika.

Condee dan asistennya
gambar di layar

Bagi saya, bagian paling menarik adalah pengetahuannya tentang wayang kulit yang dibenturkannya dnegan pengetahuan tentang teater ala barat. Kata Condee, ia belajar teater ala barat, di mana pertunjukkannya selalu dalam satu gedung. Pertunjukan teater ala barat selalu konvensional dan menjemukan. Penonton selalu melihat ke satu titik yakni panggung. Penonton duduk sambil melihat apa yang terjadi di panggung. Mereka pasif sebab ‘dipaksa’ untuk menyaksikan pertunjukan, meskipun mereka tak terlalu tertarik.

“Tapi di Bali, pertunjukan wayang memiliki makna religi dan makna sosial. Pertunjukan itu selalu diawali sesajen atau persembahan, serta menjadi medium yang menguatkan komunitas. Semua orang datang dan duduk di situ. Mereka tak harus menonton. Ada yang sambil tidur-tiduran. Ada yang sambil ngobrol atau bercanda. Orang bisa memilih nonton pada bagian mana. Atau cuma duduk-duduk sambil merokok, dan sesekali minum tuak. Di Bali, para penonton adalah subyek yang bisa menyaksikan atau tidak,” lanjut Condee.

Posisi penonton itu tidak penting, sebab yang jauh lebih penting adalah para arwah yang sedang menyaksikan pertunjukan. “Pada titik tertentu, manusia jadi tidak penting. Arwah (spirit) yang jauh lebih penting,” katanya.

Dunia Bali, sebagaimana dikatakan Condee, bukan hanya dunia fisik atau dunia tengah. Namun juga dunia atas dan dunia bawah. Dunia atas adalah wilayah para dewa. Sedang dunia bawah adalah wilayah para demon atau setan. Keseimbangan dunia itu selalu dijaga dan dipertahankan orang Bali sehingga terciptalah harmoni.

Demi menjaga keseimbangan itu, posisi dalang menjadi sangat penting. Posisi dalang adalah sebagai sutradara, penulis skenario, penata cerita, hingga aktor. Dalang memainkan banyak posisi dan tidak hanya bercerita. Ia menjadi maestro seni sekaligus tokoh spiritual, dan penutur hebat yang menghidupkan seluruh rangkaian cerita.

suasana pagelaran wayang
suasana 2
para penonton

Indahnya Tradisi

Di ruangan itu, saya merenungi betapa indah dan kayanya tradisi bangsa kita. Seorang professor dengan reputasi internasional, rela untuk berpayah-payah ke tanah Bali demi belajar ulang tentang konsep pagelaran, serta belajar pada masyarakat lokal.

Tapi di saat bersamaan, saya juga miris saat membayangkan nasib kesenian tradisi kita di mana-mana. Demi mengejar status modern, kita sering mengabaikan kesenian tradisi, dan melihatnya sebagai warisan masa silam. Padahal, dalam setiap tradisi itu terdapat kearifan, kebijaksanaan, dan kedewasaan yang maknanya ditemukan lewat kisah-kisah dahsyat alam pewayangan yang menembus berbagai dimensi kehidupan.

Kita abai dan alpa untuk merawat tradisi sehingga kelak kita akan kehilangan pengetahuan tentang tradisi tersebut. Dan di saat bersamaan, datanglah para pelajar dari luar yang kemudian mengagumi dan menghayati tradisi kita, lalu mendalami pengetahuan itu hingga level maestro. Kelak, kitalah yang akan banyak belajar pada mereka. Saya sedih membayangkan nasib kesenian tradisi yang mulai tergerus.

Namun pengalaman melihat Condee bermain dan mengagumi wayang telah membersitkan pengetahuan bahwa kita memiliki tradisi yang sedemikian unik. Kita mestinya bangga memiliki warisan pengetahuan yang lestari hingga ribuan tahun. Di ruangan itu, Condee membangkitkan kebanggaan saya pada tanah air yang demikian kaya-raya dan penuh pusaka pengetahuan.

Tantangan yang kita hadapi di masa depan adalah bagaimana membumikan pengetahuan itu sehingga kita bukan sekedar memiliki, namun melestarikan, serta mengetahui segala hal menyangkut pengetahuan tersebut. Untuk itu, kerja keras para peneliti dan pengkaji budaya mutlak diperluan untuk menjelmakan pengetahuan itu sebagai darah yang mengaliri nadi semua manusia Indonesia. Ini memang tak mudah, namun mesti dilakoni jika ingin agar kekayaan pengetahuan kita tetap lestari.

Usai pertunjukan, saya tak langsung keluar. Saat sedang memperhatikan satu karakter wayang, tiba-tiba datang seorang mahasiswi cantik berambut pirang. Ia lalu bertanya, “Hai, apa kamu dari Indonesia? Apa kamu tahu sedikit tentang beberapa kisah wayang?” Saya mengangguk. Ia tersenyum dengan senyuman termanis, lalu berkata, “Apa kamu mau mengajari saya tentang negerimu dan juga tentang wayang?”


Athens, 11 November 2012


BACA JUGA:















0 komentar:

Posting Komentar